ibu, kini aku bisa berjalan sendiri, aku gak harus di titah lagi, kakiku sudah kuat untuk melangkah,
ibu, jgn khawatirkan aku akan jatuh, bilapun jatuh aku bisa berdiri sendiri untuk melangkah lagi,
tapi ibu, didepan terpampang beejuta jalan, didepan berdiri berjuta tangan yang melambai padaku.
merska meng kleim, mereka menghukumi, aku jadi bingung ibu...
ibu, lepaskan pegangn tanganmu, tapi jangan alihkan pandanganmu, jangan hentikan ucap doamu,
ibu tegur aku jika terlalu tergesah, ingatkan aku jika terlalu gegabah,
mencoba membuka mata, telinga dan pikiran.. melepas kekolotan dalam jiwa. menuju sebuah pemahaman.. dan ber akhir dengan Kecintaan..
jalanku, langkahku,
Selasa, 04 Oktober 2011
Diposting oleh Ali rEza di 10.04 0 komentar
Label: syair
Ali (haydar) bin abi tholib bin abdul mutholib
Sabtu, 19 Februari 2011
‘Ali bin Abi Thaib (599 – 661) adalah salah seorang pemeluk Islam pertama dan juga keluarga dari Nabi Muhammad. Menurut Islam Sunni, ia adalah Khalifah terakhir dari Khulafaur Rasyidin. Sedangkan Syi’ah berpendapat bahwa ia adalah Imam sekaligus Khalifah pertama yang dipilih oleh Rasulullah Muhammad SAW. Uniknya meskipun Sunni tidak mengakui konsep Imamah mereka setuju memanggil Ali dengan sebutan Imam, sehingga Ali menjadi satu-satunya Khalifah yang sekaligus juga Imam. Ali adalah sepupu dari Muhammad, dan setelah menikah dengan Fatimah az-Zahra, ia menjadi menantu Muhammad.
Syi’ah berpendapat bahwa Ali adalah khalifah yang berhak menggantikan Nabi Muhammad, dan sudah ditunjuk oleh Beliau atas perintah Allah di Ghadir Khum. Syi’ah meninggikan kedudukan Ali atas Sahabat Nabi yang lain, seperti Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Syi’ah selalu menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Alayhi Salam (AS) atau semoga Allah melimpahkan keselamatan dan kesejahteraan.
Sebagian Sunni yaitu mereka yang menjadi anggota Bani Umayyah dan para pendukungnya memandang Ali sama dengan Sahabat Nabi yang lain.
Sunni menambahkan nama Ali dengan Radhiyallahu Anhu (RA) atau semoga Allah melimpahkan Ridha (ke-suka-an)nya. Tambahan ini sama sebagaimana yang juga diberikan kepada Sahabat Nabi yang lain.
Sufi menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Karramallahu Wajhah (KW) atau semoga Allah me-mulia-kan wajahnya. Doa kaum Sufi ini sangat unik, berdasar riwayat bahwa beliau tidak suka menggunakan wajahnya untuk melihat hal-hal buruk bahkan yang kurang sopan sekalipun. Dibuktikan dalam sebagian riwayat bahwa beliau tidak suka memandang ke bawah bila sedang berhubungan intim dengan istri. Sedangkan riwayat-riwayat lain menyebutkan dalam banyak pertempuran (duel-tanding), bila pakaian musuh terbuka bagian bawah terkena sobekan pedang beliau, maka Ali enggan meneruskan duel hingga musuhnya lebih dulu memperbaiki pakaiannya.
Ali bin Abi Thalib dianggap oleh kaum Sufi sebagai Imam dalam ilmu hikmah (divine wisdom) dan futuwwah (spiritual warriorship). Dari beliau bermunculan cabang-cabang tarekat (thoriqoh) atau spiritual-brotherhood. Hampir seluruh pendiri tarekat Sufi, adalah keturunan beliau sesuai dengan catatan nasab yang resmi mereka miliki. Seperti pada tarekat Qadiriyyah dengan pendirinya Syekh Abdul Qadir Jaelani, yang merupakan keturunan langsung dari Ali melalui anaknya Hasan bin Ali seperti yang tercantum dalam kitab manaqib Syekh Abdul Qadir Jilani (karya Syekh Ja’far Barzanji) dan banyak kitab-kitab lainnya.
Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600(perkiraan). Muslim Syi’ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka’bah. Usia Ali terhadap Nabi Muhammad masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun.
Beliau bernama asli Haydar bin Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW. Haydar yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani diantara kalangan Quraisy Mekkah.
Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama Haydar, Nabi SAW terkesan tidak suka, karena itu mulai memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi (derajat di sisi Allah).
Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, dimana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu.
Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Nabi SAW karena beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi SAW bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad.
Dalam biografi asing (Barat), hubungan Ali kepada Nabi Muhammad SAW dilukiskan seperti Yohanes Pembaptis (Nabi Yahya) kepada Yesus (Nabi Isa). Dalam riwayat-riwayat Syi’ah dan sebagian riwayat Sunni, hubungan tersebut dilukiskan seperti Nabi Harun kepada Nabi Musa.
Ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tesebut atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada titik ini Ali berusia sekitar 10 tahun.
Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Nabi SAW karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Nabi hal ini berkelanjutan hingga beliau menjadi menantu Nabi. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani (spirituality dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf lebih suka menyebut istilah ‘Ihsan’) atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Nabi khusus kepada beliau tapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.
Karena bila ilmu Syari’ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima Nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing.
Didikan langsung dari Nabi kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (exterior)atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.
Ali bersedia tidur di kamar Nabi untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan hijrah Nabi. Beliau tidur menampakkan kesan Nabi yang tidur sehingga masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali yang tidur, sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh Nabi yang telah meloloskan diri ke Madinah bersama Abu Bakar.
Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali dinikahkan Nabi dengan putri kesayangannya Fatimah az-Zahra yang banyak dinanti para pemuda. Nabi menimbang Ali yang paling tepat dalam banyak hal seperti Nasab keluarga yang se-rumpun (Bani Hasyim), yang paling dulu mempercayai ke-nabi-an Muhammad (setelah Khadijah), yang selalu belajar di bawah Nabi dan banyak hal lain.
Perang Badar
Beberapa saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Di sini Ali betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah, paman Nabi. Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas di tangan Ali masih dalam perselisihan, tapi semua sepakat beliau menjadi bintang lapangan dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.
Perang Khandaq
Perang Khandak juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi Wud. Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian.
Perang Khaibar
Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kokoh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi saw bersabda:
“Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya”.
Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, temyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga terbelah menjadi dua bagian.Hampir semua peperangan beliau ikuti kecuali perang Tabuk karena mewakili nabi Muhammad untuk menjaga kota Madinah.
Setelah Nabi Wafat
Sampai disini hampir semua pihak sepakat tentang riwayat Ali bin Abi Thalib, perbedaan pendapat mulai tampak ketika Nabi Muhammad wafat. Syi’ah berpendapat sudah ada wasiat (berdasar riwayat Ghadir Khum) bahwa Ali harus menjadi Khalifah bila Nabi SAW wafat. Tetapi Sunni tidak sependapat, sehingga pada saat Ali dan Fatimah masih berada dalam suasana duka orang-orang Quraisy bersepakat untuk membaiat Abu Bakar.
Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah tentu tidak disetujui keluarga Nabi Ahlul Baitdan pengikutnya. Beberapa riwayat berbeda pendapat waktu pem-bai’at-an Ali bin Abi Thalib terhadap Abu Bakar sebagai Khalifah pengganti Rasulullah. Ada yang meriwayatkan setelah Nabi dimakamkan, ada yang beberapa hari setelah itu, riwayat yang terbanyak adalah Ali mem-bai’at Abu Bakar setelah Fatimah meninggal, yaitu enam bulan setelah meninggalnya Rasulullah demi mencegah perpecahan dalam ummatAda yang menyatakan bahwa Ali belum pantas untuk menyandang jabatan Khalifah karena umurnya yang masih muda, ada pula yang menyatakan bahwa kekhalifahan dan kenabian sebaiknya tidak berada di tangan Bani Hasyim.
Sebagai Khalifah
Peristiwa pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontak yang waktu itu menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, waktu itu Ali berusaha menolak, tetapi Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah memaksa beliau, sehingga akhirnya Ali menerima bai’at mereka. Menjadikan Ali satu-satunya Khalifah yang dibai’at secara massal, karena khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda-beda.
Sebagai Khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 5 tahun. Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintah Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat Muslim terjadi saat masa pemerintahannya, Perang Jamal. 20.000 pasukan pimpinan Ali melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan Ummul mu’minin Aisyah binti Abu Bakar, janda Rasulullah. Perang tersebut dimenangkan oleh pihak Ali.Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah terlanjur meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya. Perang Shiffin yang melemahkan kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut.
Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumya. Beliau meninggal di usia 63 tahun karena pembunuhan oleh Abdrrahman bin Muljam, seseorang yang berasal dari golongan Khawarij (pembangkang) saat mengimami shalat subuh di masjid Kufah, pada tanggal 19 Ramadhan, dan Ali menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Ali dikuburkan secara rahasia di Najaf, bahkan ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa ia dikubur di tempat lain.
Ali memiliki delapan istri setelah meninggalnya Fatimah az-Zahra dan memiliki keseluruhan 36 orang anak. Dua anak laki-lakinya yang terkenal, lahir dari anak Nabi Muhammad, Fatimah, adalah Hasan dan Husain.
Keturunan Ali melalui Fatimah dikenal dengan Syarif atau Sayyid, yang merupakan gelar kehormatan dalam Bahasa Arab, Syarif berarti bangsawan dan Sayyed berarti tuan. Sebagai keturunan langsung dari Muhammad, mereka dihormati oleh Sunni dan Syi’ah.
Menurut riwayat, Ali bin Abi Thalib memiliki 36 orang anak yang terdiri dari 18 anak laki-laki dan 18 anak perempuan. Sampai saat ini keturunan itu masih tersebar, dan dikenal dengan Alawiyin atau Alawiyah. Sampai saat ini keturunan Ali bin Abi Thalib kerap digelari Sayyid.
Diposting oleh Ali rEza di 05.04 0 komentar
Label: ahl bayt
5 kincir air
Selasa, 25 Januari 2011
11
LIMA KINCIR ANGIN
"MAKSUDMU, kita bisa mengangkat air sungai itu dengan kincir-kincir itu, Dali?"
Salah seorang pemuda bertanya, memecah lengang setelah Dalimunte selesai menunjukkan
gambar-gambarnya.
Dalimunte mengangguk mantap.
"Lantas membuatnya mengairi ladang-ladang kita?"
Bertanya lagi. Sedikit terpesona, lebih banyak sangsinya.
Dalimunte mengangguk sekali lagi. Bahkan kincir-kincir itu bisa sekalian digunakan
sebagai pembangkit listrik.
"Itu lima meter tingginya, Dalimunte! Sebesar apa kincir yang harus kita buat agar bisa
mengangkat air dari sungai bawah cadas? Kau harusnya tahu itu."
Pemuda itu berseru sedikit putus-asa.
"Tidak besar. Tidak besar!" Dalimunte menjawab cepat. Setelah lima menit menjelaskan
kertas-kertasnya dengan terbata-bata, meski masih gugup, dia jauh lebih tenang sekarang,
"Tapi kita akan membuat lima kincir air, membuatnya bertingkat! Tidak besar!"
"Mustahil! Itu tidak mudah dilakukan—"
Pemuda yang lainnya menimpali, memotong,
"Bagaimana kau akan memastikan kincir-kincir itu bisa bergerak bersamaan? Menyusunnya
agar bisa sesuai satu sama lain? Memasangnya di cadas batu?"
"Ergh, dengan, dengan disusun secara tepat...."
"Secara tepat? Bah, secara tepat menurutmu itu apa. Kau tahu tidak ada yang sekolah hingga
kelas enam di sini selain kau...."
Tertawa, beberapa penduduk menyeringai.
"Lantas bagaimana pula kau akan memastikan air itu bisa dialirkan sejauh satu kilometer ke
ladang-ladang kita?" Yang lain berseru. Bertanya.
"Dengan pipa-pipa—"
"Pipa-pipa? Itu pasti mahal membuatnya, Dalimunte! Belum lagi kayu-kayu. Pasak besi, Rel
pemutar! Mana cukup uang kas kampung...."
Mengeluh.
"Tidak! Tidak mahal, hanya dengan pipa bambu—"
"Bambu? Omong-kosong! Kincir air itu tidak akan cukup kuat. Babak-babak kita dulu pernah
membuatnya,"
Seruan-seruan sangsi terdengar. Balai kampung itu ramai kembali oleh seruan-seruan.
"Ergh, aku sudah membuat dua kemarin.... Sudah ada di sungai bawah cadas—"
Dalimunte mencoba meningkahi keramaian setelah terdiam sebentar, dia tidak menyangka
akan ada banyak pertanyaan, seruan ragu-ragu semacam ini. Sepanjang pagi tadi dia hanya
memikirkan hanya bilang soat idenya. Sisanya terserah Wak Burhan. Ternyata —
"Kau sudah buat dua? Lantas apa kincirnya bekerja?"
Pemuda yang lain mendesak. Ingin tahu.
Mata-mata serempak memandang ingin tahu. Dalimunte seketika terdiam. Dia tidak tahu
itu. Mana sempat lihatnya, keburu disuruh pulang Kak Laisa. Jangan-jangan kincirnya malah
roboh duluan tidak cukup kokoh dihantam arus deras sungai. Dalimunte mulai ragu dengan
idenya. Menatap sekitar mencari dukungan. Wak Burhan hanya diam. Seruan-seruan semakin
ramai terdengar.
Dalimunte menelan ludah. Tertunduk. Sia-sia. Idenya akan mubazir. Tidak ada yang
menanggapinya serius. Persis seperti selama ini, penduduk kampung seolah sudah pasrah
dengan takdir cadas lima meter itu. Mereka toh dulu sudah berkali-kali membuat kincir air
raksasa, dan tidak ada hasilnya. Dalimunte perlahan mengumpulkan kertas-kertas, tertunduk,
menelan ludah.
"Tentu saja kincir-kincir itu bekerja!"
Seseorang tiba-tiba berseru. Berseru dengan suara lantang sekali. Membuat dengung lebah
terdiam. Seketika.
Dalimunte menoleh. Gerakan tangannya terhenti. Dia kenal sekali intonasi suara itu.
Kak Laisa! Kak Laisa sudah berdiri dari duduknya.
"Kita bisa melakukannya. Apa susahnya membuat kincir-kincir itu. Jika Dalimunte bisa
membuat dua dengan bambu seadanya, kita bisa membuatnya yang lebih bagus, lebih
kokoh."
Kak Laisa berseru, melangkah ke depan.
Mata-mata sekarang memandang Kak Laisa. Gadis tanggung berumur enam belas tahun
itu dengan berani justru 'galak' membalas tatapan penduduk lainnya yang jelas-jelas lebih tua
dan lebih besar darinya. Kak Laisa terlihat begitu yakin dengan setiap kalimatnya. Sama
sekali tidak terlihat gugup.
"Itu akan membuang-buang tenaga, Lais— "
Pemuda yang tadi menyahut, berusaha menurunkan intonasi suaranya.
"Tidak ada yang akan membuang-buang tenaga, Tidak ada, Jogar—"
Kak Laisa menukas cepat. Lebih galak.
"Siapa yang akan memastikannya akan berhasil, Lais? Kita dulu pernah membuat kincir besar
itu. Dan percuma saja, terlalu besar, air sungai tidak cukup kuat untuk memutarnya, cadas itu
terlalu tinggi!"
Salah satu orang tua memotong. Berusaha menjelaskan.
"Kalian tidak mendengarkan dengan baik kalau begitu. LIMA KINCIR AIR. Dalimunte
bilang lima kincir air! Bukan kincir raksasa—"
"Apa bedanya? Siapa yang akan menjamin itu berhasil?"
"Tidak ada. Tidak ada yang menjamin itu akan berhasil. Benar! Itu akan membuang-buang
tenaga jika gagal! Tapi jika berhasil? Kita sudah bertahun-tahun hanya menggantungkan
nasib ladang kita, hidup kita, kampung kita, dari kebaikan hujan. Sudah saatnya kita
membuat irigasi sendiri untuk ladang-ladang itu. Berpuluh-puluh tahun sejak kincir raksasa
itu gagal dibuat tidak ada lagi yang memikirkan bagaimana caranya mengangkat air sungai
dari bawah cadas. Tidak ada salahnya mencoba kincir-kincir air itu. Lima kincir bertingkat.
Itu masuk akal. Semasuk akalnya seperti kita berharap benih di ladang tumbuh saat musim
penghujan! —"
Kak Laisa berkata lantang dan cepat. Amat meyakinkan.
Seruan-seruan terdengar lagi dibalai kampung. Lebih ramai dibanding saat membicarakan
perambah hutan tadi. Seruan-seruan ragu-ragu, seruan-seruan sangsi, meski sekarang
anggukan-anggukan kecil mulai bermunculan.
"Tidak ada salahnya, bukan?"
Laisa menatap sekitar.
"Sampai kapan kita harus mengalah atas cadas lima meter itu! Sampai kapan?"
Penduduk justru saling bersitatap.
"Baik. Sekarang siapa yang setuju dengan usul Dalimunte?"
Kak Laisa berseru dari tengah-tengah balai kampung, menghentikan dengung lebah untuk
kedua kalinya. Menatap tajam.
Muka-muka masih saling bersitatap satu-sama-lain. Sedetik. Dua detik. Dalimunte
menggigit bibir. Sia-sia. Urusan ini tidak selancar yang dibayangkannya. Ide lima kincir air
itu percuma. Lihatlah, tidak ada yang hendak mengacungkan tengan, meski Kak Laisa terlihat
amat yakin dengan idenya.
"Siapa yang setuju dengan usul Dalimunte?"
Kak Laisa bertanya tegas. Sekali lagi.
Tiga puluh detik berlalu. Tetap lengang.
Yashinta yang pertama kali mengangkat tangannya, takut-takut (entah ia mengerti atau
tidak urusan itu). Muka gadis kecil enam tahun itu menyeringai menggemaskan seperti biasa.
Orang-orang menoleh. Wak Burhan menyusul, ikut megangkat tangan dengan mantap,
sambil tersenyum ke arah Yashinta. Lantas Mamak Lainuri, Ikanuri, Wibisana, terus ibu-ibu
kampung lainnya, hingga orang tua, dan akhirnya pemuda-pemuda itu.
Kak Laisa tertawa lebar. Menyikut bahu Dalimunte yang berdiri di sampingnya.
Anggukan dan seruan 'kenapa tidak' sekarang ramai keluar dari mulut penduduk. Mereka
akan mencobanya. Sekali lagi! Tertawa lebar dengan ide lima kincir air itu.
Dalimunte mengigit bibir. Menghela nafas, lega.
Hari itulah saat Dalimunte menyadari sesuatu. Memang dia yang memulai ide lima kincir
air tersebut, tapi semua orang tahu, karena Kak Laisa-lah ide itu akhirnya dikerjakan. Hari
itulah, Dalimunte belajar satu hal: bagaimana bicara yang baik di hadapan orang banyak.
Belajar langsung dari Kak Laisa yang entah bagaimana caranya menguasai benar hal
tersebut. Begitu yakin. Begitu tenang.
Dalimunte mungkin tidak akan pernah tahu. Tidak pernah! Kak Laisa sama gugupnya
seperti dia, sama gentarnya bicara di tengah-tengah balai kampung itu. Tetapi Kak Laisa
tidak akan pernah membiarkan adik-adiknya kecewa. Tidak akan pernah membiarkan
adiknya merasa malu. Jika harus ada yang kecewa dan malu, itu adalah ia. Bukan adikadiknya.
Bagi Laisa, sejak babak pergi, hidupnya amat sederhana. Adik-adiknya berhak atas
masa depan yang lebih baik dibandingkan dirinya. Lagipula Laisa akhirnya mengerti kenapa
Dalimunte bolos sekolah kemarin. Maka demi rasa sesal telah memukul lengan Dalimunte,
keberanian itu muncul begitu saja. Memberikan energi yang luar biasa. Begitu yakin. Begitu
tenang. Dan tidak hanya hari itu Laisa melakukannya. Sungguh tidak. Ia melakukannya
berkali-kali sepanjang umurnya.
Demi keempat adik-adiknya.
Diposting oleh Ali rEza di 23.43 0 komentar
Langganan:
Postingan (Atom)