ibu, kini aku bisa berjalan sendiri, aku gak harus di titah lagi, kakiku sudah kuat untuk melangkah,
ibu, jgn khawatirkan aku akan jatuh, bilapun jatuh aku bisa berdiri sendiri untuk melangkah lagi,
tapi ibu, didepan terpampang beejuta jalan, didepan berdiri berjuta tangan yang melambai padaku.
merska meng kleim, mereka menghukumi, aku jadi bingung ibu...
ibu, lepaskan pegangn tanganmu, tapi jangan alihkan pandanganmu, jangan hentikan ucap doamu,
ibu tegur aku jika terlalu tergesah, ingatkan aku jika terlalu gegabah,
PecinTa SajA
mencoba membuka mata, telinga dan pikiran.. melepas kekolotan dalam jiwa. menuju sebuah pemahaman.. dan ber akhir dengan Kecintaan..
jalanku, langkahku,
Selasa, 04 Oktober 2011
Diposting oleh Ali rEza di 10.04 0 komentar
Label: syair
Ali (haydar) bin abi tholib bin abdul mutholib
Sabtu, 19 Februari 2011
‘Ali bin Abi Thaib (599 – 661) adalah salah seorang pemeluk Islam pertama dan juga keluarga dari Nabi Muhammad. Menurut Islam Sunni, ia adalah Khalifah terakhir dari Khulafaur Rasyidin. Sedangkan Syi’ah berpendapat bahwa ia adalah Imam sekaligus Khalifah pertama yang dipilih oleh Rasulullah Muhammad SAW. Uniknya meskipun Sunni tidak mengakui konsep Imamah mereka setuju memanggil Ali dengan sebutan Imam, sehingga Ali menjadi satu-satunya Khalifah yang sekaligus juga Imam. Ali adalah sepupu dari Muhammad, dan setelah menikah dengan Fatimah az-Zahra, ia menjadi menantu Muhammad.
Syi’ah berpendapat bahwa Ali adalah khalifah yang berhak menggantikan Nabi Muhammad, dan sudah ditunjuk oleh Beliau atas perintah Allah di Ghadir Khum. Syi’ah meninggikan kedudukan Ali atas Sahabat Nabi yang lain, seperti Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Syi’ah selalu menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Alayhi Salam (AS) atau semoga Allah melimpahkan keselamatan dan kesejahteraan.
Sebagian Sunni yaitu mereka yang menjadi anggota Bani Umayyah dan para pendukungnya memandang Ali sama dengan Sahabat Nabi yang lain.
Sunni menambahkan nama Ali dengan Radhiyallahu Anhu (RA) atau semoga Allah melimpahkan Ridha (ke-suka-an)nya. Tambahan ini sama sebagaimana yang juga diberikan kepada Sahabat Nabi yang lain.
Sufi menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Karramallahu Wajhah (KW) atau semoga Allah me-mulia-kan wajahnya. Doa kaum Sufi ini sangat unik, berdasar riwayat bahwa beliau tidak suka menggunakan wajahnya untuk melihat hal-hal buruk bahkan yang kurang sopan sekalipun. Dibuktikan dalam sebagian riwayat bahwa beliau tidak suka memandang ke bawah bila sedang berhubungan intim dengan istri. Sedangkan riwayat-riwayat lain menyebutkan dalam banyak pertempuran (duel-tanding), bila pakaian musuh terbuka bagian bawah terkena sobekan pedang beliau, maka Ali enggan meneruskan duel hingga musuhnya lebih dulu memperbaiki pakaiannya.
Ali bin Abi Thalib dianggap oleh kaum Sufi sebagai Imam dalam ilmu hikmah (divine wisdom) dan futuwwah (spiritual warriorship). Dari beliau bermunculan cabang-cabang tarekat (thoriqoh) atau spiritual-brotherhood. Hampir seluruh pendiri tarekat Sufi, adalah keturunan beliau sesuai dengan catatan nasab yang resmi mereka miliki. Seperti pada tarekat Qadiriyyah dengan pendirinya Syekh Abdul Qadir Jaelani, yang merupakan keturunan langsung dari Ali melalui anaknya Hasan bin Ali seperti yang tercantum dalam kitab manaqib Syekh Abdul Qadir Jilani (karya Syekh Ja’far Barzanji) dan banyak kitab-kitab lainnya.
Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600(perkiraan). Muslim Syi’ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka’bah. Usia Ali terhadap Nabi Muhammad masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun.
Beliau bernama asli Haydar bin Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW. Haydar yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani diantara kalangan Quraisy Mekkah.
Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama Haydar, Nabi SAW terkesan tidak suka, karena itu mulai memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi (derajat di sisi Allah).
Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, dimana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu.
Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Nabi SAW karena beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi SAW bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad.
Dalam biografi asing (Barat), hubungan Ali kepada Nabi Muhammad SAW dilukiskan seperti Yohanes Pembaptis (Nabi Yahya) kepada Yesus (Nabi Isa). Dalam riwayat-riwayat Syi’ah dan sebagian riwayat Sunni, hubungan tersebut dilukiskan seperti Nabi Harun kepada Nabi Musa.
Ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tesebut atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada titik ini Ali berusia sekitar 10 tahun.
Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Nabi SAW karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Nabi hal ini berkelanjutan hingga beliau menjadi menantu Nabi. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani (spirituality dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf lebih suka menyebut istilah ‘Ihsan’) atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Nabi khusus kepada beliau tapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.
Karena bila ilmu Syari’ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima Nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing.
Didikan langsung dari Nabi kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (exterior)atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.
Ali bersedia tidur di kamar Nabi untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan hijrah Nabi. Beliau tidur menampakkan kesan Nabi yang tidur sehingga masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali yang tidur, sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh Nabi yang telah meloloskan diri ke Madinah bersama Abu Bakar.
Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali dinikahkan Nabi dengan putri kesayangannya Fatimah az-Zahra yang banyak dinanti para pemuda. Nabi menimbang Ali yang paling tepat dalam banyak hal seperti Nasab keluarga yang se-rumpun (Bani Hasyim), yang paling dulu mempercayai ke-nabi-an Muhammad (setelah Khadijah), yang selalu belajar di bawah Nabi dan banyak hal lain.
Hampir semua peperangan beliau ikuti kecuali perang Tabuk karena mewakili nabi Muhammad untuk menjaga kota Madinah.
Ada yang menyatakan bahwa Ali belum pantas untuk menyandang jabatan Khalifah karena umurnya yang masih muda, ada pula yang menyatakan bahwa kekhalifahan dan kenabian sebaiknya tidak berada di tangan Bani Hasyim.
Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah terlanjur meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya. Perang Shiffin yang melemahkan kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut.
Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumya. Beliau meninggal di usia 63 tahun karena pembunuhan oleh Abdrrahman bin Muljam, seseorang yang berasal dari golongan Khawarij (pembangkang) saat mengimami shalat subuh di masjid Kufah, pada tanggal 19 Ramadhan, dan Ali menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Ali dikuburkan secara rahasia di Najaf, bahkan ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa ia dikubur di tempat lain.
Ali memiliki delapan istri setelah meninggalnya Fatimah az-Zahra dan memiliki keseluruhan 36 orang anak. Dua anak laki-lakinya yang terkenal, lahir dari anak Nabi Muhammad, Fatimah, adalah Hasan dan Husain.
Keturunan Ali melalui Fatimah dikenal dengan Syarif atau Sayyid, yang merupakan gelar kehormatan dalam Bahasa Arab, Syarif berarti bangsawan dan Sayyed berarti tuan. Sebagai keturunan langsung dari Muhammad, mereka dihormati oleh Sunni dan Syi’ah.
Menurut riwayat, Ali bin Abi Thalib memiliki 36 orang anak yang terdiri dari 18 anak laki-laki dan 18 anak perempuan. Sampai saat ini keturunan itu masih tersebar, dan dikenal dengan Alawiyin atau Alawiyah. Sampai saat ini keturunan Ali bin Abi Thalib kerap digelari Sayyid.
Diposting oleh Ali rEza di 05.04 0 komentar
Label: ahl bayt
5 kincir air
Selasa, 25 Januari 2011
11
LIMA KINCIR ANGIN
"MAKSUDMU, kita bisa mengangkat air sungai itu dengan kincir-kincir itu, Dali?"
Salah seorang pemuda bertanya, memecah lengang setelah Dalimunte selesai menunjukkan
gambar-gambarnya.
Dalimunte mengangguk mantap.
"Lantas membuatnya mengairi ladang-ladang kita?"
Bertanya lagi. Sedikit terpesona, lebih banyak sangsinya.
Dalimunte mengangguk sekali lagi. Bahkan kincir-kincir itu bisa sekalian digunakan
sebagai pembangkit listrik.
"Itu lima meter tingginya, Dalimunte! Sebesar apa kincir yang harus kita buat agar bisa
mengangkat air dari sungai bawah cadas? Kau harusnya tahu itu."
Pemuda itu berseru sedikit putus-asa.
"Tidak besar. Tidak besar!" Dalimunte menjawab cepat. Setelah lima menit menjelaskan
kertas-kertasnya dengan terbata-bata, meski masih gugup, dia jauh lebih tenang sekarang,
"Tapi kita akan membuat lima kincir air, membuatnya bertingkat! Tidak besar!"
"Mustahil! Itu tidak mudah dilakukan—"
Pemuda yang lainnya menimpali, memotong,
"Bagaimana kau akan memastikan kincir-kincir itu bisa bergerak bersamaan? Menyusunnya
agar bisa sesuai satu sama lain? Memasangnya di cadas batu?"
"Ergh, dengan, dengan disusun secara tepat...."
"Secara tepat? Bah, secara tepat menurutmu itu apa. Kau tahu tidak ada yang sekolah hingga
kelas enam di sini selain kau...."
Tertawa, beberapa penduduk menyeringai.
"Lantas bagaimana pula kau akan memastikan air itu bisa dialirkan sejauh satu kilometer ke
ladang-ladang kita?" Yang lain berseru. Bertanya.
"Dengan pipa-pipa—"
"Pipa-pipa? Itu pasti mahal membuatnya, Dalimunte! Belum lagi kayu-kayu. Pasak besi, Rel
pemutar! Mana cukup uang kas kampung...."
Mengeluh.
"Tidak! Tidak mahal, hanya dengan pipa bambu—"
"Bambu? Omong-kosong! Kincir air itu tidak akan cukup kuat. Babak-babak kita dulu pernah
membuatnya,"
Seruan-seruan sangsi terdengar. Balai kampung itu ramai kembali oleh seruan-seruan.
"Ergh, aku sudah membuat dua kemarin.... Sudah ada di sungai bawah cadas—"
Dalimunte mencoba meningkahi keramaian setelah terdiam sebentar, dia tidak menyangka
akan ada banyak pertanyaan, seruan ragu-ragu semacam ini. Sepanjang pagi tadi dia hanya
memikirkan hanya bilang soat idenya. Sisanya terserah Wak Burhan. Ternyata —
"Kau sudah buat dua? Lantas apa kincirnya bekerja?"
Pemuda yang lain mendesak. Ingin tahu.
Mata-mata serempak memandang ingin tahu. Dalimunte seketika terdiam. Dia tidak tahu
itu. Mana sempat lihatnya, keburu disuruh pulang Kak Laisa. Jangan-jangan kincirnya malah
roboh duluan tidak cukup kokoh dihantam arus deras sungai. Dalimunte mulai ragu dengan
idenya. Menatap sekitar mencari dukungan. Wak Burhan hanya diam. Seruan-seruan semakin
ramai terdengar.
Dalimunte menelan ludah. Tertunduk. Sia-sia. Idenya akan mubazir. Tidak ada yang
menanggapinya serius. Persis seperti selama ini, penduduk kampung seolah sudah pasrah
dengan takdir cadas lima meter itu. Mereka toh dulu sudah berkali-kali membuat kincir air
raksasa, dan tidak ada hasilnya. Dalimunte perlahan mengumpulkan kertas-kertas, tertunduk,
menelan ludah.
"Tentu saja kincir-kincir itu bekerja!"
Seseorang tiba-tiba berseru. Berseru dengan suara lantang sekali. Membuat dengung lebah
terdiam. Seketika.
Dalimunte menoleh. Gerakan tangannya terhenti. Dia kenal sekali intonasi suara itu.
Kak Laisa! Kak Laisa sudah berdiri dari duduknya.
"Kita bisa melakukannya. Apa susahnya membuat kincir-kincir itu. Jika Dalimunte bisa
membuat dua dengan bambu seadanya, kita bisa membuatnya yang lebih bagus, lebih
kokoh."
Kak Laisa berseru, melangkah ke depan.
Mata-mata sekarang memandang Kak Laisa. Gadis tanggung berumur enam belas tahun
itu dengan berani justru 'galak' membalas tatapan penduduk lainnya yang jelas-jelas lebih tua
dan lebih besar darinya. Kak Laisa terlihat begitu yakin dengan setiap kalimatnya. Sama
sekali tidak terlihat gugup.
"Itu akan membuang-buang tenaga, Lais— "
Pemuda yang tadi menyahut, berusaha menurunkan intonasi suaranya.
"Tidak ada yang akan membuang-buang tenaga, Tidak ada, Jogar—"
Kak Laisa menukas cepat. Lebih galak.
"Siapa yang akan memastikannya akan berhasil, Lais? Kita dulu pernah membuat kincir besar
itu. Dan percuma saja, terlalu besar, air sungai tidak cukup kuat untuk memutarnya, cadas itu
terlalu tinggi!"
Salah satu orang tua memotong. Berusaha menjelaskan.
"Kalian tidak mendengarkan dengan baik kalau begitu. LIMA KINCIR AIR. Dalimunte
bilang lima kincir air! Bukan kincir raksasa—"
"Apa bedanya? Siapa yang akan menjamin itu berhasil?"
"Tidak ada. Tidak ada yang menjamin itu akan berhasil. Benar! Itu akan membuang-buang
tenaga jika gagal! Tapi jika berhasil? Kita sudah bertahun-tahun hanya menggantungkan
nasib ladang kita, hidup kita, kampung kita, dari kebaikan hujan. Sudah saatnya kita
membuat irigasi sendiri untuk ladang-ladang itu. Berpuluh-puluh tahun sejak kincir raksasa
itu gagal dibuat tidak ada lagi yang memikirkan bagaimana caranya mengangkat air sungai
dari bawah cadas. Tidak ada salahnya mencoba kincir-kincir air itu. Lima kincir bertingkat.
Itu masuk akal. Semasuk akalnya seperti kita berharap benih di ladang tumbuh saat musim
penghujan! —"
Kak Laisa berkata lantang dan cepat. Amat meyakinkan.
Seruan-seruan terdengar lagi dibalai kampung. Lebih ramai dibanding saat membicarakan
perambah hutan tadi. Seruan-seruan ragu-ragu, seruan-seruan sangsi, meski sekarang
anggukan-anggukan kecil mulai bermunculan.
"Tidak ada salahnya, bukan?"
Laisa menatap sekitar.
"Sampai kapan kita harus mengalah atas cadas lima meter itu! Sampai kapan?"
Penduduk justru saling bersitatap.
"Baik. Sekarang siapa yang setuju dengan usul Dalimunte?"
Kak Laisa berseru dari tengah-tengah balai kampung, menghentikan dengung lebah untuk
kedua kalinya. Menatap tajam.
Muka-muka masih saling bersitatap satu-sama-lain. Sedetik. Dua detik. Dalimunte
menggigit bibir. Sia-sia. Urusan ini tidak selancar yang dibayangkannya. Ide lima kincir air
itu percuma. Lihatlah, tidak ada yang hendak mengacungkan tengan, meski Kak Laisa terlihat
amat yakin dengan idenya.
"Siapa yang setuju dengan usul Dalimunte?"
Kak Laisa bertanya tegas. Sekali lagi.
Tiga puluh detik berlalu. Tetap lengang.
Yashinta yang pertama kali mengangkat tangannya, takut-takut (entah ia mengerti atau
tidak urusan itu). Muka gadis kecil enam tahun itu menyeringai menggemaskan seperti biasa.
Orang-orang menoleh. Wak Burhan menyusul, ikut megangkat tangan dengan mantap,
sambil tersenyum ke arah Yashinta. Lantas Mamak Lainuri, Ikanuri, Wibisana, terus ibu-ibu
kampung lainnya, hingga orang tua, dan akhirnya pemuda-pemuda itu.
Kak Laisa tertawa lebar. Menyikut bahu Dalimunte yang berdiri di sampingnya.
Anggukan dan seruan 'kenapa tidak' sekarang ramai keluar dari mulut penduduk. Mereka
akan mencobanya. Sekali lagi! Tertawa lebar dengan ide lima kincir air itu.
Dalimunte mengigit bibir. Menghela nafas, lega.
Hari itulah saat Dalimunte menyadari sesuatu. Memang dia yang memulai ide lima kincir
air tersebut, tapi semua orang tahu, karena Kak Laisa-lah ide itu akhirnya dikerjakan. Hari
itulah, Dalimunte belajar satu hal: bagaimana bicara yang baik di hadapan orang banyak.
Belajar langsung dari Kak Laisa yang entah bagaimana caranya menguasai benar hal
tersebut. Begitu yakin. Begitu tenang.
Dalimunte mungkin tidak akan pernah tahu. Tidak pernah! Kak Laisa sama gugupnya
seperti dia, sama gentarnya bicara di tengah-tengah balai kampung itu. Tetapi Kak Laisa
tidak akan pernah membiarkan adik-adiknya kecewa. Tidak akan pernah membiarkan
adiknya merasa malu. Jika harus ada yang kecewa dan malu, itu adalah ia. Bukan adikadiknya.
Bagi Laisa, sejak babak pergi, hidupnya amat sederhana. Adik-adiknya berhak atas
masa depan yang lebih baik dibandingkan dirinya. Lagipula Laisa akhirnya mengerti kenapa
Dalimunte bolos sekolah kemarin. Maka demi rasa sesal telah memukul lengan Dalimunte,
keberanian itu muncul begitu saja. Memberikan energi yang luar biasa. Begitu yakin. Begitu
tenang. Dan tidak hanya hari itu Laisa melakukannya. Sungguh tidak. Ia melakukannya
berkali-kali sepanjang umurnya.
Demi keempat adik-adiknya.
Diposting oleh Ali rEza di 23.43 0 komentar
surat cinta balasan
Senin, 27 Desember 2010
hai Reza...
hmmm,,bingung akan berkata apa???
yang jelas,yang pertama sarah mau minta mf yang sebesar2nya..
sebuah jawaban yang mungkin kau tunggu tapi menyakitkan,ya Gak???
ini terlalu rumit,bagi Sarah.sudah cukup air mata ini bercucurn hanya untuk menjawab pertanyaan yang satu ini .
sarah takut untuk jawab ya,tau kenapa...
karena itu sutau amanah,tanggung jawab ketika kita mengingkari kau tau rasanya akan lebih sakit dar pada i ini.
sarah sudah bilang dari awal,Sarah tak berani bermain2 dengan perasaan ,untuk saat ini masih ku tutup gerbang ini,krena kutau yang boleh masuk gerbang hanya satu(suamiku nanti)
Sarah takut,takut sekali...akh mf
maka lebih baik Sarah jawab TIDAK"(huft kata yang tidak diinginkan mungkin)
tidak menutup kemungkinan 1,2,3,4 `tahun kedepan kita mmenjadi orang2 sukses(amin)dan ALLOH mempertemukan dengan cara yang baikuntuk menjadi keluaraga yang baik pula ataupun 1,2,3,4 tahun kedepan kita juga dipertemulan menjadi orng yang sukses dengan kehidupan masing 2 yang lebih baik.
(mana kita tau akh)
Sarah tak barani berjanji, karena kepastian memang benar milikNYA
ya kalau umur Sarah masih panjang kalau tinggal besok...????
Sudh lah SArah terlalu lelah membahas hal semacam ini,karena tak banyak yang bisa Sarah perbuat yang ada lagi2 menyakiti.
ortu sarah melarang Sarah membahas hal semacam ini,dan diizinkan ketika Sarah dah selesai kulyah,bekerja dsb.jdi memang saat ini Sarah belumpunya jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu.
hanis ingin kau sabar,
sabar juga termasuk proses belajar,sejauh mana keyakinan kita akan akan keputusanNYA. Sarah yakin kau bisa melalui masa2 ini begitu juga dengan Sarah, yang bisa jadi hasil kesabaran tidak sesuai denagn keinginan kita tapi pasti rencanaNYA kan lebih baik.
Sarah sedih ketika kau sedih,karena kita sahabat
(sesuatu itu indah pada waktunya)
sekarang ikhlaskan semua,hanis ingn liat kau pergi dengan senyum membawa kebahagiaan,ttep optimis.
mfkan jika lagi2 Sarah hanya bisa mengacaukan hati Reza.merobek2 persaanmun dan meninggalkan luka itu begitu saja.
semoga keputusan apapun ini tak merubah persahabataan kita (T_T)
wassalam.......................
Diposting oleh Ali rEza di 06.26 0 komentar
Label: syair
MAKSUMKAH para murobbi itu
Sebelum membuktikan kemaksuman para Nabi, perlu kami jelaskan sebagian poin-poin penting berikut ini:
Catatan kaki:
[1] Tentang hal ini Allah SWT berfirman, “Allah tidak akan menampakkan hal gaib kepada kalian, tetapi Ia memilih utusan-utusan-Nya dengan kehendak-Nya.” (QS. Ali Imran: 179)
[2] Dalam Al-Qur'an disebutkan, “Allah lebih mengetahui kepada siapa Dia menyerahkan risalah-Nya.” (QS. Al-An`am: 124)
[3] “Allah Maha Mengetahui hal yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan hal gaib kepada siapapun. Kecuali kepada rasul yang Dia ridahi. Sesungguhnya Dia menciptakan para penjaga di depan dan belakangnya. Supaya Dia mengetahui bahwa rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah Tuhan mereka. Allah mengetahui apa yang ada dalam mereka dan menghitung segala sesuatu.“ (QS. al-Jin: 26-27).
[4] “Supaya orang binasa atau hidup dengan keterangan yang nyata.“ (QS. al-Anfal: 42)
Mengapa Para Nabi Harus Maksum?
Sesungguhnya kemaksuman (ishmah) pada malaikat dan para nabi yang telah kami buktikan berdasarkan argumen di atas, khusus pada tahap penerimaan wahyu dan penyampaiannya. Namun ada tahap kemaksuman lain yang tidak dapat dibuktikan dengan argumen tersebut. Hal ini dapat dibagi kepada tiga bagian. Pertama, kemaksuman para malaikat. Kedua, kemaksuman para nabi. Ketiga, kemaksuman sebagian individu, seperti para imam yang suci, atau seperti Siti Fatimah as dan Siti Maryam as.
Selain tentang kemaksuman para malaikat pada tahap penerimaan dan penyampaian wahyu, kita akan membahas dua persoalan. Pertama, kemaksuman Malaikat Wahyu di luar tugas sebagai penerima dan penyampai wahyu. Kedua, kemaksuman para malaikat selain Malaikat Wahyu, seperti malaikat-malaikat yang dipercaya untuk mengatur rizki, menulis amal manusia, mencabut ruh dan tugas-tugas yang lainnya.
Tentang kemaksuman para nabi yang tidak berhubungan dengan risalah mereka, kita akan membahas dua masalah. Pertama, kemaksuman para nabi dari dosa dan maksiat yang disengaja. Kedua, kemaksuman mereka dari kelalaian dan kelupaan. Dua masalah ini juga akan kita bahas sehubungan dengan orang-orang selain para nabi.
Adapun masalah-masalah yang berkaitan dengan para malaikat pada selain tahap penerimaan wahyu dan penyampaiannya hanya dapat kita bahas dengan argumentasi akal apabila kita telah mengenal hakekat malaikat itu sendiri. Namun, mengenal hakekat dan esensi malaikat, selain tidak mudah, juga tidak sesuai dengan pembahasan di sini.
Oleh karena itu, kami hanya cukup menyebutkan dua ayat yang menunjukkan kemaksuman malaikat:
"Mereka (para malailkat) adalah hamba-hamba yang mulia yang tidak mendahului-Nya dengan ucapan dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya." (QS. Al-Anbiya’: 27)
"Sesungguhnya mereka (para malaikat) tidak bermaksiat kepada Allah terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka dan mereka senantiasa melaksanakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)
Dua ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwa para malaikat itu adalah hamba Allah yang mulia yang tidak melakukan selain perintah Allah, dan tidak akan melanggar perintah-Nya tersebut. Ya, masih tersisa pertanyaan, yaitu apakah ayat-ayat ini mencakup seluruh para malaikat?
Adapun mengenai kemaksuman sebagian individu selain para nabi, hal ini akan lebih sesuai dengan pembahasan Imamah. Maka itu, di sini kita hanya akan membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan kemaksuman para nabi secara khusus. Walaupun sebagian masalah tidak mungkin untuk dipecahkan melainkan dengan dalil-dalil wahyu. Dan masalah-masalah ini dapat dibahas setelah memastikan validitas Al-Qur'an dan Sunnah. Akan tetapi, demi menjaga konsistensi di antara tema-tema masalah tersebut, kita akan membahasnya pada bagian ini. Adapun validitas Al-Qur'an dan Sunnah, kita terima saja sebagai postulat yang akan kita bahas pada saatnya.
Diposting oleh Ali rEza di 05.37 0 komentar
Label: ahl bayt
10 PERTEMUAN DI BALAI KAMPUNG
Minggu, 26 Desember 2010
10
PERTEMUAN DI BALAI KAMPUNG
PAGI BERIKUTNYA datang lagi.
Wak Burhan mengumandangkan adzan shubuh. Meski sudah sepuh, suara Wak Burhan
yang tanpa speaker dari surau terdengar menggema di perkampungan bawah Lembah
Lahambay. Dalimunte terkantuk-kantuk menarik sarung adik-adiknya. Kerlip lampu canting
semakin lemah, minyak tanahnya hampir habis.
"Bangun Ikanuri! Wibisana!"
Yang dibangunkan hanya menggeliat sebal. Menarik bantal. Lantas menutupkannya ke
kepala. Dalimunte menggosok-gosok mata, sedikit terhuyung berdiri. Pagi ini penting
baginya. Sebenarnya juga bagi seluruh penduduk kampung. Seperti kesepakatan minggu
lalu, bakal ada pertemuan rutin tahunan di balai kampung. Membicarakan soal panen
ladang-ladang mereka, perbaikan jalan bebatuan selebar tiga meter itu, perselisihan antar
tetangga (jika ada), perambah hutan dari luar lembah yang semakin sering masuk, hal-hal
kecil. Dulu, waktu Babak masih ada, Babak-lah jadi wakil di pertemuan, mereka bersamasama
datang ke balai kampung. Asyik menyimak pembicaraan.
Dalimunte menguap sekali lagi, melangkah mengambil kopiah. Mamak sejak jam empat
tadi sudah sibuk di dapur, masak air enau, Ditemani Kak Laisa. Brr... dingin. Musim
kemarau, dinginnya semakin terasa menusuk tulang. Tapi Dalimunte semangat shalat di
surau. Teringat ada hal penting yang harus dikerjakannya hari ini. Itulah kenapa kemarin dia
nekad bolos, dia ingin melakukannya sendiri sebelum pertemuan kampung dilakukan.
Suara kokok ayam hutan terdengar dari kejauhan. Juga lenguh pagi uwa. Beberapa
tetangga membawa obor bambu menuju surau. Jalanan kampung masih gelap. Obor itu
sekalian juga penerangan di surau. Tidak banyak peserta shalat shubuh, paling berbilang
enam-tujuh orang. Dan satu-satunya peserta anak kecil, ya, Dalimunte.
Sekembali dari surau, Ikanuri dan Wibisana masih tertidur, saling membelakangi
punggung, dengan kaki-kaki menyilang. Dalimunte nyengir melihat posisi aneh itu, malas
membangunkan lagi; menuju kertas-kertasnya yang ditumpuk di atas meja.
Siapapun di lembah itu tahu persis, di sekolah Dalimunte dikenal sebagai anak yang
paling pintar, meski sekolah ini benar-benar seadanya. Dan satu bakat besar milik Dalimunte
(meski untuk yang ini tidak semua penduduk lembah tahu), dia suka sekali mengutak-atik
sesuatu. Diam-diam melakukannya di sela-sela membantu Mamak di ladang, Apa saja.
Menciptakan alat-alat yang aneh. Seperti keranjang aneh penangkap udang, alat panjang
penyadap damar, dan sebagainya.
Ahad pagi, hari ini sekolah libur. Selepas Kak Laisa meneriaki Ikanuri dan Wibisana
bangun agar shalat shubuh, sesudah sarapan nasi goreng, benar-benar hanya nasi yang
digoreng plus potongan cabai dan bawang merah, mereka beramai-ramai berangkat ke balai
kampung. Pertemuan rutin warga kampung.
"Kakak bawa apa, sih?"
Yashinta bertanya, melihat kertas-kertas yang dipegang Dalimunte.
"Biasa, penemu. Paling juga bawa peta harta karun—"
Ikanuri dan Wibisana nyengir. Tertawa menggoda. Mereka berdua selama ini juga suka jahil
merusak kertas-kertas atau apa saja yang dikerjakan Dalimunte.
Dalimunte tidak mempedulikan.
Balai kampung itu sudah ramai saat mereka tiba. Pertemuan sengaja dilakukan sepagi
mungkin, biar selepas acara, mereka masih sempat bekerja di ladang. Kursi-kursi bambu
berjejer rapi. Sudah disiapkan sejak semalam oleh pemuda kampung.
Wak Burhan, sesepuh kampung berdehem, setelah memastikan semua warga hadir,
mengetukkan palu dari bonggol bambu, segera memulai pertemuan. Warga kampung diam
memperhatikan. Pertama, mereka membicarakan soal kesepakatan lumbung kampung.
Berapa kaleng yang harus disetorkan setiap rumah untuk cadangan padi kampung. Per-kepala
atau per-hasil panen. Lima belas menit penuh seruan-seruan. Usul-usul. Kalimat-kalimat
keberatan. Usul-usul lagi. Satu dua kalimat tidak penting. Satu dua usul lagi. Setuju. Beres.
Mamak Lainuri menyeka dahi. Meski lima kaleng itu benar-benar akan mengurangi
penghasilan ladang mereka yang tidak luas, cadangan padi selalu penting. Dua tahun silam
saat ladang mereka terkena hama belalang, lumbung kampung memastikan perut anakanaknya
tetap kenyang. Setidaknya panen kali ini semoga masih ada sisa buat membeli
seragam sekolah buat Yashinta.
Lebih banyak lagi waktu dihabiskan untuk membahas soal perambah hutan dari daerah
lain, Seruan-seruan marah makin ramai. Memaki. Mengancam. Wak Burhan, yang masih
terhitung saudara Mamak Lainuri (dan juga warga kampung lainnya) menengahi. Sepakat
melaporkan soal itu ke polisi hutan kota kecamatan. Separuh dari hutan di Lembah Lahambay
itu adalah kawasan taman nasional. Daerah konservasi. Hanya lokasi-lokasi tertentu yang
dibolehkan diolah, meski penduduk setempat sendiri kadang juga melanggarnya dengan
menangkapi uwa, kukang, atau binatang dilindungi lainnya. Tapi perlakuan perambah hutan
itu memang mencemaskan, mereka tega membawa senso (gergaji mesin) besar, dan tanpa
ampun mulai menebangi pohon-pohon raksasa.
Perbaikan jalan bebatuan tiga meter itu diputuskan hanya dalam hitungan menit.
Keputusannya adalah: Menunggu. Menunggu pemerintah kota berbaik hati sajalah. Mereka
sudah terlalu repot dengan kehidupan sehari-hari untuk ditambahi memperbaiki jalan
sepanjang duapuluh kilometer itu. Lagipula desa-desa sekitar mereka juga menolak
memperbaikinya, agar perambah hutan tidak semakin sembarangan masuk membawa truktruk
yang akan mengangkuti kayu gelondongan hasil jarahan.
Membicarakan perselisihan batas ladang, sepakat memberikan tanda baru untuk setiap
batas kebun. Jadwal pengajian mingguan. Gotong-royong perbaikan tangga kayu di cadas
setinggi lima meter sungai. Sumbangan rutin buat acara besar (Maulid, Isra Mi'raj). Dan
beberapa masalah kecil lainnya.
"Masih ada yang ingin dibicarakan?"
Dua jam berlalu sejak tadi pagi, Wak Burhan sekarang menatap seluruh balai kampung.
Lengang sejenak.
"Masih ada?"
Wak Burhan bertanya sekali lagi.
Sepertinya sudah selesai. Tidak ada lagi yang hendak melaporkan sesuatu. Wak Burhan
tersenyum, meraih pentungan dari bongkol bambu, bersiap menutup pertemuan. Saat itulah,
saat penduduk kampung menggeliat santai karena pertemuan sudah selesai, saat mereka
beranjak merapikan baju yang terlipat, tiba-tiba Dalimunte mengangkat tangannya. Awalnya
ragu-ragu, tapi karena sudah kadung, sudah sejak seminggu lalu meniatkan diri, maka sambil
menggigit bibir, Dalimunte menaikkan tangannya lebih tinggi,
Muka-muka tertoleh.
Muka-muka bingung. Bukannya sudah selesai?
Mamak Lainuri mengernyitkan dahi. Kak Laisa yang merasa ganjil, menyikut bahu
Dalimunte yang duduk di sebelahnya. Ikanuri dan Wibisana yang sejak tadi hanya jahil
tertawa-tawa saling berbisik menganggu dan sibuk berkomentar terhenti cengirannya. Hanya
mata Yashinta yang membesar penuh rasa ingin tahu.
"Ya, kau ingin menyampaikan sesuatu Dalimunte?"
Wak Burhan meletakkan palu bonggol kayunya. Tersenyum tipis. Itu janggal sekali,
pertemuan tahunan itu meski diikuti oleh seluruh penduduk kampung, hanya pria dewasalah
yang bicara. Sisanya menonton.
"Ergh, eee, iya Wak...."
Dalimunte menelan ludah, amat gugup dengan tatapan penduduk lainnya.
"Baik. Apa yang ingin kau sampaikan, Dalimunte?"
Wak Burhan tersenyum lebih lebar, mengeluarkan sirih dari mulut. Dia mengenal sekali anak
Lainuri yang satu ini. Rajin shalat berjamaah di surau. Masih anak-anak. Tapi siapa bilang
dia masih anak ingusan umur dua belas tahun. Sejak Babak mereka meninggal, anak-anak
Lainuri tumbuh berbeda dengan yang lain, tumbuh menjadi anak-anak yang bisa diandalkan.
"Ergh, sebentar—"
Dalimunte dengan tangan sedikit bergetar membawa kertas-kertasnya ke depan. Saking
gugupnya, beberapa kertas berjatuhan. Dalimunte patah-patah mengumpulkannya.
Mamak Lainuri masih mengernyitkan dahi. Kak Laisa menatap lebih bingung. Buat apa
kertas-kertas itu? Penduduk lain menunggu.
"Ee, maaf kalau, maaf kalau—"
Dalimunte mengusap dahinya.
"Kau tidak perlu gugup begini, Dalimunte. Katakan sajalah. Kami akan mendengarkan!"
Wak Burhan mengangguk mantap padanya.
Dalimunte menelan ludah. Menatap Kak Laisa, menatap Mamak Lainuri. Menatap
Yashinta. Lantas sedikit tersenyum tanggung demi melihat wajah adiknya. Lihatlah, adiknya
dengan bola mata membulat penuh rasa ingin tahu balas menatapnya. Ekspresi yang sama
seperti setiap kali Yashinta diajak melihat anggrek hutan raksasa. Atau melihat pohon salak
hutan. Atau melihat sigung berkejaran. Tidak. Yashinta sedikitpun tidak merasa ganjil dengan
Dalimunte yang tiba-tiba berdiri di tengah balai kampung. Yashinta hanya ingin tahu.
Baiklah, Dalimunte menekuk ibu jari kakinya, ini semua mudah. Tersenyum penuh
penghargaan sekali lagi ke arah Yashinta.
Maka meluncurlah penjelasan itu—
"HALLO! HALLO! PROFESOR—"
Ikanuri terdengar berteriak di seberang sana. Meningkahi berisiknya suara krsk telepon
genggam.
"Kau kemana saja, Dalimunte? Aku sejak sejam lalu berusaha menelepon. Hallo? Hallo? Ya,
kau dengar? Aku sejak tadi menelepon kau. Tidak ada sinyal, Dali. Sama sekali tidak ada.
Akhirnya justru kau yang menghubungi sekarang. Bah, sejak kapan kau memattkan HP
urusan keluarga?"
"Tadi di pesawat—"
"Apa? Hallo? Oo, pesawat—
Kau sudah di mana?"
Sinyal sambungan langsung internasional itu payah, putus-putus. Dengan jeda waktu
bicara lama pula. Jadi kalian bicara sekarang, baru tiga detik kemudian terdengar di seberang
sana. Juga sebaliknya.
"Kami persis di pegunungan Alpen, Swiss. Ya ampun, ini benar-benar sialan semua urusan
ini—
Ada longsor yang menimbun jalan kereta! SWISS. Kami di SWISS, bukan ITALIA,
PROFESOR. Hallo? Hallo? Tidak. Kami tidak berangkat dari Roma. Sepakbola sialan ini
membuat semua penerbangan dari kota-kota di Italia penuh hingga dua hari ke depan.
Terpaksa berangkat dari Paris. PARIS, bukan SWISS—"
Suara gemuruh hujan terdengar dari latar suara Ikanuri.
"Tidak. Tidak. Kami akan terbang dari Paris, Dalimunte. Dengan penerbangan besok pagi,
jika semua tanah sialan ini berhasil dibersihkan. Di sini sedang hujan deras. Ada tebing yang
longsor. Tanahnya memenuhi jalanan kereta. Apa? Sialan. SUARANYA PUTUS-PUTUS,
DALIMUNTE! APA? Oo-Juwita, Delima, dan Ummi mereka sudah dalam perjalanan ke
sana. Seharusnya dua-tiga jam lagi tiba di bandara. Kau sudah dijemput di bandara?"
Ikanuri entah untuk ke berapa kalinya memaki.
Sementara di sini, sambil menelepon, Dalimunte melangkah cepat menuju lobi depan
bandara. Mobil jemputan perkebunan strawberry sudah menunggu sejak tiga jam lalu.
Perjalanan Jakarta menuju ibukota provinsi ini hanya butuh satu jam. Tujuh jam berikutnya
dihabiskan dengan perjalanan darat menuju Lembah Lahambay. Dulu itu menjadi perjalanan
yang menantang. Terpaksa tiga kali ganti kendaraan. Satu kali menumpang bus ke kota
kabupaten. Satu kali lagi menumpang angkutan pedesaan terbuka menuju kota kecamatan.
Terakhir naik starwagoon tua itu menuju perkampungan. Sekarang tidak lagi, sejak
perkebunan strawberry punya cabang pabrik pengalengan di kota provinsi, akses ke sana jauh
lebih mudah.
"Apa? Hallo? YASHINTA? Aku tidak tahu, Dalimunte!"
Ikanuri berteriak, suara hujan semakin deras,
"Aku sudah hampir sepuluh kali menghubungi telepon genggam satelit Yashinta. Tidak ada
sinyal. APA? HALLO? TIDAK TAHU! Aku tidak tahu! Tentu saja ia baik-baik saja,
Dalimunte—"
Kedua kakak-beradik itu (satu di Italia, satu di sini) mengernyit berbarengan. Dalimunte
melipat dahinya lebih lebal, terlihat amat cemas. Dia juga sudah tiga kali mengontak HP
Yashinta tadi. Sama. Sama sekali tidak ada sinyal.
"Mematikan HP? Tidak mungkin ia sudah di pesawat, bukan? Apa? Oo Terakhir aku
ditelepon Yashinta tadi malam. Ia menginap di punggung lereng Semeru. Apa? Tentu tidak,
Dalimunte. Kenapa pula kau persis seperti Mamak, mencemaskan hal-hal kecil. Anak itu dua
kali lebih atletis dibandingkan Kak Laisa, apalagi dibandingkan kau! DIA AKAN BAIKBAIK
SAJA, DALIMUNTE!"
Pembicaraan itu terdiam sejenak. Kelu.
Dalimunte menelan ludah mendengar nama Kak Laisa disebut Ikanuri.
"Kau sudah menelepon Mamak di kampung?"
Ikanuri setelah ikut terdiam sebentar, bertanya. Dengan intonasi sedikit berbeda. Juga ikutan
merasa ganjil setelah menyebut nama Kak Laisa.
"Baik. Baik. Jika kau tiba tujuh jam lagi bilang Mamak, aku dan Wibisana akan berusaha
segera tiba di sana, Dalimunte. Ya ampun, apa yang sering kubilang dulu? Kau seharusnya
sudah menemukan alat agar kami bisa pindah kemana saja dalam sekejap, Profesor. Bukan
hanya mengurus soal bulan yang terbelah, itu kan sudah jelas pasti benar, Mamak dulu juga
sudah bilang itu benar dalam cerita-ceritanya lepas Shubuh, tak perlu kau buktikan—"
Ikanuri mencoba bergurau, sebelum menutup sambungan internasional.
Lengang. Dalimunte mengusap wajahnya sekali lagi. Terdiam. Bukan karena gurauan
Ikanuri soal penelitiannya. Wibisana dan Ikanuri berdua memang sejak kecil kompak sudah
suka mengganggu 'penelitian-penelitiannya'. Menyembunyikan alat-alatnya. Dalimunte
terdiam karena memikirkan sesuatu. Cemas.
"Abi, jadi naik nggak?"
Intan berseru memanggil dari dalam mobil. Putrinya sudah duduk rapi memeluk si belang.
Sopir perkebunan strawberry juga sejak dari tadi menunggu.
Dalimunte menghela nafas. Ya Allah, bertambah satu lagi hal mencemaskan. Yashinta!
Kemana pula adik bungsunya itu? Ganjil sekali HP satelitnya tidak ada sinyal. Apa dia harus
cek GPS (global positioning system) agar tahu posisi Yashinta? Tapi kalau HP satelitnya saja
mati, apalagi GPS-nya. Itu satu paket dengan gagdet canggih Yashinta. Dalimunte setelah
menghela nafas untuk kesekian kalinya, beranjak menghempaskan pantat di jok mobil.
Mengangguk, memberikan kode jalan ke sopir.
Diposting oleh Ali rEza di 07.26 0 komentar
Label: novel seri
9 CRAYON 12 WARNA
9
CRAYON 12 WARNA
ANGIN MALAM bertiup lembut.
Menyelisik sela-sela dinding anyaman bambu.
Malam beranjak datang. Rumah panggung kecil itu akhirnya lengang, setelah sejak
maghrib tadi terdengar riuh oleh hardikan-hardikan. Hanya suara burung hantu dari kejauhan
yang menghias malam, ditingkahi derik jangkrik bernyanyi. Langit terlihat cerah. Gemintang
menunjukkan berjuta formasinya. Di sana ada Taurus, ada Pisces, ada Leo, Gemini, dan lebih
banyak lagi rasi yang tidak memiliki nama.
Tadi siang, hingga sore benar-benar ribut.
Kak Laisa setiba di rumah panggung langsung menyiapkan bekal makanan seadanya,
kemudian menyusul Mamak Lainuri di ladang bersama Dalimunte —yang tetap lebih banyak
berdiam diri setelah dimarahi di sungai tadi, menunggu rumah. Ia belum pernah diajak-ajak
ke ladang… Kata Mamak ia masih terlalu kecil. Ladang itu tidak jauh hanya satu kilo dari
kampung. Seperti tetangga lainnya, Mamak bertanam padi. Musim ini kabar baik, hujan
datang teratur. Maksudnya, saat nugal (masa tanam) hujan turun, saat akan panen seperti
sekarang, hujan justru berkurang. Kalau sebaliknya, bisa celaka. Bisa urung tanam, atau gagal
panen karena busuk.
Menjelang ashar Mamak Lainuri, Kak Laisa dan Kak Dalimunte pulang. Biasanya
Mamak langsung ke hutan, menghabiskan dua jam sebelum maghrib mencari damar, rotan,
atau apalah. Tapi hari ini tidak. Mamak sudah mendapatkan laporan Kak Laisa soal kejadian
tadi siang, jadi wajah Mamak terlihat marah sepanjang sore. Mamak sebenarnya tidak suka
marah. Lebih banyak berdiam diri. Melotot, dan anak-anaknya langsung mengerti.
Bagaimanalah Mamak akan sempat marah? Mamak sudah terlanjur lelah dengan jadwal
harian. Bangun jam empat shubuh, menanak nasi, membuat gula aren, menyiapkan keperluan
ladang. Lantas berangkat ke ladang. Nanti, baru lepas isya, setelah anak-anaknya tidur baru
bisa istirahat. Itupun setelah menyelesaikan anyaman, rajutan atau apalah.
Tapi sore ini Mamak tidak dapat menahan marah. Bukan karena Dalimunte, Ikanuri, dan
Wibisana sekaligus bolos sekolah, kasus bolos itu sudah biasa. Sudah bebal dua sigung itu
diceramahi Tetapi lebih karena baru selepas maghrib Ikanuri dan Wibisana pulang ke rumah.
Selama ini, meski suka bolos, Ikanuri dan Wibisana paling hanya bermain-main ke manalah.
Pulang sebelum lembah gelap. Tapi apa yang dilakukan mereka seharian ini? Mereka baru
pulang setelah yang lain selesai shalat maghrib. Ikanuri dan Wibisana, berani sekali ikut
menumpang mobil starwagoon tua ke kota kecamatan, membantu tauke desa atas menjual
sayur-mayur di sana.
Mereka pulang sambil tersenyum lebar membawa bungkusan dari kota, upah kerja
seharian, tapi Mamak tidak peduli. Terlanjur marah. Maka kena omellah Ikanuri dan
Wibisana. Tentang mau jadi apa mereka? Sekolah! Sekolah jauh lebih penting daripada
bekerja. Kalian tidak akan jadi apa-apa kalau bodoh sepertiMamak! Kalian pikir hidup susah
itu menyenangkan? Hanya karena menyadari adzan isya akan segera berkumandang dari
suraulah omelan Mamak akhirnya terhenti. Menyuruh mereka ambil wudhu. Shalat maghrib!
lantas makan bersama di hamparan tikar. Lebih banyak berdiam diri. Padahal Kak Laisa
masak ikan asap. Menu yang terhitung istimewa buat keluarga miskin mereka. Tapi itu tidak
cukup membantu suasana.
Lepas isya, setelah Dalimunte mengajak Ikanuri dan Wibisana shalat di surau; dan kali ini
dua sigung nakal itu menurut barulah ruang tengah rumah panggung itu terasa lebih lega.
Lampu canting besar di dinding kerlap-kerlip. Ikanuri dan Wibisana belajar di atas tikar
pandan. Membaca, entah benaran membaca atau hanya pura-pura agar tidak kena marah lagi.
Mereka sekali dua saling berbisik pelan,
"...iya, itu katanya jalan pintas menuju kota kecamatan..."
"...aku dengar dari pemburu harimau di kota kecamatan tadi...".
Terdiam saat Mamak menoleh.
"...lewat jalan itu lebih cepat..."
Yashinta asyik menggambar berang-berangnya tadi pagi. Dalimunte entah mengerjakan
apa dengan kertas-kertas besar diujung tikar satunya. Kak Laisa dan Mamak duduk di sebelah
Yashinta, menganyam topi pesanan.
Malam beranjak matang.
"Eh, Kak Lais, Yashinta nanti boleh sekolah, kan?"
Yashinta mendadak menghentikan gerakan tangannya, menoleh ke Kak Laisa. Ia teringat
kata-kata Kak Laisa tadi siang di sungai bawah cadas.
"Apa?" Kak Laisa yang sibuk dengan anyaman bertanya balik,
"Eh, nanti Yashinta boleh sekolah, kan?"
Yashinta bertanya sekali lagi, ragu-ragu. Ah, kalau ia sekolah, Mamak dan Kak Laisa pasti
lebih repot lagi mencari uangnya.
"Sekolah! Lepas panen ladang musim ini Yashinta masuk sekolah!"
Mamak Lainuri yang menjawab.
Beneran? Yashinta menyeringai. Matanya membulat. Mamak mengangguk selintas, tetap
konsentrasi menganyam. Yashinta sudah tersenyum riang. Tadi kan, Kak Laisa bilang anak
lelaki harus sekolah. Kalau anak perempuan? Lihat, Kak Laisa kan anak perempuan.
Makanya ia tidak sekolah. Yashinta berpikiran pendek. Jadi dipikirkan sepanjang hari. Ia
tidak tahu kalau sebenarnya Kak Laisa yang memutuskan mengalah untuk tidak sekolah agar
adik-adiknya bisa sekolah.
Asyik, asyik, ternyata ia juga akan sekolah.
Biasanya, kalau bicara soal sekolah begini, Ikanuri dan Wibisana otomatis akan nyeletuk
sama seperti tadi pagi,
"Memangnya asyik sekolah?"
Tapi karena mereka berdua malam ini lagi alim, mereka hanya sibuk belajar, berbisik-bisik.
Meneruskan membaca buku.
"Kak Laisa, lihat gambar berang-berangnya, deh! Bagus, kan?"
Yashinta menghentikan gerakan tangannya lagi. Menyeringai sambil menyodorkan kertas
gambarnya,
Kak Laisa menoleh, menyimak. Tersenyum. Mengangguk. Yashinta menyeringai senang,
kan jarang-jarang Kak Laisa tersenyum. Mamak Lainuri juga beranjak mendekat melihat
gambar Yashinta. Ikut tersenyum. Yashinta memang berbakat melukis. Meski hanya dengan
pensil, gambarnya tetap bagus. Lima berang-berang itu terlihat begitu nyata. Andai saja ia
bisa membelikan putri bungsunya crayon warna. Mamak menghela nafas pelan, meneruskan
menganyam. Sejak dulu Yashinta sudah minta dibelikan.
Ikanuri dan Wibisana juga melirik selintas, meski lantas sok serius kembali lagi ke buku.
Dalimunte masih sibuk dengan kertas-kertasnya. Entah membuat apa.
Sejurus, Yashinta menguap. Beranjak membereskan pensil dan kertas gambar. Sudah
hampir pukul 21.00. Saatnya tidur. Hanya ada satu kamar di rumah panggung itu. Mamak,
Kak Laisa dan ia tidur di kamar, beralaskan kasur butut. Sementara, Dalimunte, Wibisana dan
Ikanuri tidur di ruang tengah. Pakai tikar pandan dan sarung.
"Ah-iya, Ikanuri lupa —"
Entah kenapa Ikanuri tiba-tiba bangkit dari belajarnya. Semua menoleh. Langkah Yashinta
tertahan.
Ikanuri mengambil bungkusan kecil dari kota kecamatan tadi. Lantas menyerahkannya ke
Yashinta.
"Buat, Yashinta!"
" Apa-an?" Yashinta bertanya sambil menguap.
"Buka saja—"
Ikanuri nyengir.
Yashinta tanpa perlu diperintah dua kali, membuka ikatan kantung plastik kecil. Sekejap
terdiam memegang kotak berwarna itu. Seperti tidak percaya. Satu detik. Dua detik. Lantas
berseru senang sekali.
"CRAYON 12 WARNA—"
Yashinta tertawa lebar. Ikanuri ikut tertawa. Mengusap jidatnya.
"TERIMAKASIH, KAK!"
Ah, malam itu, di tengah sejuknya angin malam menilisik lubang.-lubang dinding. Di
tengah gemerlap sejuta bintang di angkasa sana. Malam itu, Mamak Lainuri setelah seharian
bekerja, setelah sepanjang malam mengkal melihat ulah anak lelakinya, akhirnya bisa
tersenyum lebar. Juga Kak Laisa....
"Abi, Tante Yashinta juga pulang, kan?"
Dalimunte yang mendorong koper sepanjang lorong garbarata pesawat mengangguk
pelan. Ummi berjalan di belakang.
Asyik. Asyik. Kalau begitu ia bisa lihat-lihat kamera keren Tante Yashinta. Lihat-lihat
foto yang indah. Dulu waktu Intan masih kecil, Tante Yashinta yang suka ngajarin melukis.
Makanya Intan suka dengan pelajaran itu di sekolah.
"Oom Ikanuri? Oom Wibisana juga pulang, Bi?"
Dalimunte mengangguk lagi. Teringat sesuatu. Urusan ini benar-benar membuatnya tak
sempat berpikir panjang. Bagaimana mungkin dia belum menghubungi mereka satu pun?
Sejak menerima SMS di konferensi fisika. Itu berarti tiga jam berlalu, dan dia belum tahu apa
yang sedang dilakukan adik-adiknya. Juga kabar Kak Laisa dan Mamak Lainuri di
perkebunan strawberry. Dalimunte mengeluarkan HP dari sakunya. Antrian penumpang
keluar dari pintu garbarata membuat langkah terhenti. Menyalakan telepon genggam.
"Kalau begitu Delima dan Juwita juga datang.... Horee!"
Intan tertawa lebar. Meraba tasnya. Ia bisa memaksa mereka berdua memakai empat gelang
karet "Safe The Planet". Meski sedikit nyengir ketika kemudian membayangkan Oom Ikanuri
dan Oom Wibisana. Pasti mereka lagi-lagi suka jahil ngerjain Intan.
Dulu pernah hamster belang Intan disembunyikan di tong belakang perkebunan. Untung
ada Wak Laisa yang belain. Perasaan Oom Ikanuri dan Oom Wibisana nurutnya hanya sama
Wak Laisa, deh, Sekarang? Kata Abi tadi kan Wak Laisa lagi sakit. Jadi tidak ada yang belain
Intan kalau lagi dikerjain Oom Ikanuri dan Oom Wibisana. Ah, Wak Laisa paling sakit perut
atau mencret-mencret, tidak bakal serius ini. Masih bisa menemani Intan jalan-jalan di kebun
strawberry. Intan sibuk mikir sambil memperhatikan Abi yang menunggu nada sambung.
Orang dewasa tuh rumit, ya? Kenapa pula coba tampang Abi tegang begini sejak tadi dari
sekolah. Cemas karena Wak Laisa sakit? Lah? Kan dikasih oralit, mencret Wak Laisa paling
juga sudah sembuh. Intan jago kok bikin minuman itu.
Diposting oleh Ali rEza di 07.07 0 komentar
Label: novel seri