MAKSUMKAH para murobbi itu

Senin, 27 Desember 2010

Mukadimah
Meyakini kemaksuman para nabi dari maksiat dan dosa, yang disengaja atau tidak, merupakan keyakinan yang pasti dan populer di kalangan Syi'ah Imamiyah yang telah diajarkan oleh para imam suci kepada syi'ah (pengikut setia) mereka. Mengenai masalah ini, mereka terlibat dalam dialog dengan orang-orang yang menentang mereka melalui berbagai macam metode. Di antaranya, dialog yang dilakukan oleh Imam Ridha as yang disebutkan dalam buku-buku hadis dan sejarah. Akan tetapi, ada perbedaan mengenai mungkinnya kealpaan dan kelupaan pada diri para nabi as dalam hal-hal yang sifatnya mubah. Bahkan secara zahir, riwayat-riwayat yang dinukil dari Ahlulbait as itu pun tidak lepas dari pertentangan. Pembahasan mengenai hal ini memerlukan luang yang lebih luas lagi. Yang jelas, hal itu tidak mungkin dianggap sebagai keyakinan yang prinsipal.
Kemaksuman
Definisi kemaksuman seecara bahasaialah penjagaan.dan secara istilah adalah terjaga atau terpelihara dari kesalahan ataupun dosa .
Kemaksuman terbagi dalam dua bagian :
            Pertama, terpelihara atau maksum dari kesalahan (kemaksuman dalam hal keilmuan). Kemaksuman ini dalam ruang lingkup keilmuan dan teori yang aman dari empat macam kesalahan yaitu:
Kemaksuman dalam aqidah, kemaksuman dalam menerima wahyu,kemaksuman didalam penjagaan risalah,dan kemaksuman dalam penyampaian risalah.
            Kedua, kemaksuman dari dosa dan kekhilafan (kemaksuman secara praktis atau amaliah).
Kemaksuman para Nabi
Terdapat ikhtilaf di antara mazhab-mazhab Islam tentang sejauh mana kesucian para nabi dari dosa. Syi'ah Imamiyah percaya bahwa sejak dilahirkan hingga wafat, para nabi itu terjaga dari segala dosa dan maksiat, baik yang kecil atau yang besar, yang disengaja atau tidak. Ada yang berpendapat bahwa para nabi itu hanya terjaga dari dosa-dosa besar saja.
Ada madzhab yang meyakini para nabi itu terjaga dari dosa sejak masa akil balig. Sebagian yang lain mengatakan sejak masa kenabian. Sebagian dari Madzhab Ahlus Sunnah seperti Al-Khasyawiyah dan sebagian dari Ahlul Hadits mengingkari kemaksuman para nabi, sama sekali. Menurut mereka, mungkin saja para nabi melakukan dosa dengan sengaja, bahkan pada masa kenabian mereka sekalipun.
Sebelum membuktikan kemaksuman para Nabi, perlu kami jelaskan sebagian poin-poin penting berikut ini:
Pertama, maksud dari kemaksuman para nabi atau selain mereka, bukan sekedar tidak melakukan dosa. Karena bisa jadi seorang manusia biasa tidak melakukan maksiat sepanjang usianya, khususnya apabila orang itu berusia pendek. Akan tetapi yang kita maksud dengan kemaksuman para nabi di sini adalah adanya malakah nafsaniyah (karakter jiwa) yang kuat yang mencegah dia dari berbuat dosa dan maksiat, sekalipun dalam kondisi yang sulit. Malakah ini dicapai dengan pengetahuannya yang sempurna akan keburukan dosa, dan dengan kehendak serta keinginan yang kuat untuk mengendalikan hawa nafsu. Karena malakah semacam ini tidak mungkin dapat terwujud kecuali dengan bantuan dan inayah Allah swt.secara khusus, maka pemilik malakah diidentikkan dengan-Nya.
Kemaksuman mereka tidak berarti bahwa Allah memaksa mereka untuk meninggalkan dosa dan mencabut kebebasan kehendak dan usaha mereka. Kemaksuman sebagian manusia sempurna seperti para nabi dan imam juga bisa dinisbahkan kepada Allah dengan makna yang lain, yaitu bahwa Dialah yang menjamin kemaksuman mereka.
Kedua, kemaksuman seseorang itu menuntutnya untuk meninggalkan berbagai perbuatan yang dilarang ke atasnya, seperti perbuatan maksiat yang diharamkan dalam seluruh syariat, dan perbuatan yang dilarang dalam syariat yang ia ikuti. Dengan demikian tidak terdapat kontradiksi antara kemaksuman para nabi dengan mengamalkan sebagian perbuatan yang dibolehkan dalam syariatnya untuk pribadi mereka secara khusus, sekali pun itu diharamkan dalam syariat-syariat yang sebelumnya atau diharamkan pada ajaran yang akan datang.
Ketiga, maksud dari maksiat yang seorang maksum tersucikan darinya ialah perbuatan yang "haram" dalam istilah Fiqih, atau meninggalkan perbuatan yang "wajib" menurut istilah Fiqih. Adapun kata maksiat dan semacamnya, yaitu adz-dzanbu (dosa), terkadang digunakan untuk hal-hal yang lebih luas daripada makna maksiat dan dosa, seperti bisa juga digunakan untuk mengartikan tarkul aula (meninggalkan yang lebih utama). Meninggalkan yang lebih utama tidaklah menafikan kemaksuman dari diri mereka.[]
Catatan kaki:
[1] Tentang hal ini Allah SWT berfirman, “Allah tidak akan menampakkan hal gaib kepada kalian, tetapi Ia memilih utusan-utusan-Nya dengan kehendak-Nya.” (QS. Ali Imran: 179)
[2] Dalam Al-Qur'an disebutkan, “Allah lebih mengetahui kepada siapa Dia menyerahkan risalah-Nya.” (QS. Al-An`am: 124)
[3] “Allah Maha Mengetahui hal yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan hal gaib kepada siapapun. Kecuali kepada rasul yang Dia ridahi. Sesungguhnya Dia menciptakan para penjaga di depan dan belakangnya. Supaya Dia mengetahui bahwa rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah Tuhan mereka. Allah mengetahui apa yang ada dalam mereka dan menghitung segala sesuatu.“ (QS. al-Jin: 26-27).
[4] “Supaya orang binasa atau hidup dengan keterangan yang nyata.“ (QS. al-Anfal: 42)
Mengapa Para Nabi Harus Maksum?
Setelah terbukti perlunya wahyu sebagai sarana alternatif untuk memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan manusia demi menutupi kekurangan-kekurangan indra dan akal mereka, ada masalah berikutnya yang perlu dibahas di sini.  Yaitu, mengingat bahwa manusia biasa tidak mungkin dapat memanfaatkan sarana pengetahuan ini secara langsung dan tidak memiliki potensi untuk menerima  wahyu Ilahi [1], oleh karena itu  risalah Ilahiyah harus disampaikan kepada mereka melalui para nabi.
Pertanyaannya, Apakah yang menjamin keutuhan risalah ini? Bagaimana kita dapat mempercayai bahwa nabi telah menerima dan menyampaikan wahyu Ilahi kepada umat manusia secara utuh? Jika terdapat perantara antara Allah Swt dan nabi, yaitu Malaikat Jibril, lalu bagaimana kita bisa percaya bahwa Malaikat itu menyampaikan risalah tersebut secara utuh pula?
Pertanyaan-pertanyaan di atas muncul karena wahyu itu hanya bisa berperan untuk menutupi berbagai kekurangan pengetahuan manusia apabila-semenjak diturunkan hingga disampaikannya kepada manusia-terjaga dari penyimpangan, kesamaran, secara sengaja ataupun tidak.
Bila tidak demikian, maka dengan adanya kemungkinan kelalaian dan kekhilafan pada satu atau sejumlah perantara, atau  adanya perubahan yang disengaja dalam kandungan wahyu,  akan timbul duga-an dalam benak manusia akan kemungkinan kecacatan dan kerancuan pada risalah yang sampai kepada mereka, dan akan menggoyahkan kepercayaan mereka terhadap risalah itu. Maka itu, dengan cara apakah kita dapat meyakini sampainya wahyu Ilahi kepada umat manusia secara utuh dan selamat dari penyelewengan dan kesalahan?
Jelas apabila hakikat wahyu itu tidak diketahui oleh manusia, dan mereka tidak memiliki potensi untuk menerima wahyu itu, maka mereka tidak mempunyai jalan untuk mengawasi dan meneliti kebenaran perantara-perantara itu. Mereka baru bisa memahami adanya kesalahan dalam wahyu bila ia mengandung isi yang bertentangan dengan hukum pasti akal.
Misalnya, apabila ada seseorang yang mengaku bahwa dia diberikan wahyu oleh Allah Swt. yang  menyatakan bahwa dua hal yang kontradiksi itu mungkin atau pasti terjadi, atau ada seseorang yang mengaku (na’udzu billa) bahwa dzat Allah Swt itu tersusun, atau berbilang, atau hancur, atau hilang. Pada kondisi seperti ini, kita bisa membantah dan membuk-tikan kebatilan pengakuan tersebut melalui penilaian akal yang pasti (qat’i).
Akan tetapi, kebutuhan utama kepada wahyu itu  terdapat pada masalah-masalah yang akal manusia tidak menemukan jalan untuk membuktikan atau menafi-kannya, juga tidak mampu menilai kebenaran atau kesalahan risalah tersebut. Dalam kondisi semacam ini, dengan jalan apakah kita dapat menetapkan kebenaran kandungan wahyu dan keterjagaannya dari pengaburan dan penyelewengan yang disengaja atau kelalaian para perantara, yaitu malaikat Jibril dan para nabi As?
Jawaban atas pertanyaan di atas ini ialah bahwa sebagai-mana halnya akal -dengan memperhatikan Hikmah Ilahiyah pada kajian 2 tentang masalah kenabian ini- mengetahui bahwa ada jalan lain untuk mengetahui hakikat dan cara hidup manusia, meskipun ia tidak mengetahui secara pasti hakikat jalan itu, dia juga memahami bahwa Hikmah Ilahiyah menuntut agar wahyu Allah terlindung dari penyimpangan hingga berada ke hadapan manusia tanpa terjadi pengaburan. Karena bila tidak demikian, akan terjadi pertentangan di dalam tujuan-Nya. 
Dengan kata lain, setelah diketahui bahwa risalah Ilahi itu harus sampai kepada umat manusia melalui seorang atau beberapa perantara sehingga tercipta kondisi yang cukup untuk kesempurnaan umat manusia dan terealisasinya tujuan Ilahi dari penciptaan manusia terebut, maka -dengan mengacu pada sifat-sifat kesempurnaan Ilahi- akan dapat dibuktikan pula bahwa risalah itu harus terjaga utuh dari penyelewengan dan kekhilafan, yang disengaja ataupun tidak. Karena jika Allah Swt. tidak menghendaki sampainya risalah kepada umat manusia secara utuh, ini bertentangan dengan Hikmah Ilahi-yah, dan kehendak-Nya yang bijaksana pun menafikan asumsi ini.
Dan seandainya Allah Swt tidak mengetahui dengan apa atau melalui siapa risalah itu akan disampaikan secara utuh kepada hamba-hamba-Nya, ini bertentangan dengan ilmu-Nya yang tak terbatas.
Dan jika Dia tidak kuasa untuk memilih para pengemban wahyu yang layak dan melindungi mereka dari sentuhan tangan-tangan kotor dan setan-setan, ini tidak sesuai dengan kekuasaan-Nya yang tidak terbatas.
Maka, dengan bukti kemahatahuan Allah Swt, tidak ada alasan bagi kita untuk memberi kemungkinan bahwa Dia memilih pembawa wahyu yang tidak Dia ketahui ketulusan dan amanatnya [2]. Dan dengan bukti kemahakuasaan Allah Swt, kita tidak mungkin menduga bahwa Allah tidak mampu menjaga wahyu-Nya dari campur tangan setan, orang-orang jahat, dan dari kelalaian dan kelupaan pada diri pembawa wahyu-Nya[3]. Dan dengan adanya Hikmah Ilahiyah, tidak mungkin bahwa Allah itu tidak berkehendak untuk menjaga risalah-Nya dari berbagai kesalahan dan kelalaian[4]. Oleh karena itu ilmu, kekuasaan dan hikmah Allah Swt menuntut risa-lah itu agar sampai kepada hamba-hamba-Nya secara utuh.
Dengan penjelasan rasional inilah kita dapat menetapkan terjaganya wahyu dari berbagai kecacatan. Penjelasan ini pula dapat membuktikan keterjagaan Malaikat Wahyu dan para nabi pada tahap menerima wahyu dan kemaksuman mereka dari pengkhianatan yang disengaja, atau dari kelalaian dan kelupaan pada tahap menyampaikan wahyu.
Dari uraian di atas jelaslah bagi kita sebab penekanan Al-Qur’an atas sifat amanat para pembawa wahyu dan para nabi serta kemampuan mereka untuk menjaga amanat Ilahiyah dan menolak berbagai pengaruh setan. Secara umum, tampak jelas apa yang telah kami singgung mengenai penegasan Al-Qur’an atas terpeliharanya wahyu dan para penjaga wahyu, sehingga wahyu tersebut sampai kepada umat manusia secara utuh.

Dalil Akal atas Kemaksuman Para Nabi
Dalil akal yang pertama atas keterjagaan para Nabi dari maksiat ialah bahwa tujuan utama diutusnya para nabi itu ialah untuk memberikan petunjuk kepada seluruh umat manusia dan membimbing mereka kepada hakikat kebenaran dan tugas-tugas yang telah ditentukan oleh Allah SWT ke atas mereka. Pada hakikatnya, para nabi itu merupakan duta-duta Tuhan untuk seluruh umat manusia. Mereka mempunyai tugas untuk memberikan hidayah kepada jalan yang lurus. Apabila mereka sendiri tidak konsisten dengan ajaran Ilahi, atau bahkan mengamalkan yang sebaliknya; yang menyalahi kandungan risalah yang mereka emban, atau menyalahi ucapan yang mereka katakan dan pesan yang mereka berikan, pasti umat manusia akan menilai bahwa perbuatan mereka tersebut sebagai penjelasan yang menyalahi ucapan mereka sendiri. Dengan demikian, seorang pun tidak akan percaya lagi kepada ucapan mereka. Akibatnya, tidak akan terealisasi secara sempurna tujuan diutusnya mereka.
Karenanya, hikmah dan rahmat Ilahi itu menuntut bahwa para nabi itu harus maksum dan suci dari berbagai dosa. Bahkan tidak akan keluar perbuatan yang tidak baik dari diri mereka, sekalipun dalam bentuk lalai atau pun kelupaan, supaya umat manusia tidak berasumsi bahwa mereka menjadikan pengakuan lalai dan lupa sebagai alasan untuk melakukan dosa dan maksiat.
Dalil akal yang kedua atas kemaksuman para nabi adalah bahwa di samping ditugaskan untuk menyampaikan kandungan wahyu dan risalah kepada umat manusia dan memberikan petunjuk kepada mereka ke jalan yang lurus, para nabi juga ditugaskan untuk mendidik dan membersihan jiwa mereka, dan mengantarkan individu-individu yang mempunyai potensi kepada peringkat yang terakhir dari peringkat kesempurnaan insani.
Artinya, di samping memberikan pengajaran dan tuntunan kepada umat manusia, para nabi juga mempunyai tugas penting lainnya, yaitu memimpin dan mendidik mereka secara menyeluruh, sekalipun mereka termasuk orang-orang yang berpotensi dan terpandang di masyarakat. Dan kedudukan yang tinggi ini tidak mungkin dapat dicapai kecuali oleh orang-orang yang telah mencapai derajat kesempurnaan insani dan yang memiliki lebih banyak karakter kesempurnaan, yaitu karakter kemaksuman. Selain itu, peran sikap dan perilaku seorang pendidik itu lebih berpengaruh daripada ucapannya dalam proses pembinaan. Jika ditemukan berbagai kekurangan dan kesalahan pada perbuatannya, ucapannya itu pasti tidak lagi berarti.
Dengan demikian, tujuan Ilahi dari diutusnya para nabi—sebagai penuntun dan pendidik umat manusia—hanya bisa terealisasi secara penuh apabila mereka itu maksum dan terpelihara dari berbagai macam maksiat, kesalahan, dan penyelewengan, baik dalam ucapan maupun perbuatan mereka.
Dalil Wahyu atas Kemaksuman Para Nabi
Pertama, Al-Qur'an menggunakan istilah al-mukhlas pada sebagian individu ketika mereka tidak tersentuh oleh bujuk-rayu setan. Dari sinilah setan bersumpah untuk menyesatkan seluruh Bani Adam, kecuali mereka yang mukhlas, sebagaimana terdapat dalam firman-Nya:
"Maka dengan keagungan-Mu aku akan berusaha sekuat tenaga untuk meyesatkan seluruh umat manusia kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas." (QS. Shad: 82-83)
Tidak diragukan lagi bahwa sebab putus asanya setan dari menyesatkan orang-orang yang mukhlas itu karena mereka suci dan terjaga dari dosa dan maksiat. Kalau tidak demikian, musuh-musuh mereka itu tentu akan dapat menggoda mereka dan penyesatan setan dapat menyentuh mereka. Dan jika mereka pun bisa disesatkan, setan tidak akan membiarkan mereka sedetik pun. Oleh karena itu, arti al-mukhlash itu identik dengan arti al-ma'shum. Walaupun tidak dijumpai argumen yang menunjukan kekhususan sifat mukhlas ini bagi para nabi, akan tetapi tidak diragukan lagi bahwa sifat ini disandang oleh mereka. Al-Qur'an telah memberikan penilaian atas sebagian para nabi dengan sifat al-mukhlasin:
"Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim Ishak dan Ya'qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan manusia akan akhirat." (QS. Shad: 45-46).
“Dan ceritakanlah kisah Musa di dalam al-Kitab (Al-Qur'an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang hamba yang mukhlas dan seorang rasul dan nabi.” (QS. Maryam: 51).
Begitu pula ihwal disucikannya Nabi Yusuf as dari peyelewengan ketika beliau berada pada kondisi yang sangat sulit, karena beliau adalah hamba Allah yang mukhlas. "Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba-Ku yang mukhlas." (QS. Yusuf: 4).
Kedua, Al-Qur'an telah mewajibkan seluruh umat manusia untuk mentaati Nabi secara mutlak:
"Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan untuk ditaati dengan izin Allah." (QS. An-Nisa’: 64).
Ketaatan umat secara mutlak kepada para Nabi hanya terjadi jika para nabi itu berada di bawah ketaatan kepada Allah SWT dan sebagai perpanjangan dari-Nya, sehingga ketaatan kepada para nabi itu tidak menafikan ketaatan kepada Allah SWT. Kalau tidak demikian, perintah secara mutlak untuk mentaati Allah SWT itu bertentangan dengan perintah secara mutlak kepada orang-orang yang melakukan kesalahan dan penyelewengan.
Ketiga, Al-Qur'an telah mengkhususkan kedudukan Ilahi kepada mereka yang sama sekali tidak berbuat zalim. Allah SWT berfirman ketika menjawab permintaan Nabi Ibrahim as akan kedudukan imamah untuk putra-putranya, “Janjiku tidak akan meliputi orang-orang yang zalim."
Kita tahu bahwa maksiat itu merupakan perbuatan zalim—paling tidak—atas diri sendiri. Dan setiap pelaku maksiat adalah manusia zalim menurut Al-Qur'an. Dengan begitu, para nabi dan orang-orang yang mempunyai kedudukan Ilahi (kenabian dan risalah) pasti suci dari kezaliman dan maksiat. Argumentasi atas kemaksuman para Nabi ini bisa juga dijumpai pada ayat dan riwayat yang lain yang tidak mungkin kami jelaskan di sini.

Rahasia Kemaksuman Para Nabi
Di akhir pelajaran ini, barangkali tepat bila kami membubuhkan catatan tentang falsafah kemaksuman para nabi dalam hal menerima wahyu. Yaitu, bahwa mengetahui wahyu itu adalah perkara yang tidak mungkin mengalami kesalahan. Dan nabi-nabi yang berhak menerima wahyu akan mendapatkan hakikat ilmu secara hudhuri,[1] mereka menyaksikan hubungan ilmu ini dengan Pemberi Wahyu (Allah), baik melalui perantara malaikat atau tidak. Maka, tidak mungkin penerima wahyu akan merasa ragu; apakah yang diterimanya itu berupa wahyu atau bukan? Atau siapakah yang mewahyukan kepadanya? Atau apakah kandungan wahyu yang diturunkan kepadanya? Apabila terdapat sebagian hikayat yang menceritakan bahwa ada seorang nabi yang merasa ragu dengan kenabiannya, atau ia tidak mengetahui kandungan wahyu, atau ia tidak mengetahui siapakah pemberi wahyu itu, hikayat semacam ini adalah dusta dan dibuat-buat. Kebatilan kisah semacam ini sama dengan ungkapan: ia ragu terhadap wujudnya sendiri, atau ragu terhadap pengetahuannya yang bersifat hudhuri dan wijdani.
Adapun falsafah kemaksuman para nabi dalam menjalankan tugas-tugas Ilahi seperti: menyampaikan risalah Allah kepada seluruh umat manusia, ini memerlukan premis sebagai berikut:
Suatu perbuatan manusia akan sempurna apabila terdapat di dalam hatinya kecondongan kepada sesuatu yang diinginkannya. Dan kecondongan itu muncul karena berbagai faktor yang menentukan jalan agar ia sampai kepada tujuan yang diinginkannya tersebut dengan bantuan berbagai pengetahuan. Kemudian, ia akan melakukan perbuatan yang sesuai dengan tujuannya tersebut. Apabila terdapat kecondongan dan keinginan yang saling bertentangan, ia berusaha untuk mengetahui manakah yang lebih utama dan paling banyak nilainya. Ketika itu ia akan memilih yang lebih baik lalu melakukannya. Akan tetapi terkadang—akibat adanya kekurangan pada pengetahuannya—ia keliru dalam menentukan mana yang lebih utama, atau karena ia tidak mengetahui manakah yang lebih bermaslahat, atau karena ia telah terbiasa dengan hal-hal yang buruk, maka ia memilih hal-hal yang buruk pula, dan tidak ada kesempatan baginya untuk berfikir jernih dan memilih yang lebih bermaslahat.
Oleh karena itu, semakin pengetahuan, kesadaran dan perhatian seseorang terhadap berbagai hakikat itu luas dan kuat, dan semakin kuat kehendaknya untuk menentukan kecondongan-kecondongan dan reaksi-reaksi internal, niscaya pilihannya akan lebih baik, dan lebih terjaga dari berbagai kesalahan dan penyimpangan.
Dari sinilah sebagian individu yang mempunyai pengetahuan dan potensi yang tinggi membekali dirinya dengan kesadaran yang tinggi dan pendidikan yang bersih. Orang-orang semacam ini pasti akan sampai ke peringkat kesempurnaan dan keutamaan. Mungkin juga mereka ini akan mencapai peringkat yang mendekati kemaksuman. Bahkan mungkin tidak terlintas dalam benak mereka pikiran untuk berbuat dosa dan hal-hal yang buruk. Sebagaimana tidak seorang pun yang berakal sehat mempunyai pikiran untuk minum racun atau ramuan yang dapat membinasakan dirinya atau mengkonsumsi sesuatu yang kotor dan berbau busuk.
Maka itu, apabila kita berasumsi adanya seseorang yang kapasitasnya telah terpenuhi untuk memperoleh berbagai macam hakikat, ruh dan hatinya telah mencapai derajat yang tinggi, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an, "Hampir-hampir minyaknya itu dapat menerangi walaupun tidak disentuh oleh api", lantaran kapasitasnya yang sudah penuh, jiwanya yang bersih, memperoleh pendidikan Ilahi serta ditopang dengan ruhul qudus. Orang semacam ini pasti akan melewati tangga-tangga kesempurnaan dengan cepat yang tidak bisa dibayangkan. Bahkan bisa jadi ia akan melewati jalan yang tidak mungkin dilewati oleh orang lain selama seratus tahun, dan sangat mungkin ia akan mengungguli orang lain walaupun ia masih kanak-kanak, bahkan sekalipun dia masih berupa janin. Bagi orang semacam ini akan tampak jelas nistanya perbuatan maksiat dan dosa, persis dengan tampaknya bahaya minum racun, sesuatu yang berbau busuk dan kotoran-kotoran bagi orang lain. Sebagaimana orang biasa itu menjauhi hal-hal yang berbahaya dan kotor tanpa dipaksa, seorang yang maksum pun akan menjauhi berbagai maksiat dan dosa tanpa menafikan kehendak dan usaha bebasnya sama sekali.[]

Pembahasan Lain Ihwal Kemaksuman
Sesungguhnya kemaksuman (ishmah) pada malaikat dan para nabi yang telah kami buktikan berdasarkan argumen di atas, khusus pada tahap penerimaan wahyu dan penyampaiannya. Namun ada tahap kemaksuman lain yang tidak dapat dibuktikan dengan argumen tersebut. Hal ini dapat dibagi kepada tiga bagian. Pertama, kemaksuman para malaikat. Kedua, kemaksuman para nabi. Ketiga, kemaksuman sebagian individu, seperti para imam yang suci, atau seperti Siti Fatimah as dan Siti Maryam as.
Selain tentang kemaksuman para malaikat pada tahap penerimaan dan penyampaian wahyu, kita akan membahas dua persoalan. Pertama, kemaksuman Malaikat Wahyu di luar tugas sebagai penerima dan penyampai wahyu. Kedua, kemaksuman para malaikat selain Malaikat Wahyu, seperti malaikat-malaikat yang dipercaya untuk mengatur rizki, menulis amal manusia, mencabut ruh dan tugas-tugas yang lainnya.
Tentang kemaksuman para nabi yang tidak berhubungan dengan risalah mereka, kita akan membahas dua masalah. Pertama, kemaksuman para nabi dari dosa dan maksiat yang disengaja. Kedua, kemaksuman mereka dari kelalaian dan kelupaan. Dua masalah ini juga akan kita bahas sehubungan dengan orang-orang selain para nabi.
Adapun masalah-masalah yang berkaitan dengan para malaikat pada selain tahap penerimaan wahyu dan penyampaiannya hanya dapat kita bahas dengan argumentasi akal apabila kita telah mengenal hakekat malaikat itu sendiri. Namun, mengenal hakekat dan esensi malaikat, selain tidak mudah, juga tidak sesuai dengan pembahasan di sini.
Oleh karena itu, kami hanya cukup menyebutkan dua ayat yang menunjukkan kemaksuman malaikat:
"Mereka (para malailkat) adalah hamba-hamba yang mulia yang tidak mendahului-Nya dengan ucapan dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya." (QS. Al-Anbiya’: 27)
"Sesungguhnya mereka (para malaikat) tidak bermaksiat kepada Allah terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka dan mereka senantiasa melaksanakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)
Dua ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwa para malaikat itu adalah hamba Allah yang mulia yang tidak melakukan selain perintah Allah, dan tidak akan melanggar perintah-Nya tersebut. Ya, masih tersisa pertanyaan, yaitu apakah ayat-ayat ini mencakup seluruh para malaikat?
Adapun mengenai kemaksuman sebagian individu selain para nabi, hal ini akan lebih sesuai dengan pembahasan Imamah. Maka itu, di sini kita hanya akan membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan kemaksuman para nabi secara khusus. Walaupun sebagian masalah tidak mungkin untuk dipecahkan melainkan dengan dalil-dalil wahyu. Dan masalah-masalah ini dapat dibahas setelah memastikan validitas Al-Qur'an dan Sunnah. Akan tetapi, demi menjaga konsistensi di antara tema-tema masalah tersebut, kita akan membahasnya pada bagian ini. Adapun validitas Al-Qur'an dan Sunnah, kita terima saja sebagai postulat yang akan kita bahas pada saatnya.

0 komentar: