surat cinta balasan

Senin, 27 Desember 2010

Bissmillahirrohmanirrokhim...
hai Reza...
hmmm,,bingung akan berkata apa???
yang jelas,yang pertama sarah mau minta mf yang sebesar2nya.. 

sebuah jawaban yang mungkin kau tunggu tapi menyakitkan,ya Gak???

ini terlalu rumit,bagi Sarah.sudah cukup air mata ini bercucurn hanya untuk menjawab pertanyaan yang satu ini .

sarah takut untuk jawab ya,tau kenapa...
karena itu sutau amanah,tanggung jawab ketika kita mengingkari kau tau rasanya akan lebih sakit dar pada i ini.


sarah sudah bilang dari awal,Sarah tak berani bermain2 dengan perasaan ,untuk saat ini masih ku tutup gerbang ini,krena kutau yang boleh masuk gerbang hanya satu(suamiku nanti)
Sarah takut,takut sekali...akh mf
maka lebih baik Sarah jawab TIDAK"(huft kata yang tidak diinginkan mungkin)
tidak menutup kemungkinan 1,2,3,4 `tahun kedepan kita mmenjadi orang2 sukses(amin)dan ALLOH mempertemukan dengan cara yang baikuntuk menjadi keluaraga yang baik pula ataupun 1,2,3,4 tahun kedepan kita juga dipertemulan menjadi orng yang sukses dengan kehidupan masing 2 yang lebih baik.
(mana kita tau akh)

Sarah tak barani berjanji, karena kepastian memang benar milikNYA
ya kalau umur Sarah masih panjang kalau tinggal besok...????


Sudh lah SArah terlalu lelah membahas hal semacam ini,karena tak banyak yang bisa Sarah perbuat yang ada lagi2 menyakiti.
ortu sarah melarang Sarah membahas hal semacam ini,dan diizinkan ketika Sarah dah selesai kulyah,bekerja dsb.jdi memang saat ini Sarah belumpunya jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu.
hanis ingin kau sabar,
sabar juga termasuk proses belajar,sejauh mana keyakinan kita akan akan keputusanNYA. Sarah yakin kau bisa melalui masa2 ini begitu juga dengan Sarah, yang bisa jadi hasil kesabaran tidak sesuai denagn keinginan kita tapi pasti rencanaNYA kan lebih baik.
Sarah sedih ketika kau sedih,karena kita sahabat

(sesuatu itu indah pada waktunya)

sekarang ikhlaskan semua,hanis ingn liat kau pergi dengan senyum membawa kebahagiaan,ttep optimis.

mfkan jika lagi2 Sarah hanya bisa mengacaukan hati Reza.merobek2 persaanmun dan meninggalkan luka itu begitu saja.

semoga keputusan apapun ini tak merubah persahabataan kita (T_T)
apakah kau masih sudi bersahabat dengan ku,setelah keputusan Sarah ini,mf mf mf

wassalam.......................

MAKSUMKAH para murobbi itu

Mukadimah
Meyakini kemaksuman para nabi dari maksiat dan dosa, yang disengaja atau tidak, merupakan keyakinan yang pasti dan populer di kalangan Syi'ah Imamiyah yang telah diajarkan oleh para imam suci kepada syi'ah (pengikut setia) mereka. Mengenai masalah ini, mereka terlibat dalam dialog dengan orang-orang yang menentang mereka melalui berbagai macam metode. Di antaranya, dialog yang dilakukan oleh Imam Ridha as yang disebutkan dalam buku-buku hadis dan sejarah. Akan tetapi, ada perbedaan mengenai mungkinnya kealpaan dan kelupaan pada diri para nabi as dalam hal-hal yang sifatnya mubah. Bahkan secara zahir, riwayat-riwayat yang dinukil dari Ahlulbait as itu pun tidak lepas dari pertentangan. Pembahasan mengenai hal ini memerlukan luang yang lebih luas lagi. Yang jelas, hal itu tidak mungkin dianggap sebagai keyakinan yang prinsipal.
Kemaksuman
Definisi kemaksuman seecara bahasaialah penjagaan.dan secara istilah adalah terjaga atau terpelihara dari kesalahan ataupun dosa .
Kemaksuman terbagi dalam dua bagian :
            Pertama, terpelihara atau maksum dari kesalahan (kemaksuman dalam hal keilmuan). Kemaksuman ini dalam ruang lingkup keilmuan dan teori yang aman dari empat macam kesalahan yaitu:
Kemaksuman dalam aqidah, kemaksuman dalam menerima wahyu,kemaksuman didalam penjagaan risalah,dan kemaksuman dalam penyampaian risalah.
            Kedua, kemaksuman dari dosa dan kekhilafan (kemaksuman secara praktis atau amaliah).
Kemaksuman para Nabi
Terdapat ikhtilaf di antara mazhab-mazhab Islam tentang sejauh mana kesucian para nabi dari dosa. Syi'ah Imamiyah percaya bahwa sejak dilahirkan hingga wafat, para nabi itu terjaga dari segala dosa dan maksiat, baik yang kecil atau yang besar, yang disengaja atau tidak. Ada yang berpendapat bahwa para nabi itu hanya terjaga dari dosa-dosa besar saja.
Ada madzhab yang meyakini para nabi itu terjaga dari dosa sejak masa akil balig. Sebagian yang lain mengatakan sejak masa kenabian. Sebagian dari Madzhab Ahlus Sunnah seperti Al-Khasyawiyah dan sebagian dari Ahlul Hadits mengingkari kemaksuman para nabi, sama sekali. Menurut mereka, mungkin saja para nabi melakukan dosa dengan sengaja, bahkan pada masa kenabian mereka sekalipun.
Sebelum membuktikan kemaksuman para Nabi, perlu kami jelaskan sebagian poin-poin penting berikut ini:
Pertama, maksud dari kemaksuman para nabi atau selain mereka, bukan sekedar tidak melakukan dosa. Karena bisa jadi seorang manusia biasa tidak melakukan maksiat sepanjang usianya, khususnya apabila orang itu berusia pendek. Akan tetapi yang kita maksud dengan kemaksuman para nabi di sini adalah adanya malakah nafsaniyah (karakter jiwa) yang kuat yang mencegah dia dari berbuat dosa dan maksiat, sekalipun dalam kondisi yang sulit. Malakah ini dicapai dengan pengetahuannya yang sempurna akan keburukan dosa, dan dengan kehendak serta keinginan yang kuat untuk mengendalikan hawa nafsu. Karena malakah semacam ini tidak mungkin dapat terwujud kecuali dengan bantuan dan inayah Allah swt.secara khusus, maka pemilik malakah diidentikkan dengan-Nya.
Kemaksuman mereka tidak berarti bahwa Allah memaksa mereka untuk meninggalkan dosa dan mencabut kebebasan kehendak dan usaha mereka. Kemaksuman sebagian manusia sempurna seperti para nabi dan imam juga bisa dinisbahkan kepada Allah dengan makna yang lain, yaitu bahwa Dialah yang menjamin kemaksuman mereka.
Kedua, kemaksuman seseorang itu menuntutnya untuk meninggalkan berbagai perbuatan yang dilarang ke atasnya, seperti perbuatan maksiat yang diharamkan dalam seluruh syariat, dan perbuatan yang dilarang dalam syariat yang ia ikuti. Dengan demikian tidak terdapat kontradiksi antara kemaksuman para nabi dengan mengamalkan sebagian perbuatan yang dibolehkan dalam syariatnya untuk pribadi mereka secara khusus, sekali pun itu diharamkan dalam syariat-syariat yang sebelumnya atau diharamkan pada ajaran yang akan datang.
Ketiga, maksud dari maksiat yang seorang maksum tersucikan darinya ialah perbuatan yang "haram" dalam istilah Fiqih, atau meninggalkan perbuatan yang "wajib" menurut istilah Fiqih. Adapun kata maksiat dan semacamnya, yaitu adz-dzanbu (dosa), terkadang digunakan untuk hal-hal yang lebih luas daripada makna maksiat dan dosa, seperti bisa juga digunakan untuk mengartikan tarkul aula (meninggalkan yang lebih utama). Meninggalkan yang lebih utama tidaklah menafikan kemaksuman dari diri mereka.[]
Catatan kaki:
[1] Tentang hal ini Allah SWT berfirman, “Allah tidak akan menampakkan hal gaib kepada kalian, tetapi Ia memilih utusan-utusan-Nya dengan kehendak-Nya.” (QS. Ali Imran: 179)
[2] Dalam Al-Qur'an disebutkan, “Allah lebih mengetahui kepada siapa Dia menyerahkan risalah-Nya.” (QS. Al-An`am: 124)
[3] “Allah Maha Mengetahui hal yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan hal gaib kepada siapapun. Kecuali kepada rasul yang Dia ridahi. Sesungguhnya Dia menciptakan para penjaga di depan dan belakangnya. Supaya Dia mengetahui bahwa rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah Tuhan mereka. Allah mengetahui apa yang ada dalam mereka dan menghitung segala sesuatu.“ (QS. al-Jin: 26-27).
[4] “Supaya orang binasa atau hidup dengan keterangan yang nyata.“ (QS. al-Anfal: 42)
Mengapa Para Nabi Harus Maksum?
Setelah terbukti perlunya wahyu sebagai sarana alternatif untuk memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan manusia demi menutupi kekurangan-kekurangan indra dan akal mereka, ada masalah berikutnya yang perlu dibahas di sini.  Yaitu, mengingat bahwa manusia biasa tidak mungkin dapat memanfaatkan sarana pengetahuan ini secara langsung dan tidak memiliki potensi untuk menerima  wahyu Ilahi [1], oleh karena itu  risalah Ilahiyah harus disampaikan kepada mereka melalui para nabi.
Pertanyaannya, Apakah yang menjamin keutuhan risalah ini? Bagaimana kita dapat mempercayai bahwa nabi telah menerima dan menyampaikan wahyu Ilahi kepada umat manusia secara utuh? Jika terdapat perantara antara Allah Swt dan nabi, yaitu Malaikat Jibril, lalu bagaimana kita bisa percaya bahwa Malaikat itu menyampaikan risalah tersebut secara utuh pula?
Pertanyaan-pertanyaan di atas muncul karena wahyu itu hanya bisa berperan untuk menutupi berbagai kekurangan pengetahuan manusia apabila-semenjak diturunkan hingga disampaikannya kepada manusia-terjaga dari penyimpangan, kesamaran, secara sengaja ataupun tidak.
Bila tidak demikian, maka dengan adanya kemungkinan kelalaian dan kekhilafan pada satu atau sejumlah perantara, atau  adanya perubahan yang disengaja dalam kandungan wahyu,  akan timbul duga-an dalam benak manusia akan kemungkinan kecacatan dan kerancuan pada risalah yang sampai kepada mereka, dan akan menggoyahkan kepercayaan mereka terhadap risalah itu. Maka itu, dengan cara apakah kita dapat meyakini sampainya wahyu Ilahi kepada umat manusia secara utuh dan selamat dari penyelewengan dan kesalahan?
Jelas apabila hakikat wahyu itu tidak diketahui oleh manusia, dan mereka tidak memiliki potensi untuk menerima wahyu itu, maka mereka tidak mempunyai jalan untuk mengawasi dan meneliti kebenaran perantara-perantara itu. Mereka baru bisa memahami adanya kesalahan dalam wahyu bila ia mengandung isi yang bertentangan dengan hukum pasti akal.
Misalnya, apabila ada seseorang yang mengaku bahwa dia diberikan wahyu oleh Allah Swt. yang  menyatakan bahwa dua hal yang kontradiksi itu mungkin atau pasti terjadi, atau ada seseorang yang mengaku (na’udzu billa) bahwa dzat Allah Swt itu tersusun, atau berbilang, atau hancur, atau hilang. Pada kondisi seperti ini, kita bisa membantah dan membuk-tikan kebatilan pengakuan tersebut melalui penilaian akal yang pasti (qat’i).
Akan tetapi, kebutuhan utama kepada wahyu itu  terdapat pada masalah-masalah yang akal manusia tidak menemukan jalan untuk membuktikan atau menafi-kannya, juga tidak mampu menilai kebenaran atau kesalahan risalah tersebut. Dalam kondisi semacam ini, dengan jalan apakah kita dapat menetapkan kebenaran kandungan wahyu dan keterjagaannya dari pengaburan dan penyelewengan yang disengaja atau kelalaian para perantara, yaitu malaikat Jibril dan para nabi As?
Jawaban atas pertanyaan di atas ini ialah bahwa sebagai-mana halnya akal -dengan memperhatikan Hikmah Ilahiyah pada kajian 2 tentang masalah kenabian ini- mengetahui bahwa ada jalan lain untuk mengetahui hakikat dan cara hidup manusia, meskipun ia tidak mengetahui secara pasti hakikat jalan itu, dia juga memahami bahwa Hikmah Ilahiyah menuntut agar wahyu Allah terlindung dari penyimpangan hingga berada ke hadapan manusia tanpa terjadi pengaburan. Karena bila tidak demikian, akan terjadi pertentangan di dalam tujuan-Nya. 
Dengan kata lain, setelah diketahui bahwa risalah Ilahi itu harus sampai kepada umat manusia melalui seorang atau beberapa perantara sehingga tercipta kondisi yang cukup untuk kesempurnaan umat manusia dan terealisasinya tujuan Ilahi dari penciptaan manusia terebut, maka -dengan mengacu pada sifat-sifat kesempurnaan Ilahi- akan dapat dibuktikan pula bahwa risalah itu harus terjaga utuh dari penyelewengan dan kekhilafan, yang disengaja ataupun tidak. Karena jika Allah Swt. tidak menghendaki sampainya risalah kepada umat manusia secara utuh, ini bertentangan dengan Hikmah Ilahi-yah, dan kehendak-Nya yang bijaksana pun menafikan asumsi ini.
Dan seandainya Allah Swt tidak mengetahui dengan apa atau melalui siapa risalah itu akan disampaikan secara utuh kepada hamba-hamba-Nya, ini bertentangan dengan ilmu-Nya yang tak terbatas.
Dan jika Dia tidak kuasa untuk memilih para pengemban wahyu yang layak dan melindungi mereka dari sentuhan tangan-tangan kotor dan setan-setan, ini tidak sesuai dengan kekuasaan-Nya yang tidak terbatas.
Maka, dengan bukti kemahatahuan Allah Swt, tidak ada alasan bagi kita untuk memberi kemungkinan bahwa Dia memilih pembawa wahyu yang tidak Dia ketahui ketulusan dan amanatnya [2]. Dan dengan bukti kemahakuasaan Allah Swt, kita tidak mungkin menduga bahwa Allah tidak mampu menjaga wahyu-Nya dari campur tangan setan, orang-orang jahat, dan dari kelalaian dan kelupaan pada diri pembawa wahyu-Nya[3]. Dan dengan adanya Hikmah Ilahiyah, tidak mungkin bahwa Allah itu tidak berkehendak untuk menjaga risalah-Nya dari berbagai kesalahan dan kelalaian[4]. Oleh karena itu ilmu, kekuasaan dan hikmah Allah Swt menuntut risa-lah itu agar sampai kepada hamba-hamba-Nya secara utuh.
Dengan penjelasan rasional inilah kita dapat menetapkan terjaganya wahyu dari berbagai kecacatan. Penjelasan ini pula dapat membuktikan keterjagaan Malaikat Wahyu dan para nabi pada tahap menerima wahyu dan kemaksuman mereka dari pengkhianatan yang disengaja, atau dari kelalaian dan kelupaan pada tahap menyampaikan wahyu.
Dari uraian di atas jelaslah bagi kita sebab penekanan Al-Qur’an atas sifat amanat para pembawa wahyu dan para nabi serta kemampuan mereka untuk menjaga amanat Ilahiyah dan menolak berbagai pengaruh setan. Secara umum, tampak jelas apa yang telah kami singgung mengenai penegasan Al-Qur’an atas terpeliharanya wahyu dan para penjaga wahyu, sehingga wahyu tersebut sampai kepada umat manusia secara utuh.

Dalil Akal atas Kemaksuman Para Nabi
Dalil akal yang pertama atas keterjagaan para Nabi dari maksiat ialah bahwa tujuan utama diutusnya para nabi itu ialah untuk memberikan petunjuk kepada seluruh umat manusia dan membimbing mereka kepada hakikat kebenaran dan tugas-tugas yang telah ditentukan oleh Allah SWT ke atas mereka. Pada hakikatnya, para nabi itu merupakan duta-duta Tuhan untuk seluruh umat manusia. Mereka mempunyai tugas untuk memberikan hidayah kepada jalan yang lurus. Apabila mereka sendiri tidak konsisten dengan ajaran Ilahi, atau bahkan mengamalkan yang sebaliknya; yang menyalahi kandungan risalah yang mereka emban, atau menyalahi ucapan yang mereka katakan dan pesan yang mereka berikan, pasti umat manusia akan menilai bahwa perbuatan mereka tersebut sebagai penjelasan yang menyalahi ucapan mereka sendiri. Dengan demikian, seorang pun tidak akan percaya lagi kepada ucapan mereka. Akibatnya, tidak akan terealisasi secara sempurna tujuan diutusnya mereka.
Karenanya, hikmah dan rahmat Ilahi itu menuntut bahwa para nabi itu harus maksum dan suci dari berbagai dosa. Bahkan tidak akan keluar perbuatan yang tidak baik dari diri mereka, sekalipun dalam bentuk lalai atau pun kelupaan, supaya umat manusia tidak berasumsi bahwa mereka menjadikan pengakuan lalai dan lupa sebagai alasan untuk melakukan dosa dan maksiat.
Dalil akal yang kedua atas kemaksuman para nabi adalah bahwa di samping ditugaskan untuk menyampaikan kandungan wahyu dan risalah kepada umat manusia dan memberikan petunjuk kepada mereka ke jalan yang lurus, para nabi juga ditugaskan untuk mendidik dan membersihan jiwa mereka, dan mengantarkan individu-individu yang mempunyai potensi kepada peringkat yang terakhir dari peringkat kesempurnaan insani.
Artinya, di samping memberikan pengajaran dan tuntunan kepada umat manusia, para nabi juga mempunyai tugas penting lainnya, yaitu memimpin dan mendidik mereka secara menyeluruh, sekalipun mereka termasuk orang-orang yang berpotensi dan terpandang di masyarakat. Dan kedudukan yang tinggi ini tidak mungkin dapat dicapai kecuali oleh orang-orang yang telah mencapai derajat kesempurnaan insani dan yang memiliki lebih banyak karakter kesempurnaan, yaitu karakter kemaksuman. Selain itu, peran sikap dan perilaku seorang pendidik itu lebih berpengaruh daripada ucapannya dalam proses pembinaan. Jika ditemukan berbagai kekurangan dan kesalahan pada perbuatannya, ucapannya itu pasti tidak lagi berarti.
Dengan demikian, tujuan Ilahi dari diutusnya para nabi—sebagai penuntun dan pendidik umat manusia—hanya bisa terealisasi secara penuh apabila mereka itu maksum dan terpelihara dari berbagai macam maksiat, kesalahan, dan penyelewengan, baik dalam ucapan maupun perbuatan mereka.
Dalil Wahyu atas Kemaksuman Para Nabi
Pertama, Al-Qur'an menggunakan istilah al-mukhlas pada sebagian individu ketika mereka tidak tersentuh oleh bujuk-rayu setan. Dari sinilah setan bersumpah untuk menyesatkan seluruh Bani Adam, kecuali mereka yang mukhlas, sebagaimana terdapat dalam firman-Nya:
"Maka dengan keagungan-Mu aku akan berusaha sekuat tenaga untuk meyesatkan seluruh umat manusia kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas." (QS. Shad: 82-83)
Tidak diragukan lagi bahwa sebab putus asanya setan dari menyesatkan orang-orang yang mukhlas itu karena mereka suci dan terjaga dari dosa dan maksiat. Kalau tidak demikian, musuh-musuh mereka itu tentu akan dapat menggoda mereka dan penyesatan setan dapat menyentuh mereka. Dan jika mereka pun bisa disesatkan, setan tidak akan membiarkan mereka sedetik pun. Oleh karena itu, arti al-mukhlash itu identik dengan arti al-ma'shum. Walaupun tidak dijumpai argumen yang menunjukan kekhususan sifat mukhlas ini bagi para nabi, akan tetapi tidak diragukan lagi bahwa sifat ini disandang oleh mereka. Al-Qur'an telah memberikan penilaian atas sebagian para nabi dengan sifat al-mukhlasin:
"Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim Ishak dan Ya'qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan manusia akan akhirat." (QS. Shad: 45-46).
“Dan ceritakanlah kisah Musa di dalam al-Kitab (Al-Qur'an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang hamba yang mukhlas dan seorang rasul dan nabi.” (QS. Maryam: 51).
Begitu pula ihwal disucikannya Nabi Yusuf as dari peyelewengan ketika beliau berada pada kondisi yang sangat sulit, karena beliau adalah hamba Allah yang mukhlas. "Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba-Ku yang mukhlas." (QS. Yusuf: 4).
Kedua, Al-Qur'an telah mewajibkan seluruh umat manusia untuk mentaati Nabi secara mutlak:
"Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan untuk ditaati dengan izin Allah." (QS. An-Nisa’: 64).
Ketaatan umat secara mutlak kepada para Nabi hanya terjadi jika para nabi itu berada di bawah ketaatan kepada Allah SWT dan sebagai perpanjangan dari-Nya, sehingga ketaatan kepada para nabi itu tidak menafikan ketaatan kepada Allah SWT. Kalau tidak demikian, perintah secara mutlak untuk mentaati Allah SWT itu bertentangan dengan perintah secara mutlak kepada orang-orang yang melakukan kesalahan dan penyelewengan.
Ketiga, Al-Qur'an telah mengkhususkan kedudukan Ilahi kepada mereka yang sama sekali tidak berbuat zalim. Allah SWT berfirman ketika menjawab permintaan Nabi Ibrahim as akan kedudukan imamah untuk putra-putranya, “Janjiku tidak akan meliputi orang-orang yang zalim."
Kita tahu bahwa maksiat itu merupakan perbuatan zalim—paling tidak—atas diri sendiri. Dan setiap pelaku maksiat adalah manusia zalim menurut Al-Qur'an. Dengan begitu, para nabi dan orang-orang yang mempunyai kedudukan Ilahi (kenabian dan risalah) pasti suci dari kezaliman dan maksiat. Argumentasi atas kemaksuman para Nabi ini bisa juga dijumpai pada ayat dan riwayat yang lain yang tidak mungkin kami jelaskan di sini.

Rahasia Kemaksuman Para Nabi
Di akhir pelajaran ini, barangkali tepat bila kami membubuhkan catatan tentang falsafah kemaksuman para nabi dalam hal menerima wahyu. Yaitu, bahwa mengetahui wahyu itu adalah perkara yang tidak mungkin mengalami kesalahan. Dan nabi-nabi yang berhak menerima wahyu akan mendapatkan hakikat ilmu secara hudhuri,[1] mereka menyaksikan hubungan ilmu ini dengan Pemberi Wahyu (Allah), baik melalui perantara malaikat atau tidak. Maka, tidak mungkin penerima wahyu akan merasa ragu; apakah yang diterimanya itu berupa wahyu atau bukan? Atau siapakah yang mewahyukan kepadanya? Atau apakah kandungan wahyu yang diturunkan kepadanya? Apabila terdapat sebagian hikayat yang menceritakan bahwa ada seorang nabi yang merasa ragu dengan kenabiannya, atau ia tidak mengetahui kandungan wahyu, atau ia tidak mengetahui siapakah pemberi wahyu itu, hikayat semacam ini adalah dusta dan dibuat-buat. Kebatilan kisah semacam ini sama dengan ungkapan: ia ragu terhadap wujudnya sendiri, atau ragu terhadap pengetahuannya yang bersifat hudhuri dan wijdani.
Adapun falsafah kemaksuman para nabi dalam menjalankan tugas-tugas Ilahi seperti: menyampaikan risalah Allah kepada seluruh umat manusia, ini memerlukan premis sebagai berikut:
Suatu perbuatan manusia akan sempurna apabila terdapat di dalam hatinya kecondongan kepada sesuatu yang diinginkannya. Dan kecondongan itu muncul karena berbagai faktor yang menentukan jalan agar ia sampai kepada tujuan yang diinginkannya tersebut dengan bantuan berbagai pengetahuan. Kemudian, ia akan melakukan perbuatan yang sesuai dengan tujuannya tersebut. Apabila terdapat kecondongan dan keinginan yang saling bertentangan, ia berusaha untuk mengetahui manakah yang lebih utama dan paling banyak nilainya. Ketika itu ia akan memilih yang lebih baik lalu melakukannya. Akan tetapi terkadang—akibat adanya kekurangan pada pengetahuannya—ia keliru dalam menentukan mana yang lebih utama, atau karena ia tidak mengetahui manakah yang lebih bermaslahat, atau karena ia telah terbiasa dengan hal-hal yang buruk, maka ia memilih hal-hal yang buruk pula, dan tidak ada kesempatan baginya untuk berfikir jernih dan memilih yang lebih bermaslahat.
Oleh karena itu, semakin pengetahuan, kesadaran dan perhatian seseorang terhadap berbagai hakikat itu luas dan kuat, dan semakin kuat kehendaknya untuk menentukan kecondongan-kecondongan dan reaksi-reaksi internal, niscaya pilihannya akan lebih baik, dan lebih terjaga dari berbagai kesalahan dan penyimpangan.
Dari sinilah sebagian individu yang mempunyai pengetahuan dan potensi yang tinggi membekali dirinya dengan kesadaran yang tinggi dan pendidikan yang bersih. Orang-orang semacam ini pasti akan sampai ke peringkat kesempurnaan dan keutamaan. Mungkin juga mereka ini akan mencapai peringkat yang mendekati kemaksuman. Bahkan mungkin tidak terlintas dalam benak mereka pikiran untuk berbuat dosa dan hal-hal yang buruk. Sebagaimana tidak seorang pun yang berakal sehat mempunyai pikiran untuk minum racun atau ramuan yang dapat membinasakan dirinya atau mengkonsumsi sesuatu yang kotor dan berbau busuk.
Maka itu, apabila kita berasumsi adanya seseorang yang kapasitasnya telah terpenuhi untuk memperoleh berbagai macam hakikat, ruh dan hatinya telah mencapai derajat yang tinggi, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an, "Hampir-hampir minyaknya itu dapat menerangi walaupun tidak disentuh oleh api", lantaran kapasitasnya yang sudah penuh, jiwanya yang bersih, memperoleh pendidikan Ilahi serta ditopang dengan ruhul qudus. Orang semacam ini pasti akan melewati tangga-tangga kesempurnaan dengan cepat yang tidak bisa dibayangkan. Bahkan bisa jadi ia akan melewati jalan yang tidak mungkin dilewati oleh orang lain selama seratus tahun, dan sangat mungkin ia akan mengungguli orang lain walaupun ia masih kanak-kanak, bahkan sekalipun dia masih berupa janin. Bagi orang semacam ini akan tampak jelas nistanya perbuatan maksiat dan dosa, persis dengan tampaknya bahaya minum racun, sesuatu yang berbau busuk dan kotoran-kotoran bagi orang lain. Sebagaimana orang biasa itu menjauhi hal-hal yang berbahaya dan kotor tanpa dipaksa, seorang yang maksum pun akan menjauhi berbagai maksiat dan dosa tanpa menafikan kehendak dan usaha bebasnya sama sekali.[]

Pembahasan Lain Ihwal Kemaksuman
Sesungguhnya kemaksuman (ishmah) pada malaikat dan para nabi yang telah kami buktikan berdasarkan argumen di atas, khusus pada tahap penerimaan wahyu dan penyampaiannya. Namun ada tahap kemaksuman lain yang tidak dapat dibuktikan dengan argumen tersebut. Hal ini dapat dibagi kepada tiga bagian. Pertama, kemaksuman para malaikat. Kedua, kemaksuman para nabi. Ketiga, kemaksuman sebagian individu, seperti para imam yang suci, atau seperti Siti Fatimah as dan Siti Maryam as.
Selain tentang kemaksuman para malaikat pada tahap penerimaan dan penyampaian wahyu, kita akan membahas dua persoalan. Pertama, kemaksuman Malaikat Wahyu di luar tugas sebagai penerima dan penyampai wahyu. Kedua, kemaksuman para malaikat selain Malaikat Wahyu, seperti malaikat-malaikat yang dipercaya untuk mengatur rizki, menulis amal manusia, mencabut ruh dan tugas-tugas yang lainnya.
Tentang kemaksuman para nabi yang tidak berhubungan dengan risalah mereka, kita akan membahas dua masalah. Pertama, kemaksuman para nabi dari dosa dan maksiat yang disengaja. Kedua, kemaksuman mereka dari kelalaian dan kelupaan. Dua masalah ini juga akan kita bahas sehubungan dengan orang-orang selain para nabi.
Adapun masalah-masalah yang berkaitan dengan para malaikat pada selain tahap penerimaan wahyu dan penyampaiannya hanya dapat kita bahas dengan argumentasi akal apabila kita telah mengenal hakekat malaikat itu sendiri. Namun, mengenal hakekat dan esensi malaikat, selain tidak mudah, juga tidak sesuai dengan pembahasan di sini.
Oleh karena itu, kami hanya cukup menyebutkan dua ayat yang menunjukkan kemaksuman malaikat:
"Mereka (para malailkat) adalah hamba-hamba yang mulia yang tidak mendahului-Nya dengan ucapan dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya." (QS. Al-Anbiya’: 27)
"Sesungguhnya mereka (para malaikat) tidak bermaksiat kepada Allah terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka dan mereka senantiasa melaksanakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)
Dua ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwa para malaikat itu adalah hamba Allah yang mulia yang tidak melakukan selain perintah Allah, dan tidak akan melanggar perintah-Nya tersebut. Ya, masih tersisa pertanyaan, yaitu apakah ayat-ayat ini mencakup seluruh para malaikat?
Adapun mengenai kemaksuman sebagian individu selain para nabi, hal ini akan lebih sesuai dengan pembahasan Imamah. Maka itu, di sini kita hanya akan membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan kemaksuman para nabi secara khusus. Walaupun sebagian masalah tidak mungkin untuk dipecahkan melainkan dengan dalil-dalil wahyu. Dan masalah-masalah ini dapat dibahas setelah memastikan validitas Al-Qur'an dan Sunnah. Akan tetapi, demi menjaga konsistensi di antara tema-tema masalah tersebut, kita akan membahasnya pada bagian ini. Adapun validitas Al-Qur'an dan Sunnah, kita terima saja sebagai postulat yang akan kita bahas pada saatnya.

10 PERTEMUAN DI BALAI KAMPUNG

Minggu, 26 Desember 2010

10
PERTEMUAN DI BALAI KAMPUNG
PAGI BERIKUTNYA datang lagi.
Wak Burhan mengumandangkan adzan shubuh. Meski sudah sepuh, suara Wak Burhan
yang tanpa speaker dari surau terdengar menggema di perkampungan bawah Lembah
Lahambay. Dalimunte terkantuk-kantuk menarik sarung adik-adiknya. Kerlip lampu canting
semakin lemah, minyak tanahnya hampir habis.
"Bangun Ikanuri! Wibisana!"
Yang dibangunkan hanya menggeliat sebal. Menarik bantal. Lantas menutupkannya ke
kepala. Dalimunte menggosok-gosok mata, sedikit terhuyung berdiri. Pagi ini penting
baginya. Sebenarnya juga bagi seluruh penduduk kampung. Seperti kesepakatan minggu
lalu, bakal ada pertemuan rutin tahunan di balai kampung. Membicarakan soal panen
ladang-ladang mereka, perbaikan jalan bebatuan selebar tiga meter itu, perselisihan antar
tetangga (jika ada), perambah hutan dari luar lembah yang semakin sering masuk, hal-hal
kecil. Dulu, waktu Babak masih ada, Babak-lah jadi wakil di pertemuan, mereka bersamasama
datang ke balai kampung. Asyik menyimak pembicaraan.
Dalimunte menguap sekali lagi, melangkah mengambil kopiah. Mamak sejak jam empat
tadi sudah sibuk di dapur, masak air enau, Ditemani Kak Laisa. Brr... dingin. Musim
kemarau, dinginnya semakin terasa menusuk tulang. Tapi Dalimunte semangat shalat di
surau. Teringat ada hal penting yang harus dikerjakannya hari ini. Itulah kenapa kemarin dia
nekad bolos, dia ingin melakukannya sendiri sebelum pertemuan kampung dilakukan.
Suara kokok ayam hutan terdengar dari kejauhan. Juga lenguh pagi uwa. Beberapa
tetangga membawa obor bambu menuju surau. Jalanan kampung masih gelap. Obor itu
sekalian juga penerangan di surau. Tidak banyak peserta shalat shubuh, paling berbilang
enam-tujuh orang. Dan satu-satunya peserta anak kecil, ya, Dalimunte.
Sekembali dari surau, Ikanuri dan Wibisana masih tertidur, saling membelakangi
punggung, dengan kaki-kaki menyilang. Dalimunte nyengir melihat posisi aneh itu, malas
membangunkan lagi; menuju kertas-kertasnya yang ditumpuk di atas meja.
Siapapun di lembah itu tahu persis, di sekolah Dalimunte dikenal sebagai anak yang
paling pintar, meski sekolah ini benar-benar seadanya. Dan satu bakat besar milik Dalimunte
(meski untuk yang ini tidak semua penduduk lembah tahu), dia suka sekali mengutak-atik
sesuatu. Diam-diam melakukannya di sela-sela membantu Mamak di ladang, Apa saja.
Menciptakan alat-alat yang aneh. Seperti keranjang aneh penangkap udang, alat panjang
penyadap damar, dan sebagainya.
Ahad pagi, hari ini sekolah libur. Selepas Kak Laisa meneriaki Ikanuri dan Wibisana
bangun agar shalat shubuh, sesudah sarapan nasi goreng, benar-benar hanya nasi yang
digoreng plus potongan cabai dan bawang merah, mereka beramai-ramai berangkat ke balai
kampung. Pertemuan rutin warga kampung.
"Kakak bawa apa, sih?"
Yashinta bertanya, melihat kertas-kertas yang dipegang Dalimunte.
"Biasa, penemu. Paling juga bawa peta harta karun—"
Ikanuri dan Wibisana nyengir. Tertawa menggoda. Mereka berdua selama ini juga suka jahil
merusak kertas-kertas atau apa saja yang dikerjakan Dalimunte.
Dalimunte tidak mempedulikan.
Balai kampung itu sudah ramai saat mereka tiba. Pertemuan sengaja dilakukan sepagi
mungkin, biar selepas acara, mereka masih sempat bekerja di ladang. Kursi-kursi bambu
berjejer rapi. Sudah disiapkan sejak semalam oleh pemuda kampung.
Wak Burhan, sesepuh kampung berdehem, setelah memastikan semua warga hadir,
mengetukkan palu dari bonggol bambu, segera memulai pertemuan. Warga kampung diam
memperhatikan. Pertama, mereka membicarakan soal kesepakatan lumbung kampung.
Berapa kaleng yang harus disetorkan setiap rumah untuk cadangan padi kampung. Per-kepala
atau per-hasil panen. Lima belas menit penuh seruan-seruan. Usul-usul. Kalimat-kalimat
keberatan. Usul-usul lagi. Satu dua kalimat tidak penting. Satu dua usul lagi. Setuju. Beres.
Mamak Lainuri menyeka dahi. Meski lima kaleng itu benar-benar akan mengurangi
penghasilan ladang mereka yang tidak luas, cadangan padi selalu penting. Dua tahun silam
saat ladang mereka terkena hama belalang, lumbung kampung memastikan perut anakanaknya
tetap kenyang. Setidaknya panen kali ini semoga masih ada sisa buat membeli
seragam sekolah buat Yashinta.
Lebih banyak lagi waktu dihabiskan untuk membahas soal perambah hutan dari daerah
lain, Seruan-seruan marah makin ramai. Memaki. Mengancam. Wak Burhan, yang masih
terhitung saudara Mamak Lainuri (dan juga warga kampung lainnya) menengahi. Sepakat
melaporkan soal itu ke polisi hutan kota kecamatan. Separuh dari hutan di Lembah Lahambay
itu adalah kawasan taman nasional. Daerah konservasi. Hanya lokasi-lokasi tertentu yang
dibolehkan diolah, meski penduduk setempat sendiri kadang juga melanggarnya dengan
menangkapi uwa, kukang, atau binatang dilindungi lainnya. Tapi perlakuan perambah hutan
itu memang mencemaskan, mereka tega membawa senso (gergaji mesin) besar, dan tanpa
ampun mulai menebangi pohon-pohon raksasa.
Perbaikan jalan bebatuan tiga meter itu diputuskan hanya dalam hitungan menit.
Keputusannya adalah: Menunggu. Menunggu pemerintah kota berbaik hati sajalah. Mereka
sudah terlalu repot dengan kehidupan sehari-hari untuk ditambahi memperbaiki jalan
sepanjang duapuluh kilometer itu. Lagipula desa-desa sekitar mereka juga menolak
memperbaikinya, agar perambah hutan tidak semakin sembarangan masuk membawa truktruk
yang akan mengangkuti kayu gelondongan hasil jarahan.
Membicarakan perselisihan batas ladang, sepakat memberikan tanda baru untuk setiap
batas kebun. Jadwal pengajian mingguan. Gotong-royong perbaikan tangga kayu di cadas
setinggi lima meter sungai. Sumbangan rutin buat acara besar (Maulid, Isra Mi'raj). Dan
beberapa masalah kecil lainnya.
"Masih ada yang ingin dibicarakan?"
Dua jam berlalu sejak tadi pagi, Wak Burhan sekarang menatap seluruh balai kampung.
Lengang sejenak.
"Masih ada?"
Wak Burhan bertanya sekali lagi.
Sepertinya sudah selesai. Tidak ada lagi yang hendak melaporkan sesuatu. Wak Burhan
tersenyum, meraih pentungan dari bongkol bambu, bersiap menutup pertemuan. Saat itulah,
saat penduduk kampung menggeliat santai karena pertemuan sudah selesai, saat mereka
beranjak merapikan baju yang terlipat, tiba-tiba Dalimunte mengangkat tangannya. Awalnya
ragu-ragu, tapi karena sudah kadung, sudah sejak seminggu lalu meniatkan diri, maka sambil
menggigit bibir, Dalimunte menaikkan tangannya lebih tinggi,
Muka-muka tertoleh.
Muka-muka bingung. Bukannya sudah selesai?
Mamak Lainuri mengernyitkan dahi. Kak Laisa yang merasa ganjil, menyikut bahu
Dalimunte yang duduk di sebelahnya. Ikanuri dan Wibisana yang sejak tadi hanya jahil
tertawa-tawa saling berbisik menganggu dan sibuk berkomentar terhenti cengirannya. Hanya
mata Yashinta yang membesar penuh rasa ingin tahu.
"Ya, kau ingin menyampaikan sesuatu Dalimunte?"
Wak Burhan meletakkan palu bonggol kayunya. Tersenyum tipis. Itu janggal sekali,
pertemuan tahunan itu meski diikuti oleh seluruh penduduk kampung, hanya pria dewasalah
yang bicara. Sisanya menonton.
"Ergh, eee, iya Wak...."
Dalimunte menelan ludah, amat gugup dengan tatapan penduduk lainnya.
"Baik. Apa yang ingin kau sampaikan, Dalimunte?"
Wak Burhan tersenyum lebih lebar, mengeluarkan sirih dari mulut. Dia mengenal sekali anak
Lainuri yang satu ini. Rajin shalat berjamaah di surau. Masih anak-anak. Tapi siapa bilang
dia masih anak ingusan umur dua belas tahun. Sejak Babak mereka meninggal, anak-anak
Lainuri tumbuh berbeda dengan yang lain, tumbuh menjadi anak-anak yang bisa diandalkan.
"Ergh, sebentar—"
Dalimunte dengan tangan sedikit bergetar membawa kertas-kertasnya ke depan. Saking
gugupnya, beberapa kertas berjatuhan. Dalimunte patah-patah mengumpulkannya.
Mamak Lainuri masih mengernyitkan dahi. Kak Laisa menatap lebih bingung. Buat apa
kertas-kertas itu? Penduduk lain menunggu.
"Ee, maaf kalau, maaf kalau—"
Dalimunte mengusap dahinya.
"Kau tidak perlu gugup begini, Dalimunte. Katakan sajalah. Kami akan mendengarkan!"
Wak Burhan mengangguk mantap padanya.
Dalimunte menelan ludah. Menatap Kak Laisa, menatap Mamak Lainuri. Menatap
Yashinta. Lantas sedikit tersenyum tanggung demi melihat wajah adiknya. Lihatlah, adiknya
dengan bola mata membulat penuh rasa ingin tahu balas menatapnya. Ekspresi yang sama
seperti setiap kali Yashinta diajak melihat anggrek hutan raksasa. Atau melihat pohon salak
hutan. Atau melihat sigung berkejaran. Tidak. Yashinta sedikitpun tidak merasa ganjil dengan
Dalimunte yang tiba-tiba berdiri di tengah balai kampung. Yashinta hanya ingin tahu.
Baiklah, Dalimunte menekuk ibu jari kakinya, ini semua mudah. Tersenyum penuh
penghargaan sekali lagi ke arah Yashinta.
Maka meluncurlah penjelasan itu—
"HALLO! HALLO! PROFESOR—"
Ikanuri terdengar berteriak di seberang sana. Meningkahi berisiknya suara krsk telepon
genggam.
"Kau kemana saja, Dalimunte? Aku sejak sejam lalu berusaha menelepon. Hallo? Hallo? Ya,
kau dengar? Aku sejak tadi menelepon kau. Tidak ada sinyal, Dali. Sama sekali tidak ada.
Akhirnya justru kau yang menghubungi sekarang. Bah, sejak kapan kau memattkan HP
urusan keluarga?"
"Tadi di pesawat—"
"Apa? Hallo? Oo, pesawat—
Kau sudah di mana?"
Sinyal sambungan langsung internasional itu payah, putus-putus. Dengan jeda waktu
bicara lama pula. Jadi kalian bicara sekarang, baru tiga detik kemudian terdengar di seberang
sana. Juga sebaliknya.
"Kami persis di pegunungan Alpen, Swiss. Ya ampun, ini benar-benar sialan semua urusan
ini—
Ada longsor yang menimbun jalan kereta! SWISS. Kami di SWISS, bukan ITALIA,
PROFESOR. Hallo? Hallo? Tidak. Kami tidak berangkat dari Roma. Sepakbola sialan ini
membuat semua penerbangan dari kota-kota di Italia penuh hingga dua hari ke depan.
Terpaksa berangkat dari Paris. PARIS, bukan SWISS—"
Suara gemuruh hujan terdengar dari latar suara Ikanuri.
"Tidak. Tidak. Kami akan terbang dari Paris, Dalimunte. Dengan penerbangan besok pagi,
jika semua tanah sialan ini berhasil dibersihkan. Di sini sedang hujan deras. Ada tebing yang
longsor. Tanahnya memenuhi jalanan kereta. Apa? Sialan. SUARANYA PUTUS-PUTUS,
DALIMUNTE! APA? Oo-Juwita, Delima, dan Ummi mereka sudah dalam perjalanan ke
sana. Seharusnya dua-tiga jam lagi tiba di bandara. Kau sudah dijemput di bandara?"
Ikanuri entah untuk ke berapa kalinya memaki.
Sementara di sini, sambil menelepon, Dalimunte melangkah cepat menuju lobi depan
bandara. Mobil jemputan perkebunan strawberry sudah menunggu sejak tiga jam lalu.
Perjalanan Jakarta menuju ibukota provinsi ini hanya butuh satu jam. Tujuh jam berikutnya
dihabiskan dengan perjalanan darat menuju Lembah Lahambay. Dulu itu menjadi perjalanan
yang menantang. Terpaksa tiga kali ganti kendaraan. Satu kali menumpang bus ke kota
kabupaten. Satu kali lagi menumpang angkutan pedesaan terbuka menuju kota kecamatan.
Terakhir naik starwagoon tua itu menuju perkampungan. Sekarang tidak lagi, sejak
perkebunan strawberry punya cabang pabrik pengalengan di kota provinsi, akses ke sana jauh
lebih mudah.
"Apa? Hallo? YASHINTA? Aku tidak tahu, Dalimunte!"
Ikanuri berteriak, suara hujan semakin deras,
"Aku sudah hampir sepuluh kali menghubungi telepon genggam satelit Yashinta. Tidak ada
sinyal. APA? HALLO? TIDAK TAHU! Aku tidak tahu! Tentu saja ia baik-baik saja,
Dalimunte—"
Kedua kakak-beradik itu (satu di Italia, satu di sini) mengernyit berbarengan. Dalimunte
melipat dahinya lebih lebal, terlihat amat cemas. Dia juga sudah tiga kali mengontak HP
Yashinta tadi. Sama. Sama sekali tidak ada sinyal.
"Mematikan HP? Tidak mungkin ia sudah di pesawat, bukan? Apa? Oo Terakhir aku
ditelepon Yashinta tadi malam. Ia menginap di punggung lereng Semeru. Apa? Tentu tidak,
Dalimunte. Kenapa pula kau persis seperti Mamak, mencemaskan hal-hal kecil. Anak itu dua
kali lebih atletis dibandingkan Kak Laisa, apalagi dibandingkan kau! DIA AKAN BAIKBAIK
SAJA, DALIMUNTE!"
Pembicaraan itu terdiam sejenak. Kelu.
Dalimunte menelan ludah mendengar nama Kak Laisa disebut Ikanuri.
"Kau sudah menelepon Mamak di kampung?"
Ikanuri setelah ikut terdiam sebentar, bertanya. Dengan intonasi sedikit berbeda. Juga ikutan
merasa ganjil setelah menyebut nama Kak Laisa.
"Baik. Baik. Jika kau tiba tujuh jam lagi bilang Mamak, aku dan Wibisana akan berusaha
segera tiba di sana, Dalimunte. Ya ampun, apa yang sering kubilang dulu? Kau seharusnya
sudah menemukan alat agar kami bisa pindah kemana saja dalam sekejap, Profesor. Bukan
hanya mengurus soal bulan yang terbelah, itu kan sudah jelas pasti benar, Mamak dulu juga
sudah bilang itu benar dalam cerita-ceritanya lepas Shubuh, tak perlu kau buktikan—"
Ikanuri mencoba bergurau, sebelum menutup sambungan internasional.
Lengang. Dalimunte mengusap wajahnya sekali lagi. Terdiam. Bukan karena gurauan
Ikanuri soal penelitiannya. Wibisana dan Ikanuri berdua memang sejak kecil kompak sudah
suka mengganggu 'penelitian-penelitiannya'. Menyembunyikan alat-alatnya. Dalimunte
terdiam karena memikirkan sesuatu. Cemas.
"Abi, jadi naik nggak?"
Intan berseru memanggil dari dalam mobil. Putrinya sudah duduk rapi memeluk si belang.
Sopir perkebunan strawberry juga sejak dari tadi menunggu.
Dalimunte menghela nafas. Ya Allah, bertambah satu lagi hal mencemaskan. Yashinta!
Kemana pula adik bungsunya itu? Ganjil sekali HP satelitnya tidak ada sinyal. Apa dia harus
cek GPS (global positioning system) agar tahu posisi Yashinta? Tapi kalau HP satelitnya saja
mati, apalagi GPS-nya. Itu satu paket dengan gagdet canggih Yashinta. Dalimunte setelah
menghela nafas untuk kesekian kalinya, beranjak menghempaskan pantat di jok mobil.
Mengangguk, memberikan kode jalan ke sopir.

9 CRAYON 12 WARNA


9
CRAYON 12 WARNA
ANGIN MALAM bertiup lembut.
Menyelisik sela-sela dinding anyaman bambu.
Malam beranjak datang. Rumah panggung kecil itu akhirnya lengang, setelah sejak
maghrib tadi terdengar riuh oleh hardikan-hardikan. Hanya suara burung hantu dari kejauhan
yang menghias malam, ditingkahi derik jangkrik bernyanyi. Langit terlihat cerah. Gemintang
menunjukkan berjuta formasinya. Di sana ada Taurus, ada Pisces, ada Leo, Gemini, dan lebih
banyak lagi rasi yang tidak memiliki nama.
Tadi siang, hingga sore benar-benar ribut.
Kak Laisa setiba di rumah panggung langsung menyiapkan bekal makanan seadanya,
kemudian menyusul Mamak Lainuri di ladang bersama Dalimunte —yang tetap lebih banyak
berdiam diri setelah dimarahi di sungai tadi, menunggu rumah. Ia belum pernah diajak-ajak
ke ladang… Kata Mamak ia masih terlalu kecil. Ladang itu tidak jauh hanya satu kilo dari
kampung. Seperti tetangga lainnya, Mamak bertanam padi. Musim ini kabar baik, hujan
datang teratur. Maksudnya, saat nugal (masa tanam) hujan turun, saat akan panen seperti
sekarang, hujan justru berkurang. Kalau sebaliknya, bisa celaka. Bisa urung tanam, atau gagal
panen karena busuk.
Menjelang ashar Mamak Lainuri, Kak Laisa dan Kak Dalimunte pulang. Biasanya
Mamak langsung ke hutan, menghabiskan dua jam sebelum maghrib mencari damar, rotan,
atau apalah. Tapi hari ini tidak. Mamak sudah mendapatkan laporan Kak Laisa soal kejadian
tadi siang, jadi wajah Mamak terlihat marah sepanjang sore. Mamak sebenarnya tidak suka
marah. Lebih banyak berdiam diri. Melotot, dan anak-anaknya langsung mengerti.
Bagaimanalah Mamak akan sempat marah? Mamak sudah terlanjur lelah dengan jadwal
harian. Bangun jam empat shubuh, menanak nasi, membuat gula aren, menyiapkan keperluan
ladang. Lantas berangkat ke ladang. Nanti, baru lepas isya, setelah anak-anaknya tidur baru
bisa istirahat. Itupun setelah menyelesaikan anyaman, rajutan atau apalah.
Tapi sore ini Mamak tidak dapat menahan marah. Bukan karena Dalimunte, Ikanuri, dan
Wibisana sekaligus bolos sekolah, kasus bolos itu sudah biasa. Sudah bebal dua sigung itu
diceramahi Tetapi lebih karena baru selepas maghrib Ikanuri dan Wibisana pulang ke rumah.
Selama ini, meski suka bolos, Ikanuri dan Wibisana paling hanya bermain-main ke manalah.
Pulang sebelum lembah gelap. Tapi apa yang dilakukan mereka seharian ini? Mereka baru
pulang setelah yang lain selesai shalat maghrib. Ikanuri dan Wibisana, berani sekali ikut
menumpang mobil starwagoon tua ke kota kecamatan, membantu tauke desa atas menjual
sayur-mayur di sana.
Mereka pulang sambil tersenyum lebar membawa bungkusan dari kota, upah kerja
seharian, tapi Mamak tidak peduli. Terlanjur marah. Maka kena omellah Ikanuri dan
Wibisana. Tentang mau jadi apa mereka? Sekolah! Sekolah jauh lebih penting daripada
bekerja. Kalian tidak akan jadi apa-apa kalau bodoh sepertiMamak! Kalian pikir hidup susah
itu menyenangkan? Hanya karena menyadari adzan isya akan segera berkumandang dari
suraulah omelan Mamak akhirnya terhenti. Menyuruh mereka ambil wudhu. Shalat maghrib!
lantas makan bersama di hamparan tikar. Lebih banyak berdiam diri. Padahal Kak Laisa
masak ikan asap. Menu yang terhitung istimewa buat keluarga miskin mereka. Tapi itu tidak
cukup membantu suasana.
Lepas isya, setelah Dalimunte mengajak Ikanuri dan Wibisana shalat di surau; dan kali ini
dua sigung nakal itu menurut barulah ruang tengah rumah panggung itu terasa lebih lega.
Lampu canting besar di dinding kerlap-kerlip. Ikanuri dan Wibisana belajar di atas tikar
pandan. Membaca, entah benaran membaca atau hanya pura-pura agar tidak kena marah lagi.
Mereka sekali dua saling berbisik pelan,
"...iya, itu katanya jalan pintas menuju kota kecamatan..."
"...aku dengar dari pemburu harimau di kota kecamatan tadi...".
Terdiam saat Mamak menoleh.
"...lewat jalan itu lebih cepat..."
Yashinta asyik menggambar berang-berangnya tadi pagi. Dalimunte entah mengerjakan
apa dengan kertas-kertas besar diujung tikar satunya. Kak Laisa dan Mamak duduk di sebelah
Yashinta, menganyam topi pesanan.
Malam beranjak matang.
"Eh, Kak Lais, Yashinta nanti boleh sekolah, kan?"
Yashinta mendadak menghentikan gerakan tangannya, menoleh ke Kak Laisa. Ia teringat
kata-kata Kak Laisa tadi siang di sungai bawah cadas.
"Apa?" Kak Laisa yang sibuk dengan anyaman bertanya balik,
"Eh, nanti Yashinta boleh sekolah, kan?"
Yashinta bertanya sekali lagi, ragu-ragu. Ah, kalau ia sekolah, Mamak dan Kak Laisa pasti
lebih repot lagi mencari uangnya.
"Sekolah! Lepas panen ladang musim ini Yashinta masuk sekolah!"
Mamak Lainuri yang menjawab.
Beneran? Yashinta menyeringai. Matanya membulat. Mamak mengangguk selintas, tetap
konsentrasi menganyam. Yashinta sudah tersenyum riang. Tadi kan, Kak Laisa bilang anak
lelaki harus sekolah. Kalau anak perempuan? Lihat, Kak Laisa kan anak perempuan.
Makanya ia tidak sekolah. Yashinta berpikiran pendek. Jadi dipikirkan sepanjang hari. Ia
tidak tahu kalau sebenarnya Kak Laisa yang memutuskan mengalah untuk tidak sekolah agar
adik-adiknya bisa sekolah.
Asyik, asyik, ternyata ia juga akan sekolah.
Biasanya, kalau bicara soal sekolah begini, Ikanuri dan Wibisana otomatis akan nyeletuk
sama seperti tadi pagi,
"Memangnya asyik sekolah?"
Tapi karena mereka berdua malam ini lagi alim, mereka hanya sibuk belajar, berbisik-bisik.
Meneruskan membaca buku.
"Kak Laisa, lihat gambar berang-berangnya, deh! Bagus, kan?"
Yashinta menghentikan gerakan tangannya lagi. Menyeringai sambil menyodorkan kertas
gambarnya,
Kak Laisa menoleh, menyimak. Tersenyum. Mengangguk. Yashinta menyeringai senang,
kan jarang-jarang Kak Laisa tersenyum. Mamak Lainuri juga beranjak mendekat melihat
gambar Yashinta. Ikut tersenyum. Yashinta memang berbakat melukis. Meski hanya dengan
pensil, gambarnya tetap bagus. Lima berang-berang itu terlihat begitu nyata. Andai saja ia
bisa membelikan putri bungsunya crayon warna. Mamak menghela nafas pelan, meneruskan
menganyam. Sejak dulu Yashinta sudah minta dibelikan.
Ikanuri dan Wibisana juga melirik selintas, meski lantas sok serius kembali lagi ke buku.
Dalimunte masih sibuk dengan kertas-kertasnya. Entah membuat apa.
Sejurus, Yashinta menguap. Beranjak membereskan pensil dan kertas gambar. Sudah
hampir pukul 21.00. Saatnya tidur. Hanya ada satu kamar di rumah panggung itu. Mamak,
Kak Laisa dan ia tidur di kamar, beralaskan kasur butut. Sementara, Dalimunte, Wibisana dan
Ikanuri tidur di ruang tengah. Pakai tikar pandan dan sarung.
"Ah-iya, Ikanuri lupa —"
Entah kenapa Ikanuri tiba-tiba bangkit dari belajarnya. Semua menoleh. Langkah Yashinta
tertahan.
Ikanuri mengambil bungkusan kecil dari kota kecamatan tadi. Lantas menyerahkannya ke
Yashinta.
"Buat, Yashinta!"
" Apa-an?" Yashinta bertanya sambil menguap.
"Buka saja—"
Ikanuri nyengir.
Yashinta tanpa perlu diperintah dua kali, membuka ikatan kantung plastik kecil. Sekejap
terdiam memegang kotak berwarna itu. Seperti tidak percaya. Satu detik. Dua detik. Lantas
berseru senang sekali.
"CRAYON 12 WARNA—"
Yashinta tertawa lebar. Ikanuri ikut tertawa. Mengusap jidatnya.
"TERIMAKASIH, KAK!"
Ah, malam itu, di tengah sejuknya angin malam menilisik lubang.-lubang dinding. Di
tengah gemerlap sejuta bintang di angkasa sana. Malam itu, Mamak Lainuri setelah seharian
bekerja, setelah sepanjang malam mengkal melihat ulah anak lelakinya, akhirnya bisa
tersenyum lebar. Juga Kak Laisa....
"Abi, Tante Yashinta juga pulang, kan?"
Dalimunte yang mendorong koper sepanjang lorong garbarata pesawat mengangguk
pelan. Ummi berjalan di belakang.
Asyik. Asyik. Kalau begitu ia bisa lihat-lihat kamera keren Tante Yashinta. Lihat-lihat
foto yang indah. Dulu waktu Intan masih kecil, Tante Yashinta yang suka ngajarin melukis.
Makanya Intan suka dengan pelajaran itu di sekolah.
"Oom Ikanuri? Oom Wibisana juga pulang, Bi?"
Dalimunte mengangguk lagi. Teringat sesuatu. Urusan ini benar-benar membuatnya tak
sempat berpikir panjang. Bagaimana mungkin dia belum menghubungi mereka satu pun?
Sejak menerima SMS di konferensi fisika. Itu berarti tiga jam berlalu, dan dia belum tahu apa
yang sedang dilakukan adik-adiknya. Juga kabar Kak Laisa dan Mamak Lainuri di
perkebunan strawberry. Dalimunte mengeluarkan HP dari sakunya. Antrian penumpang
keluar dari pintu garbarata membuat langkah terhenti. Menyalakan telepon genggam.
"Kalau begitu Delima dan Juwita juga datang.... Horee!"
Intan tertawa lebar. Meraba tasnya. Ia bisa memaksa mereka berdua memakai empat gelang
karet "Safe The Planet". Meski sedikit nyengir ketika kemudian membayangkan Oom Ikanuri
dan Oom Wibisana. Pasti mereka lagi-lagi suka jahil ngerjain Intan.
Dulu pernah hamster belang Intan disembunyikan di tong belakang perkebunan. Untung
ada Wak Laisa yang belain. Perasaan Oom Ikanuri dan Oom Wibisana nurutnya hanya sama
Wak Laisa, deh, Sekarang? Kata Abi tadi kan Wak Laisa lagi sakit. Jadi tidak ada yang belain
Intan kalau lagi dikerjain Oom Ikanuri dan Oom Wibisana. Ah, Wak Laisa paling sakit perut
atau mencret-mencret, tidak bakal serius ini. Masih bisa menemani Intan jalan-jalan di kebun
strawberry. Intan sibuk mikir sambil memperhatikan Abi yang menunggu nada sambung.
Orang dewasa tuh rumit, ya? Kenapa pula coba tampang Abi tegang begini sejak tadi dari
sekolah. Cemas karena Wak Laisa sakit? Lah? Kan dikasih oralit, mencret Wak Laisa paling
juga sudah sembuh. Intan jago kok bikin minuman itu.

8 KAU ANAK LELAKI

8
KAU ANAK LELAKI
ANAK KECIL berumur dua belas tahun itu sedang sibuk menyusun balok-balok bambu di
pinggir sungai yang mengalir deras. Mukanya serius. Mulutnya sedikit terbuka. Kepalanya
terus berpikir. Sekali, dua kali, tiga kali, berkali-kali, dia menyusun ulang balok-balok itu.
Jatuh, disusun kembali. Gesit. Terampil tangannya mengikatkan tali rotan. Memukul ujung
bambu dengan batu agar melesak lebih dalam ke tepi sungai. Cahaya matahari pagi yang
meninggi menyinari Wajahnya.
Herhenti sejenak. Menyeka keringat. Lantas beranjak ke tepi sungai. Mengambil kincir
yang tersandar di cadas batu setinggi lima meter. Kincir dari batang bambu itu benar-benar
seadanya. Jauh dari kokoh. Tapi itulah usaha terbaiknya. Sudah seminggu terakhir dia
sembunyi-sembunyi membuatnya. Selepas pulang sekolah. Selepas membantu Mamak
Lainuri dan Kak Laisa di ladang. Kapan saja ada waktu luang. Dia akan berlari ke tubir cadas
sungai. Mengerjakan proyek rahasianya jadi bagaimanalah akan kokoh dan baik bentuknya.
Kakinya sedikit bergetar membawa kincir yang lumayan besar untuk anak dua belas
tahun seumurannya. Arus air sungai yang deras membuatnya semakin sulit melangkah. Hatihati
kincir itu diletakkan di atas susunan balok bambu. Anak itu menghela nafas lega. Tinggal
memperbaiki posisinya. Akhirnya satu kincir terpasang sudah. Celananya basah. Bajunya
juga basah. Sedikit belepotan tanah liat cadas sungai. Dia melangkah ke pinggir sungai.
Tersenyum senang melihat pekerjaannya. Kincir itu mulai bergerak pelan mengikuti arus air.
Dan bumbung kosong bambu yang dibuat sedemikian rupa mulai berputar, mengalirkan air
sungai ke atas. Tumpah saat tiba di putaran tertingginya. Berhasil! Anak kecil itu
menyeringai lebar. Masih perlu setidaknya empat kincir lagi hingga akhirnya tiba di atas
cadas sana, pagi ini dia harus menyelesaikan dua di antaranya. Dengan demikian, setidaknya
dia bisa membuktikan air-air ini bisa dibawa ke atas dengan lima kincir bersambung. Bukan
dengan kincir raksasa yang selama ini selalu dianggap solusi terbaiknya. Dia beranjak
memasang pondasi balok-balok bambu berikutnya di dinding cadas.
Kali ini jauh lebih sulit. Cadas itu keras untuk dihantam meski dengan ujung bambu
runcing sekalipun. Berkali-kali ujung bambunya penyok. Terpaksa dipampas lagi dengan
golok. Setengah jam berlalu, pondasi sederhana di dinding cadas sungai itu akhirnya jadi.
Kali ini benar-benar lebih sulit memasangkan kincir kedua yang tersandar di dinding cadas.
Berat. Tidak mudah mengangkatnya. Tidak kehabisan akal, anak kecil itu mengambil tali
rotan yang telah disiapkannya. Menyangkutkan ujung-ujungnya di salah satu pohon besar
lima meter di atas cadas. Lantas pelan-pelan menarik kincir itu ke atas.
Matahari sudah benar-benar tinggi ketika ia berhasil meletakkan kincir itu di pondasi
dinding cadas. Bajunya penuh oleh licak lumpur. Berhenti sejenak. Sekali lagi tersenyum
riang melihat pekerjaannya. Lantas melangkah ke sungai yang mengalir jernih. Berusaha
membersihkan muka dan tubuh yang kotor. Saat itulah, saat dia sekalian menyelam di sungai
sedalam pinggang itu, saat asyik menikmati sejuknya arus deras sungai, terdengar gemerisik
dedaunan diinjak dari jalan setapak mulut rimba. Mengangkat kepala.
"DALIMUNTE! APA YANG KAU KERJAKAN DI SINI?"
Tanpa tedeng aling-aling teriakan itu meluncur, menyergap.
Dalimunte, nama anak kecil berumur dua belas tahun itu seketika gagap. Kak Laisa
bersama Yashinta, muncul dari gerbang jalan setapak hutan belantara, turun ke anak sungai
yang mengalir deras.
"BUKANNYA kau seharusnya ada di sekolah, Dali? Apa yang kau lakukan di sini?"
Kak Laisa mendesis galak, melangkah mendekat. Seram benar melihat tampangnya. Bahkan
Yashinta yang sepanjang perjalanan pulang tadi hatinya berbunga-bunga, ikut-ikutan takut
mendengar seruan Kuk Laisa. Berdiri mengkerut di belakang Kak Laisa.
"Ee,ee, Dalimunte sakit, Kak!" Anak lelaki itu menyeringai, terdesak, sembarang mengarang.
Meniru kelakuan dua adik lelakinya yang memang jago ngarang kalau sudah ketahuan salah
begini.
"BOHONG! Sakit apa?" Kak Laisa melotot. Semakin dekat.
"Errgh, pilek...."
"Bagus sekali! Pilek, pilek tapi kau main air!"
Kak Laisa menukas tajam, tangkas menyambar ranting yang kebetulan hanyut di dekat kakikaki
mereka, dan tentu saja ranting itu gunanya buat menunjuk-nunjuk dada Dalimunte.
"Sejak kapan kau berani bolos sekolah, hah?"
Kak Laisa menghardik.
Dalimunte mencicit Aduh, dia pikir Kak Laisa dan Yashinta bakal lama lihat berangberangnya.
Dia pikir akan cukup waktu mengerjakan kincir-kincir ini sebelum Kak Laisa
kembali. Ternyata perhitungannya keliru. Dia memang sudah tak sabar menunggu waktu
senggang menyelesaikan pekerjaan yang sudah direncanakan dan dikerjakannya berbulanbulan.
Mumpung Kak Laisa pagi ini tidak ada di rumah untuk mengawasi. Makanya
memutuskan bolos sekolah. Selama ini sedikitpun tidak tersedia waktu yang cukup untuk
menyelesaikan kincir-kincirnya. Lepas sekolah dia langsung keladang. Hari ahad juga begitu,
sepanjang hari harus ke ladang. Padahal pertemuan di Balai Desa dilakukan besok pagi.
"Kalau kau bolos, berarti Ikanuri dan Wibisana juga bolos!"
Kak Laisa bertanya menyelidik, menusuk dadanya lebih keras.
Dalimunte meringis. Soal itu tidak usah ditanya lagi, meski ada Kak Laisa sekalipun
Ikanuri dan Wibisana rajin bolos, apalagi jika Kak Laisa tidak ada. Lebih berani melawan.
Tadi pagi sih mereka bertiga pamitan ke Mamak, memakai seragam, menuju sekolah di desa
atas. Tapi baru tiba di pertigaan jalan bebatuan selebar tiga meter itu, Ikanuri dan Wibisana
sudah kabur duluan, naik starwagoon tua yang kebetulan lewat ke kota kecamatan. Dalimunte
sebenamya jauh lebih nurut. Dia meski terkadang bosan sekolah, tapi tidak pernah membolos.
Tadi pagi saja, butuh waktu sepuluh menit di pertigaan itu hingga akhirnya dia berani
memutuskan untuk ikut membolos. Menyelesaikan kincir airnya.
"Apa yang kau kerjakan di sini? JAWAB!"
Kak Laisa menghardik lagi. Lebih kencang. Mengkal karena yang diteriaki sejak tadi malah
menunduk bengong.
Dalimunte hanya diam. Menelan ludah. Tetap menunduk.
"APA YANG KAU KERJAKAN DI SINI?"
Dalimunte membisu.
"KAU ANAK LELAKI DALIMUNTE! Anak lelaki harus sekolah. Akan jadi apa kau jika
tidak sekolah? Pencari kumbang di hutan sana seperti orang lain di kampung ini? Penyadap
damar? Kau mau menghabiskan seluruh masa depanmu di kampung ini? Setiap tahun
berladang dan berharap hujan turun teratur? Setiap tahun berladang hanya untuk cukup
makan! Kau mau setiap tahun hanya makan ubi gadung setiap kali hama belalang menyerang
ladang? Hah, mau jadi apa kau, Dalimunte?"
Yashinta yang berdiri di belakang Kak Laisa ikut tertunduk. Hilang sudah semua
kesenangannya setelah melihat anak berang-berang. Yashinta memainkan caping
anyamannya pelan-pelan. Menggigit bibir. Kalau Kak Ikanuri dan Kak Wibisana yang
dimarahi, Yashinta tidak terlalu sedih. Mereka memang bandel. Tapi kalau Kak Dalimunte
yang dimarahi? Kan, Kak Dalimunte selalu baik. Membantu Mamak. Membantu Kak Laisa.
Suka membuatkan Yashinta mainan. Yashinta ingin menyela, membujuk Kak Laisa agar
berhenti, tapi melihat muka Kak Laisa yang merah padam macam kumbang membuat niatnya
urung.
"Kau tahu! Mamak setiap hari ke ladang! Setiap sore ke hutan mencari damar!
Mengumpulkan uang sepeser demi sepeser agar kalian bisa sekolah! Lantas apa yang kau
berikan sebagai rasa terima kasih? BOLOS SEKOLAH!! BERMAIN AIR??"
Dalimunte tertunduk dalam-dalam. Menyeka matanya yang tiba-tiba panas, berair. Dali
tidak sedang bermain air, Kak Lais. Sungguh —
"KAU BENAR-BENAR TIDAK TAHU MALU! MAU JADI APA KAU KALAU BESAR
NANTI??"
Tidak. Kak Lais keliru. Dali mengerti benar. Mamak sudah bekerja keras demi mereka.
Mengerti benar Kak Laisa mengorbankan seluruh masa kanak-kanak dan remajanya agar bisa
membantu Mamak setiap hari tanpa lelah demi adik-adiknya sekolah. Dalimunte menyeka
matanya. Menangis, rusukan ranting Kak Laisa di dada terasa sakit sekali, tapi hatinya lebih
sakit lagi. Sungguh dia tidak bolos demi sesuatu yang percuma. Dia tidak sedang main air.
Tapi dia tidak bisa menjelaskannya.
"KAU DENGAR KATAKU?!" Dalimunte terisak, mengangguk.
"PULANG! PULANG SANA!!" Kak Laisa keras memukul lengan Dalimunte dengan
ranting. Yang dipukul menyeka hidungnya yang kedat. Sakit. Tangannya terasa pedas, perih.
Tapi hatinya tertusuk lebih sakit. Dia tahu. Tentu saja dia tahu, Dalimunte melangkah pelan,
menyusuri inang sungai.
Kak Laisa sekarang menatap tajam Yashinta. Tanpa perlu di teriaki dua kali, Yashinta
buru-buru melangkah, mengikuti Dalimunte dari belakang. Menuju tepi sungai. Menaiki
tangga dari kayu setinggi lima meter itu. Kampung mereka terpisah dari hutan oleh cadas
setinggi lima meter itu. Tiba di hamparan semak belukar, berjalan tiga ratus meter lagi baru
akan tiba di perkampungan. Atap seng yang sudah karatan dari rumah-rumaah panggung
penduduk terlihat berbaris. Seadanya. Yang paling ujung, yang paling tua, dan yang paling
kecil, itulah rumah mereka.
"Sakit, Kak?"
Yashinta yang berjalan dibelakang Dalimunte berbisik pelan, berusaha mensejajari langkah
kakaknya. Kak Laisa berjalan sepuluh meter di belakang mereka. Masih mengawasi galak.
Dalimunte hanya mengangguk. Matahari semakin terik. Dikejauhan suara elang mengitari
rimba terdengar gagah. Satu bunga rumput terbang, hinggap di dahi Yashinta—
"Nanti Yashinta kasih minyak urut—"
Yashinta berbisik pelan, mengambil bunga rumput di dahinya. Dalimunte mengangguk lagi.
Senyap. Angin lembah membuat ujung-ujung semak bergoyang. Terasa menyenangkan.
Caping anyaman Yashinta bergerak-gerak.
"Anak berang-berangnya ketemu?"
Dalimunte bertanya pelan.
Giliran Yashinta yang mengangguk.
"Lucu?"
Yashinta mengangkat dua jempolnya,
"Top banget, deh!"
Dalimunte tersenyum tipis, meski kemudian meringis lagi, lengannya yang tadi dipukul
terasa perih. Mereka terus berjalan menyusuri jalan setapak, tanpa bercakap-cakap lagi. Kak
lisa terus melotot di belakang.
Matahari hampir tiba di puncaknya. Terik membakar lembah.
Ah, meski belum satupun yang menyadarinya, hari ini garis kehidupan masa depan
mereka yang cemerlang sudah dimulai. Hari ini, garis kehidupan sederhana dan apa adanya
milik mereka mulai menjejak masa-masa depan yang gemilang. Anak-anak terbaik dari
Lembah Lahambay. Anak-anak yang mengukir indahnya perjuangan hidup, Yashinta dengan
berang-berangnya, Dalimunte dengan kincr airnya. Ikanuri dan Wibisana, entah dengan
apanya. Dan Kak Laisa dengan segala pengorbanannya.
Lihatlah, meski Dalimunte tidak sempat menyaksikannya sendiri, kincir airnya ternyata
sempurna bekerja. Air itu perlahan bergerak naik. Dari kincir pertama. Naik terus ke atas,
berputar seiring arus air sungai memutarnya. Tumpah. Langsung disambar kincir air yang
kedua. Kincir air yang kedua itu lantas bergerak pelan. Berkereketan. Pondasinya bergetar.
Tapi pelan mulai berputar, air itu naik lagi, berputar terus.
Tumpah....
Masih butuh tiga kincir air lainnya di cadas itu.
"Bi, kenapa Abi tiba-tiba jadi pendiam?" Intan menarik ujung kemeja Dalimunte,
"Sakit gigi, yee?" Nyengir lebar.
Dalimunte mengusap wajahnya. Tersadarkan dari kenangan. Menatap keluar jendela
pesawat. Hamparan awan menggumpal putih nremenuhi sekeliling. Mereka berada di
ketinggian 30.000 kaki.
"Abi masib marah gara-gara hamster Intan, ya?"
Dalimunte perlahan menggeleng, lembut mengusap kuncir rambut putrinya. Tersenyum.
Tentu saja tidak. Hamster belang itu sekarang pasti mendekam gelisah di ruang kargo
pesawat. Dulu, putrinya suka sekali menyelundupkan hamster dalam saku bajunya. Lolos di
pintu pemeriksaan. Maka hebohlah pesawat itu saat hamster belangnya ternyata menyelinap
turun, lantas masuk ke salah satu kotak makanan yang dibawa pramugari untuk penumpang.
Loncat. Berlarian di dalam pesawat yang sedang terbang persis di atas lautan.
"Kamu sekarang bawa gelang karetnya, sayang?"
Dalimunte merubah posisi duduknya, bertanya lembut. Ah, seharusnya dia bisa lebih rileks
sekarang, mereka sudah duduk nyaman di atas pesawat.
"Bawa. Memangnya kenapa, Bi?"
"Abi minta satu lagi—"
Intan tertawa, mengambil tas sekolah di bawah kakinya, mengeluarkan satu gelang.
Menjulurkan gelang itu. Dalimunte hendak mengambil dari tangan putrinya. Tapi Intan tidak
melepaskan gelangnya.
"Abi bayar dulu lima ribu!"
Dalimunte tertawa kecil, mengeduk saku celananya, kosong.
"Minta sama, Ummi!"
Ummi ikut tertawa, mengeluarkan tas tangannya.
Seharusnya perjalanan ini menyenangkan. Mereka hampir setiap dua bulan sekali
berkunjung ke perkebunan strawberry Mamak Lainuri. Dan itu selalu menjadi perjalanan
yang menyenangkan. Berkumpul bersama yang lain. Apalagi Intan, menikmati benar menjadi
kakak-kakak bagi Juwita dan Delima (maksudnya menikmati merintah-merintah mereka).
Menikmati masakan Wak Laisa. Berjalan keliling kebun bersama Eyang Lainuri, atau yang
lebih seru Iagi, ikut Tante Yashinta melihat berang-berang di pagi buta.
Tadi mereka amat terlambat datang di bandara. Seharusnya pesawat itu sudah take-off
lima belas menit lalu. Tapi kolega peneliti Dalimunte yang mengerti situasinya berbaik hati
menelepon kantor pusat maskapai penerbangan tersebut dari lab. Hari ini, pakar fisika ngetop
seperti Profesor Dalimunte sudah seperti selebritis saja, apalagi salah satu petinggi maskapai
itu sama persis dengan Headmaster Miss Elly, fans berat Profesor Dalimunte, maka mereka
berbaik hati menunda penerbangan. Toh, penumpang lain tidak berkeberatan setelah tahu
yang naik ke pesawat terakhir adalah Profesor Dalimunte.
"Eh, Ummi sudah telepon Eyang Lainuri kalau kita mau datang? Biar Eyang masak yang
banyak. Masakan kesukaan Intan: rebung bakar!"
Intan nyengir.
Teringat sesuatu.
Ummi tersenyum simpul, bagi putrinya kunjungan ini mungkin tidak jauh berbeda dengan
kunjungan-kunjungan sebelumnya. Mengangguk.
"Tapi mengapa mendadak benar, Mi?"
"Mendadak apanya?"
"Kita pulang! Kenapa mendadak benar? Orang kalau mau hujan saja ada gunturgeledeknya..."
"Wak Laisa sakit, sayang—"
Dalimunte yang menjawab, setelah menghela nafas. Cepat atau lambat Intan akan tahu.
"Sakit? Mana bisa Wak Laisa sakit?"
Mata Intan membesar, sedikit pun tidak percaya. Kan, Wak Laisa tuh terlihat tambun. Gemuk
meski gempal. Mana bisa sakit? Lah, Abi saja tidak kuat gendong Intan naik tangga kayu
cadas sungai. Hanya Wak Laisa yang kuat gendong. Jadi mana bisa sakit?
"Bukannya sebulan lalu Wak Laisa sehat walafiat, Bi?"
Intan menggaruk rambutnya. Sok berpikir. Gayanya sudah seperti orang dewasa saja.
Dalimunte menatap datar wajah putrinya yang amat ingin tahu. Itulah yang Abi juga tidak
mengerti, sayang. Sebulan lalu Wak Laisa memang terlihat sehat. Hanya sedikit pucat. Soal
pucat, sudah sejak dulu Kak Laisa memang sedikit pucat. Tapi ia masih sibuk bekerja. Sibuk
dengan keseharian. Tidak pernah mengeluh, bahkan sejak mereka masih kecil dulu. Tidak
pernah sakit. Kak Laisa selalu sigap dan disiplin menghadapi rutinitasnya. Jadi mana
mungkin Kak Laisa sakit? Tapi SMS dari Mamak Lainuri pasti serius. Benar-benar serius.
Dalimunte menelan ludah, mengusap lembut rambut putrinya.
Dokter bilang mungkin minggu depan, mungkin besok pagi, boleh jadi pula nanti
malam....
Bagaimana mungkin kalimat itu tidak serius?

7 ITU BENAR-BENAR JAUH LEBIH PENTING

7
ITU BENAR-BENAR JAUH LEBIH PENTING
"RIO... RIO...." Intan, gadis kecil berumur sembilan tahun itu berseru-seru. Sibuk. Naik turun
tangga. Melongok ke balik kursi, meja, ranjang, lemari, apa saja. Lari keluar, mencari di
halaman.
"Rio... Rio.... Aduh, kemana, sih?" Intan balik lagi ke dalam rumah. Berlarian menaiki tangga
lagi. Kuncir rambutnya yang berpita biru bergoyang.
Dalimunte mengusap wajah. Melirik jam di pergelangan tabgan untuk ke sekian kali. Satu
jam lagi, pesawat yang sudah dipesan staf lab-nya, take-off. Kalau mereka terlambat, maka
baru besok ada penerbangan yang sama. Tidak banyak jadwal penerbangan ke kota provinsi
itu. Kota itu terhitung terpencil jika dilihat dari sisi jumlah penumpang angkutan udara.
Maskapai itu saja harus disubsidi pemerintah daerah setempat agar bisa terus beroperasi.
Ummi, juga sama seperti Intan, ikut sibuk membantu. Mencari hamster belang putrinya.
"Ditinggal saja ya, sayang—" Ummi membujuk.
"Yee, mana boleh. Wak Laisa kan suka banget sama hamster belang Intan, nanti pasti ditanya
kalau nggak dibawa!"
Dalimunte menelan ludah mendengar nama Kak Laisa.
"Ditinggal saja ya, Wak Laisa tidak akan nanya, kok—"
"Nggak bisa. Lagian kalau ditinggal yang kasih makan belang siapa, Mi? Rio.... Rio....
Sembunyi di mana, sih?"
Intan terus berseru-seru sambil menarik selimut tempat tidurnya. Biasanya si belang suka
tiduran di bawah ranjang.
Tidak ada.
Menyeringai. Eh, bukankah tadi ia juga sudah periksa tempat ini.
"Nanti Ummi titip tetangga sebelah buat ngurus, ya?"
"Nggak mau!"
Intan melotot. Keras kepala. Demi melihat ekspresi itu, Ummi menghela nafas, kehabisan
kalimat berikutnya.
Beruntung sebelum seisi rumah diobrak-abrik Intan, hamster belang itu dengan cueknya
nongol di dapur. Berlenggak-lenggok bak model. Sibuk menyeka-nyeka mulutnya. Tanpa
ampun, langsung disambar Intan. Gadis keril itu berlarian berteriak,
"UMMI, ABI, HAMSTER-NYA SUDAH DAPAT!"
Mobil sport keluaran terbaru itu melesat keluar dari gerbang rumah setelah Intan duduk
manis di kursi belakang. Dalimunte mencengkeram setirnya erat-erat. Sayang, baru tiba di
tikungan depan komplek perumahan, Ummi berseru tertahan,
"Tas Ummi! Tas tangan Ummi tertinggal!" Dalimunte mendesis sebal.
"Ada kartu ATM, credit card, kartu identitas, semuanya di sana! Harus diambil, Bi!"
Ummi setengah membujuk, setengah memaksa. Mobil sport itu berbalik arah lagi. Rusuh
sejenak mencari tas tangan Ummi (yang sebenarnya tergeletak di meja ruang depan).
Lima belas menit, mobil sport itu kembali meluncur keluar. Baru tiba di jalan besar,
giliran Intan yang berseru panik,
"Tas sekolah Intan, tas sekolah Intan ketinggalan, Bi!"
Dalimunte benar-benar mendesis sebal.
"Harus diambil, Bi! Kan di tas ada gelang karet 'Safe The Plane' Intan, please….please...."
Mobil sport itu berbalik arah lagi. Kali ini tidak sulit menemukannya, karena kaki Intan
tersangkut tas sekolahnya sendiri persis mau masuk rumah.
Sepuluh menit, mobil sport itu kembali meluncur keluar. Dan kali ini Dalimunte benar -
benar mendesis mengkal. Saat tiba di gerbang tol, dia baru menyadari laptop miliknya
tertinggal. Seluruh hidupnya ada di situ, hasil penelitian, nomor kontak, agenda, bahkan
catatan kesehariannya. Dengan muka mengeras, dia terpaksa memutar kembali setir. Maka
setengah jam kemudian saat mobil sport itu benar-benar berada di atas jalan tol menuju
bandara, yang tersisa hanya wajah merah bin bete Dalimunte.
"Bi, janga marah, ya! Kan yang terakhir tertinggal laptop Abi...."
Intan nyengir sambil memeluk hamster belangnya. Menahan tawa. Ummi menyeringai kecil,
tersenyum tanggung melihat ekspresi wajah putrinya. Dalimunte hanya berdehem tanggung.
"Abi, sih, pakai terburu-buru berangkatnya.... Lihat, tuh, sandal Abi malah ketukar-tukar."
Intan mendekap mulut. Ummi yang justru tidak kuasa menahan tawa melihat kaki suaminya
yang menginjak pedal gas dan kopling. Intan benar. Warna-warni (mana suaminya masih
pake kaos kaki segala).
Dalimunte akhirnya ikutan nyengir. Manyun. Tertawa kecil. Meski sekejap kemudian
melirik lagi jam di pergelangan tangannya.
Lima belas menit lagi pesawat itu take-off.
"Si, si.. What? NO! Assolutamente no! like i told you, siamo arivati a Roma half hour fa,
Albertino... saya mendengar suara Anda, Albertino... APA? Tidak! Tentu saja tidak. Sesuai
janji kami sudah tiba di Roma setengah jam lalu, Albertino—"
"Teng-tong-teng-tong....I passeggeri del treno Eurostar (diretto a Paris dslle ore 10.00) sono
pregati di recarsi velocemente al binario 9...."
Roma Termini (stasiun kereta api pusat) itu meski terhitung sepi, karena orang-orang
sibuk menonton pertandingan final sepak bola, tapi tetap berisik oleh suara teng-tong-teng
speaker pengumuman.
"Tidak. Tidak bisa, Albertino. Tidak bisa. Kami harus segera kembali ke Jakarta. Sekarang
juga. Pagi ini juga. Ya! Ya! Pertemuan itu batal —Hallo? Kau mendengarnya, Albertino?
BATAL!" Belepotan Ikanuri menjelaskan lewat telepon genggamnya. Satu karena dia
bersama Wibisana sedang terburu-buru membawa ranselnya mencari peron nomor 9. Dua
karena bahasa Italianya jauh dari lancar, campur-campur. Campur Inggris, malah kadang
campur bahasa Indonesia.
"Albertino, Anda tidak mengerti. Saya harus kembali sekarang juga ke Jakarta. Kau masih
menunggu di bandara? BANDARA? Tidak. Kami sekarang di stasiun kereta Roma! Apa?
Bukan bandara, kami sekarang ada di stasiun kereta! Roma Termini. Tidak. Ya Allah, tentu
saja kami tidak naik kereta dari Jakarta, Albertino. Bagaimana mungkin?—"
"Teng-tong-teng-tong.... Panggilan terakhir untuk penumpang Kereta Lokal Chievo3000.
Harap segera menuju peron nomor 7...."
"Kau dengar? Tidak usah ditunggu. Kami harus pulang malam ini juga ke Jakarta, kau
dengar? Ya? Ya? Albertino, pertemuan besok batal! Batal! BATAL! Kau dengar? Apa? Ah,
sialan—" Ikanuri memaki.
Wibisana yang berlari-lari kecil di sampingnya menoleh.
"Sinyalnya terputus—" Ikanuri menelan ludah.
"Tung-tong-teng-tong.... Kereta ekspres menuju Swiss Benin nomor 12 dibatalkan karena
alasan cuaca buruk. Badan metereologi meramalkan akan turun hujan lebat di selatan Swis.
Kemungkinan longsor. Penumpang bisa melapor ke loket penjualan tiket kami untuk fullrefund,
atau meminta klaim kamar hotel jika memutuskan untuk menunggu kereta besok
pagi. Seluruh staf dan manajemen Trenitalia, dengan rendah hati meminta maaf..."
"Ini semua gara-gara sepak-bola sialan itu, bah!"
Ikanuri bersungut-sungut. Menyeret kopernya.
"Andaikata Kak Laisa ada di sini, kau pasti sudah dipukulnya dengan sapu lidi berkali-kali!"
Wibisana menarik nafas pendek, memperlamban langkah kaki, papan elektronik yang
bertuliskan angka 9 (peron tujuan Paris, Perancis lewat Pegunungan Alpen, Swiss) sudah di
depan mereka. Mencoba untuk lebih rileks. Ada gunanya juga setelah setengah jam terakhir
terburu-buru, mereka tidak terlalu terlambat, masih ada waktu lima menit lagi.
Tadi keluar dari Bandara Roma amat terburu-buru. Meneriaki taksi terburu-buru.
Memaksa sopir taksi (yang keturunan India itu) untuk terburu-buru, ngebut menuju stasiun
kereta. Beruntung jalanan lengang. Persis setengah jam lagi Final Piala Champion di Stadion
Olimpico, penduduk kota Roma sudah dari tadi duduk manis di stadion atau depan teve
masing-masing. Sialnya, meski lengang, di mana-mana ada konsentrasi massa yang bersiap
nonton bareng lewat layar teve raksasa. Mending nontonnya di lapangan, ini justru digelar
persis di tengah-tengah perempatan jalan.
Benarlah adigum itu, bagi penduduk Roma, sepak bola sudah jadi agama. Jadi, terpaksa
taksi berputar-putar mencari jalan yang perempatannya tidak vorbodden. Itu sama saja
menyisir seperempat kota Roma dengan kecepatan tak kurang 70 mil per-jam.
"Aca, aca, ini lewat mana, hei?"
Sopir India itu juga ikutan panik dengan teriakan-teriakan Ikanuri.
Setelah berpikir lima belas detik di depan gadis penunggu counter biro perjalanan,
Wibisana akhirnya memutuskan untuk segera ke Paris. Itulah pilihan terbaik yang ada.
Memutuskan ke Paris dengan menumpang kereta ekspres lintas negara, Eurostar. Soal
perjalanan menggunakan kereta api, benua Eropa nomor satu. Di sini, untuk mengililingi
Eropa, kalian cukup menumpang kereta lintas negara. Kabin kereta yang nyaman, bisa
sekalian jadi hotel tempat beristirahat. Semuanya amat memadai. Tanpa perlu repot melewati
pemeriksaan paspor dan visa setiap kali melintasi perbatasan. Ke sanalah, Ikanuri dan
Wibisana terburu-buru. Mengejar kereta malam.
"Dipukul Kak Laisa berkali-kali? Maksudmu?"
Ikanuri balik bertanya, sedikit bingung dengan kalimat kakaknya barusan. Wajahnya masih
tegang sejak dari bandara tadi.
Wibisana tertawa kecil, berusaha lebih santai,
"Kau sudah tiga kali memaki setengah jam terakhir, bukan? Kalau sampai Kak Laisa tahu, itu
berarti sembilan kali pukulan sapu lidi —" Ikanuri nyengir. Mengerti kalau Wibisana sedang
bergurau soal masa kecil dulu. Terus melangkah. Mereka akhirnya tiba di depan pintu
gerbong kereta. Lampu peron berpendar-pendar menawan.
"Tiketnya, Senior—"
Wibisana menyerahkan tiket ke penjaga.
"Paspor dan Visanya, Senior—"
Ikanuri menarik travel-binder. Tidak banyak cakap menyerahkan dokumen perjalanan,
meski tadi sebenarnya di pintu gerbang stasiun juga sudah diperlihatkan kepada petugas
imigrasi.
"Indonesia, Senior? Ah, saya tahu Pulau Bali. Cantik, bukan?"
Wibisana dan Ikanuri mengangguk. Malas bicara.
"Jika sempat suatu saat saya hendak ke sana, berlibur, menghabiskan masa pensiun.... Wah,
kalian jauh-jauh dari Indonesia, tapi tidak untuk menyaksikan pertandingan final Liga
Champion Juventus-Manchester United, Senior?" Penjaga itu berbasa-basi.
Ikanuri kali ini benar-benar menggeleng tidak peduli.
"Ah saya mengerti, tim sepakbola negara Anda tidak terlalu bagus, tidak menarik untuk
ditonton, tapi di sini beda, senior...."
Ikanuri mendesis sebal; buruan periksa tiketnya.
"Selamat menikmati Eurostar, Senior. Semoga nyaman. Asal kalian tahu, gara-gara final itu,
malam ini kami hanya punya tujuh penumpang…. Kecuali jadwal kereta setelah selesai
pertandingan; nah yang itu baru full-booked!" Penjaga itu tertawa lebar, mengembalikan tiket
ke Wibisana.
Pintu otomatis kereta berdesis terbuka nyaris tanpa suara.
Ikanuri dan Wibisana tak terlalu mendengarkan tawa riang penjaga itu, sudah membawa
koper masuk. Melangkah di sepanjang lorong. Mencari nomor kabin mereka. Melihat interior
kereta, mereka segera menyadari, setidaknya kereta ini lebih dari cukup untuk beristirahat
setelah penerbangan belasan jam. Menurut gadis penjaga counter tadi, butuh waktu
setidaknya dua belas jam untuk tiba di Paris, Perancis. Melewati setidaknya dua ibukota
negara-negara eksotis Eropa. Andai saja situasinya lebih baik, mungkin ini bisa jadi
perjalanan hebat, bisa menjadi trip perayaan atas suksesnya kesepakatan bisnis dengan
produsen mobil balap itu.
Ikanuri menghela nafas, teringat telepon yang terputus barusan, pelan melemparkan
kopernya ke kursi. Wibisana menutup pintu kabin. Juga memikirkan hal yang sama. Tapi
lupakan! Lupakan soal pertemuan di Piaza de Palozzo besok pagi. Lupakan soal kesepakatan
bisnis itu, meski mereka butuh bertahun-tahun untuk mendapatkan kesempatan tersebut. Itu
bisa diurus nanti-nanti, jika masih sempat. Jika produsen itu belum keburu memilih partner
bisnis dari China. Pulang segera ke Lembah Lahambay jauh lebih penting.
Itu benar-benar jauh lebih penting.

6 BERANG – BERANG YANG LUCU

6
BERANG – BERANG YANG LUCU
"YASH! BERHENTI SEBENTAR, YASH!!"
Dua rekan Yashinta patah-patah menuruni bebatuan gunung ketinggian 3000 meter dpl.
Yashinta tidak menoleh. Mata, tangan, kakinya konsentrasi penuh menjejak trek yang
sempit dan berbahaya.
"YASH, TUNGGU — " Terus menuruni bebatuan.
"Yash, kan tidak semua orang seatletis kamu naik-turun gunung! Kalau keseleo. Benar-benar
celaka, tahu!"
Tersengal-sengal.
Yashinta, gadis berambut panjang itu demi mendengar seruan dengan intonasi setengah
memohon, setengah sebal itu, akhimya menahan langkahnya, menoleh. Berpegangan ke salah
satu batu besar. Jurang terjal, menganga di kiri kanan mereka. Bukan hanya soal keseleo, tapi
lalai sedetik saja, mahal sekali harganya. Bagi kebanyakan orang yang mengerti, sebenarnya
turun dari gunung jauh lebih berbahaya dibandingkan naiknya— apalagi dengan stamina
yang terkuras habis waktu mendakinya.
"Ada apa, sih?"
Teman cowoknya bertanya setelah berhasil mendekat. Satu kata, satu tarikan nafas. Hosh,
Hosh, Hosh. Uap mengepul dari mulut. Kedua rekannya membungkuk memegangi perut.
Capai. Gila, mereka lima belas menit meluncur dengan kecepatan tinggi non-stop dari puncak
Semeru.
"Aku harus pulang!"
"Iya, kami tahu kau harus pulang, tapi ada apa?"
Yashinta tidak menjawab, ia malah menurunkan ranselnya. Mengeluarkan botol 500 mili
minuman berion, pengganti keringat. Melemparkannya ke dua rekannya yang masih
tersengal.
"Trims, Yash." Masih tersengal.
Lengang sejenak. Yashinta (yang sedikitpun tidak tersengal) memperbaiki posisi
peralatan di ransel berukuran semi carrier-nya. Mengencangkan syal di leher. Angin pagi
bertiup pelan. Terasa begitu menyenangkan. Membelai anak rambut. Menelisik di sela-sela
kuping. Yashinta mengusap dahinya. Menatap langit pagi yang membiru. Gumpalan halimun.
Ya Allah, ini sama persis seperti di lembah itu. Sama persis.
Lembah itu....
Rasa haru itu menelisik lagi hatinya. Mengiris membusai perih di mata. Yashinta
mengusap ujung-ujung matanya, Ya Allah, apa yang sebenarnya terjadi? Berpilin. Berputar.
Terlemparkan. Dua puluh lima tahun silam.
Kenangan-kenangan itu kembali sudah.
Di sini juga angin selalu bertiup menyenangkan. Tidak pagi. Tidak siang. Tidak juga
malam. Tapi sepanjang hari, sepanjang malam. Angin selalu berhembus lembut membelai
anak-anak rambut.
"Masih jauh, Kak?"
Kaki-kaki kecil itu menjejak air anak Mingai setinggi mata-kaki. Kecipak-kecipak. Sungai
yang jernih. Di tengah hutan ini ada puluhan cabang anak sungai kecil seperti ini.
"Masih—" Tubuh gendut dan gempal yang lima belas senti lebih tinggi dibandingkan anak
kecil di belakangnya menjawab pendek. Burung-burung berhamburan dengan suara ramai
saat dua anak itu membelah jalanan setapak rimba.
"Seberapa jauh lagi? Lima menit? Sepuluh menit?"
kecipak-kecipak. Bebatuan licin menyembul dari permukaan sungai.
"Masih jauh! Dan kau jangan sampai terpeleset, YASH!"
Suara nyanyian puluhan burung memenuhi langit-langit hutan. Cahaya pagi menerobos
sela dedaunan, menerabas sela-sela putihnya kabut. Membuatnya seperti mengambang.
Bahkan seolah-olah kalian bisa menangkap berkas cahaya itu. Mereka sejak setengah jam
lalu menelusuri hutan. Tangkas yang satunya, yang berjalan di depan, berjalan sambil
menebas ujung-ujung semak belukar yang menjuntai ke batang sungai, menghalangi mereka.
Kedua anak perempuan itu sebenarnya berbeda umur cukup jauh. Yang besar sudah sekitar
enam belas tahun, yang kecil baru enam tahun. Tapi karena perawakan yang lebih besar
sepertinya tidak akan tumbuh normal, sebaliknya yang lebih kecil tumbuh lebih cepat, maka
mereka seperti berbeda umur dua-tiga tahun saja.
Mereka lahir disebuah lembah indah yang sempurna dikepung hutan belantara. Terpencil
dari manapun. Dua jam perjalanan dari kota kecamatan terdekat. Namanya, Lembah
Lahambay. Persis di tengah-tengah bukit barisan yang membentang membelah pulau.
Deretan gunung-gunung kecil. Ada sebelas puncak gunung setinggi 1.500-2.000 meter dpl di
kawasan lembah itu.
Terselip disana-sini, ada sekitar empat perkampungan radius sepuluh kilo di Lembah
Lahambay. Berjauhan satu sama lain. Paling dekat terpisah satu kilometer. Satu
perkampungan paling banyak terdiri dari 30-40 rumah panggung. Perkampungan mereka
terletak paling tepi, paling bawah, berbatasan langsung dengan hutan rimba. Tapi meski
disekitar kampung banyak terdapat sungai, celakanya posisi kampung itu tetap lebih tinggi
dari manapun. Sungai besar yang ada di bawah kampung terpisah oleh dinding cadas setinggi
lima meter, yang membuat kampung itu seperti sempurna terpisah dari rimba.
Untuk menuruni dinding cadasnya saja sudah sulit bukan main. Maka tidak seperti desadesa
yang lazimnya dekat dengan hutan (yang otomatis berarti dekat dengan sungai), disini
penduduk menanam sawah tadah hujan, bukan bercocok-tanam dengan sawah irigasi. Mereka
hanya berharap pada siklus kebaikan langit. Selebihnya bekerja mencari rotan, damar,
kumbang hutan, hingga belakangan menjual burung, kukang, jangkrik, dan apa saja yang laku
di kota kecamatan.
"Masih jauh, Kak? Lima menit? Sepuluh menit?" Gadis kecil yang berumur enam tahun
bertanya lagi sambil melepas daun yang tersangkut di rambut.
" Masih!"
Laisa nama kakaknya, kali ini menjawab dengan nada sebal. Itu pertanyaan yang ke dua
puluh sepanjang perjalanan mereka. Adiknya selalu saja suka bertanya. Berulangkali, Tidak
bosan-bosannya. Malah pakai "menit-menitan" segala. Bisa sabar dikit kenapa!
Lembah Lahambay selalu terbungkus kabut di pagi hari, ketika kehidupan di rumahrumah
mulai menyeruak sejak kumandang adzan shubuh dari surau. Asap putih mengepul
dari dapur. Melukis langit-langit lembah. Pertanda kehidupan sudah dimulai.
Satu-satunya akses dari kota kecamatan ke lembah itu hanyalah jalan bebatuan selebar
tiga meter. Di desa atas, satu kilometer dari kampung mereka, yang penduduknya lebih maju
dan lebih berada, ada dua mobil starwagoon tua yang sering bolak-balik ke kota kecamatan.
Terkentut-kentut membawa hasil kebun, hutan, atau apa saja penduduk lembah tersebut,
melewati jalanan buruk. Naik turun. Di desa atas juga ada sekolah dasar, meski seadanya.
Bagaimana tidak seadanya? Hanya ada satu guru untuk semua kelas. Kelas? Itu bahasa yang
lebih halus untuk menyebut bangunan jelek beratap seng karatan, berdinding anyaman
bambu, berlantai semen pecah-pecah.
Mereka terbiasa dengan semua keterbatasan. Terbiasa dengan kehidupan terpencil. Jadi
wajar sajalah melihat dua anak perempuan merambah hutan di pagi buta. Pemandangan
lumrah di lembah ini! Anak-anaknya tumbuh dan akrab dengan kehidupan sekitar. Tadi
selepas shalat shubuh jamaah, persis saat perkampungan masih gelap, selepas belajar mengaji
Juz'amma dengan Mamak, Kak Laisa akhirnya bilang akan menemani Yashinta pergi melihat
berang-berang. Kabar yang membuat Yashinta langsung berseru riang tak henti selama lima
menit. Bergegas melepas mukena kumalnya.
Sebulan lalu saat Kak Laisa membantu Mamak mengumpulkan damar jauh di tengah
hutan. Kak Laisa tidak sengaja menemukan tebat (bendungan) yang dibuat berang-berang.
Hebatnya di sana ada lima ekor anak berang-berang yang sedang berenang. Lucu sekali
melihatnya. Meski kemudian Kak Laisa benar-benar menyesal menceritakan apa yang
dilihatnya kepada Yashinta, apalagi dengan menambahinya dengan kalimat: lucu sekali
melihatnya.
Menceritakan itu ke Yashinta sama saja dengan mengundang masalah. Maka tak kunjung
henti setiap malam Yashinta merajuk ingin ke sana. Menarik-narik baju gombyor Kak Laisa.
Jengkel. Atau mungkin pula akhirnya lelah dengan bujukan adiknya, pagi ini Laisa
memutuskan mengajak Yashinta untuk melihat langsung. Waktu paling baik melihat berangberang
adalah pagi hari. Semakin pagi semakin baik.
"Hati-hati, Lais! Jaga adikmu!"
Mamak Lainuri berkata tajam dari bingkai pintu. Itu pesan Mamak tadi sebelum berangkat.
"Yash, kan sudah besar, Mak! Tidak perlu dijaga!"
Yashinta yang justru menjawab, sambil nyengir. Memasang sepatu bot butut miliknya. Juga
caping anyaman di kepala.
"Apa sih serunya lihat berang-berang? Gitu-gitu saja! Mana ada coba lucunya"
Satu kepala anak lelaki menyembul dari belakang Mamak. Mukanya terlihat jahil.
"Iya, apa coba lucunya!"
Satu lagi kepala anak lelaki menyusul. Wajah mereka berdua mirip benar. Kompak seperti
biasa, menyeringai nakal ke arah Yashinta.
"Biarin! Pokoknya lucu!"
Yashinta cemberut, tidak mempedulikan kedua kakaknya.
"Yang keren tuh lihat Harimau. Kemarin aku dan Ikanuri sempat lihat satu di atas Gunung
Kendeng—"
"Ah-ya, harimau. Benar. Itu baru lucu. Malah anak-anknya ada enam, Yash. Lebih banyak.
Lucu-lucu banget— "
"Iya, Kak? Harimau beneran?"
Gerakan tangan Yashinta yang sedang mengenakan tas kecilnya terhenti. Matanya membulat.
Bertanya ingin-tahu.
" Wibisana! Ikanuri!"
Mamak Lainuri mendesis. Menyuruh dua sigung nakal itu diam.
Kedua anak lelaki itu kompak tertawa. Nyengir. Jangan pernah cerita sesuatu ke
Yashinta. Adik terkecil mereka benar-benar tipikal anak yang suka penasaran. Ingin tahu
segalanya. Tentu saja mereka tadi hanya bergurau. Seperti biasa mudah sekali menggoda
Yashinta. Tapi Mamak Lainuri tidak suka gurauan mereka. Tidak pantas menjadikan
'harimau' sebagai bahan bergurau.
"Lais berangkat, Mak. Assalammualaikum—"
"Waalaikumsalam. Jaga adikmu. Dan pulang segera, Lais. Hari ini banyak pekerjaan di
ladang!"
Gadis tanggung berumur enam belas tahun itu mengangguk. Sigap melangkah menuruni
anak tangga. Yushinta langsung ngintil mengikuti. Lihatlah, meski baru enam tahun,
Yashinta benar, ia sudah cukup besar untuk urusan ini. Tangkas menjejak rumput yang masih
berbilur kristal embun. Tubuhnya meski terlihat kecil dan ringkih, tidak kalah atletisnya
dibanding Kak Laisa yang gendut dan gempal.
Hutan, semakin lama semakin lebat.
Hiruk-pikuk burung memenuhi atas kepala semakin ramai. Seperti orkestra. Ada yang
berdengking, berkicau, bernyanyi, bahkan ada yang seperti ngoceh tanpa henti. Itu burung si
penggosip. Sibuk bicara, meski tidak penting. Dengking uwa (semacam monyet) dari
kejauhan menimpali. Kuak suara ayam hutan. Nyamuk besar-besar berdesing di atas kepala.
Sarang laba-laba. Mereka sudah berjalan hampir satu jam. Menyusuri jalan setapak yang
kadang ada, kadang hilang di tengah hutan.
"Masih jauh, Kak?"
Kak Laisa tidak menjawab.
"Masih jauh, Kak?"
"Ssst—" Kak Laisa menghentikan langkahnya.
Yashinta yang sedikit kaget karena Kak Laisa berhenti mendadak, memegang lengan Kak
Laisa dari belakang. Ingin tahu. Menyeruak ke depan. Tapi Kak Laisa malah menahan
kepalanya. Mendelik menyuruhnya tetap di belakang. Dan tentu saja memberi kode: jangan
berisik. Mereka sejak lima belas menit tadi sudah turun dari jalan setapak, menyusuri sungai
kecil berbatu-batu itu.
Kak Laisa melanjutkan langkahnya pelan-pelan. Yashinta mengerti, tidak perlu dijelaskan
dua kali, ikut melakukannya. Menghilangkan suara kecipak kaki di atas air. Lima belas
meter. Kak Laisa melangkah mengendap-endap menaiki tepi sungai. Yashinta tanpa banyak
bicara ikut. Kalau sudah begini, berang-berang itu pasti sudah dekat, deh. Yashinta nyengir
lebar. Juga ikut mendekam di balik sebatang pohon besar, di belakang Kak Laisa.
"Di depan sana—" Kak Laisa berbisik.
Wajah Yashinta sudah merah saking antusiasnya. Ia melapas caping anyamannya
(kepalanya gerah) lantas merangkak mengintip dari balik batang besar itu. Mana? Mana?
Mana? Suara getas ranting patah terdengar. Kak Laisa meucubit lengannya.
"Jangan berisik!" Mendesis.
Yashinta manyun sebentar. Kan tidak sengaja. Merangkak lebih hati-hati. Memperhatikan
tempat yang ditunjuk Kak Laisa. Memang ada bendungan tiga-lima meter di depan mereka.
Bendungan dari batang roboh yang persis melintang di tengah sungai. Yang sekarang
dipenuhi dedaunan, ranting-ranting, dan tanah liat.
Mana anak berang-berangnya? Yang ada hanya dua ekor burung Meninting. Sibuk
bercengkerama di atas bebatuan. Loncat-loncat. Mengembangkan sayap indah hitam
bergaris-garis putih milik mereka. Saling menggoda.
Saat Yashinta siap mengeluh ke Kak Laisa sekali lagi. Bertanya man-na anak berangberangnya.
Pelan terdengar suara kecipak dari pohon roboh di tengah-tengah bendungan.
Splash—
Aih! Mata Yashinta langsung melotot. Membesar.
Splash. Splash. Splash—
Yashinta berseru tertahan. Sekali lagi dicubit Kak Laisa.
Untung seruan itu tidak terlalu keras. Jadi tidak ada yang terganggu. Gadis kecil itu
mendekap sendiri mulutnya. Menyeringai cemberut, menoleh ke arah Kak Laisa yang
nyengir galak.
Splash—
Itu suara berang-berang ke lima yang meluncur ke dalam kolam bendungan buatan
mereka. Bukan main, lima anak berang-berang itu meluncur anggun. Naik turun. Kepalanya
celap-celup. Satu-dua jahil mengejar ikan-ikan kecil yang banyak berkeliaran di sela-sela
mereka. Celap-celup. Sungai itu jernih. Jadi Yashinta bisa melihat hingga ke bebatuan
dasarnya. Dua ekor kepiting yang tadi nangkring di pinggir kolam sungai segera menyingkir.
Juga menyingkir sekumpulan udang yang sedang berjemur di bonggol kayu. Menyisakan
burung Meninting yang terus cuek berloncatan da atas batu, tidak peduli dengan lima anak
berang-berang. Mulut Yashinta terbuka. Terpesona.
Kak Ikanuri dan Kak Wibisana salah seratus persen, deh! Kata siapa anak berang-berang
tidak lucu? Yashinta sekarang saking gemasnya malah sudah merangkak keluar dari balik
batang, ingin melihat lebih dekat. Laisa hendak menarik tasnya, mencegah. Tapi demi
melihat ekspresi muka Yashinta yang begitu sumringah, urung. Ia tidak ingin menganggu
kesenangan adiknya. Akhirnya hanya tersenyum tipis, membiarkan. Itu sungguh senyum
pertamanya sepanjang pagi ini, atau juga sepanjang minggu ini sejak Yashinta menyebalkan
selalu merajuk minta diantar.
Ah, Kak Laisa memang jarang tersenyum.
Berang-berang itu terus berkejaran di beningnya air kolam. Uap mengepul dari inang
sungai. Suara lenguh uwa terdengar dari kejauhan. Kicau ramai burung-burung, Matahari
pagi semakin terik. Permainan cahayanya dari sela dedaunan yang memantul di beningnya air
bendungan terlihat memesona. Pagi yang indah. Benar-benar pagi yang indah di Lembah
Lahambay. Menyaksikan sendiri lima anak berang-berang berenang, saling bercengkerama,
persis dari bibir kolam bendungannya. Menyaksikannya dari jarak sepelemparan batu saja.
Itu sungguh hanya ada dalam mimpi berjuta orang....
Ada apa?
Yashinta menyeka matanya yang basah. Menatap datar kedua temannya yang nafasnya
sudah kembali normal. Dingin angin pagi menyergap lereng Gunung Semeru. Cahaya yang
menembus kabut terlihat menawan. Yashinta menarik nafas pelan. Ia tidak tahu apa yang
telah terjadi. Tepatnya belum. Yang ia tahu, ia harus pulang segera. SMS itu amat
mencemaskan.
Terlebih tiba-tiba semuanya terasa ganjil. Sesak. Kenangan itu kembali bagai tontonan
audio-visual dari layar teve LCD sejuta pixels. Begitu nyata. Begitu dekat. Seolah ia bisa
menyentuhnya. Menyentuh wajah Kak Laisa yang pagi itu tersenyum tipis....
"Ada apa, Yash?" Teman ceweknya bertanya lagi.
"Aku harus pulang!" Yashinta menjawab pendek, menaikkan kembali ransel ke pundaknya.
Meneruskan langkah.
Bergegas.