8
KAU ANAK LELAKI
ANAK KECIL berumur dua belas tahun itu sedang sibuk menyusun balok-balok bambu di
pinggir sungai yang mengalir deras. Mukanya serius. Mulutnya sedikit terbuka. Kepalanya
terus berpikir. Sekali, dua kali, tiga kali, berkali-kali, dia menyusun ulang balok-balok itu.
Jatuh, disusun kembali. Gesit. Terampil tangannya mengikatkan tali rotan. Memukul ujung
bambu dengan batu agar melesak lebih dalam ke tepi sungai. Cahaya matahari pagi yang
meninggi menyinari Wajahnya.
Herhenti sejenak. Menyeka keringat. Lantas beranjak ke tepi sungai. Mengambil kincir
yang tersandar di cadas batu setinggi lima meter. Kincir dari batang bambu itu benar-benar
seadanya. Jauh dari kokoh. Tapi itulah usaha terbaiknya. Sudah seminggu terakhir dia
sembunyi-sembunyi membuatnya. Selepas pulang sekolah. Selepas membantu Mamak
Lainuri dan Kak Laisa di ladang. Kapan saja ada waktu luang. Dia akan berlari ke tubir cadas
sungai. Mengerjakan proyek rahasianya jadi bagaimanalah akan kokoh dan baik bentuknya.
Kakinya sedikit bergetar membawa kincir yang lumayan besar untuk anak dua belas
tahun seumurannya. Arus air sungai yang deras membuatnya semakin sulit melangkah. Hatihati
kincir itu diletakkan di atas susunan balok bambu. Anak itu menghela nafas lega. Tinggal
memperbaiki posisinya. Akhirnya satu kincir terpasang sudah. Celananya basah. Bajunya
juga basah. Sedikit belepotan tanah liat cadas sungai. Dia melangkah ke pinggir sungai.
Tersenyum senang melihat pekerjaannya. Kincir itu mulai bergerak pelan mengikuti arus air.
Dan bumbung kosong bambu yang dibuat sedemikian rupa mulai berputar, mengalirkan air
sungai ke atas. Tumpah saat tiba di putaran tertingginya. Berhasil! Anak kecil itu
menyeringai lebar. Masih perlu setidaknya empat kincir lagi hingga akhirnya tiba di atas
cadas sana, pagi ini dia harus menyelesaikan dua di antaranya. Dengan demikian, setidaknya
dia bisa membuktikan air-air ini bisa dibawa ke atas dengan lima kincir bersambung. Bukan
dengan kincir raksasa yang selama ini selalu dianggap solusi terbaiknya. Dia beranjak
memasang pondasi balok-balok bambu berikutnya di dinding cadas.
Kali ini jauh lebih sulit. Cadas itu keras untuk dihantam meski dengan ujung bambu
runcing sekalipun. Berkali-kali ujung bambunya penyok. Terpaksa dipampas lagi dengan
golok. Setengah jam berlalu, pondasi sederhana di dinding cadas sungai itu akhirnya jadi.
Kali ini benar-benar lebih sulit memasangkan kincir kedua yang tersandar di dinding cadas.
Berat. Tidak mudah mengangkatnya. Tidak kehabisan akal, anak kecil itu mengambil tali
rotan yang telah disiapkannya. Menyangkutkan ujung-ujungnya di salah satu pohon besar
lima meter di atas cadas. Lantas pelan-pelan menarik kincir itu ke atas.
Matahari sudah benar-benar tinggi ketika ia berhasil meletakkan kincir itu di pondasi
dinding cadas. Bajunya penuh oleh licak lumpur. Berhenti sejenak. Sekali lagi tersenyum
riang melihat pekerjaannya. Lantas melangkah ke sungai yang mengalir jernih. Berusaha
membersihkan muka dan tubuh yang kotor. Saat itulah, saat dia sekalian menyelam di sungai
sedalam pinggang itu, saat asyik menikmati sejuknya arus deras sungai, terdengar gemerisik
dedaunan diinjak dari jalan setapak mulut rimba. Mengangkat kepala.
"DALIMUNTE! APA YANG KAU KERJAKAN DI SINI?"
Tanpa tedeng aling-aling teriakan itu meluncur, menyergap.
Dalimunte, nama anak kecil berumur dua belas tahun itu seketika gagap. Kak Laisa
bersama Yashinta, muncul dari gerbang jalan setapak hutan belantara, turun ke anak sungai
yang mengalir deras.
"BUKANNYA kau seharusnya ada di sekolah, Dali? Apa yang kau lakukan di sini?"
Kak Laisa mendesis galak, melangkah mendekat. Seram benar melihat tampangnya. Bahkan
Yashinta yang sepanjang perjalanan pulang tadi hatinya berbunga-bunga, ikut-ikutan takut
mendengar seruan Kuk Laisa. Berdiri mengkerut di belakang Kak Laisa.
"Ee,ee, Dalimunte sakit, Kak!" Anak lelaki itu menyeringai, terdesak, sembarang mengarang.
Meniru kelakuan dua adik lelakinya yang memang jago ngarang kalau sudah ketahuan salah
begini.
"BOHONG! Sakit apa?" Kak Laisa melotot. Semakin dekat.
"Errgh, pilek...."
"Bagus sekali! Pilek, pilek tapi kau main air!"
Kak Laisa menukas tajam, tangkas menyambar ranting yang kebetulan hanyut di dekat kakikaki
mereka, dan tentu saja ranting itu gunanya buat menunjuk-nunjuk dada Dalimunte.
"Sejak kapan kau berani bolos sekolah, hah?"
Kak Laisa menghardik.
Dalimunte mencicit Aduh, dia pikir Kak Laisa dan Yashinta bakal lama lihat berangberangnya.
Dia pikir akan cukup waktu mengerjakan kincir-kincir ini sebelum Kak Laisa
kembali. Ternyata perhitungannya keliru. Dia memang sudah tak sabar menunggu waktu
senggang menyelesaikan pekerjaan yang sudah direncanakan dan dikerjakannya berbulanbulan.
Mumpung Kak Laisa pagi ini tidak ada di rumah untuk mengawasi. Makanya
memutuskan bolos sekolah. Selama ini sedikitpun tidak tersedia waktu yang cukup untuk
menyelesaikan kincir-kincirnya. Lepas sekolah dia langsung keladang. Hari ahad juga begitu,
sepanjang hari harus ke ladang. Padahal pertemuan di Balai Desa dilakukan besok pagi.
"Kalau kau bolos, berarti Ikanuri dan Wibisana juga bolos!"
Kak Laisa bertanya menyelidik, menusuk dadanya lebih keras.
Dalimunte meringis. Soal itu tidak usah ditanya lagi, meski ada Kak Laisa sekalipun
Ikanuri dan Wibisana rajin bolos, apalagi jika Kak Laisa tidak ada. Lebih berani melawan.
Tadi pagi sih mereka bertiga pamitan ke Mamak, memakai seragam, menuju sekolah di desa
atas. Tapi baru tiba di pertigaan jalan bebatuan selebar tiga meter itu, Ikanuri dan Wibisana
sudah kabur duluan, naik starwagoon tua yang kebetulan lewat ke kota kecamatan. Dalimunte
sebenamya jauh lebih nurut. Dia meski terkadang bosan sekolah, tapi tidak pernah membolos.
Tadi pagi saja, butuh waktu sepuluh menit di pertigaan itu hingga akhirnya dia berani
memutuskan untuk ikut membolos. Menyelesaikan kincir airnya.
"Apa yang kau kerjakan di sini? JAWAB!"
Kak Laisa menghardik lagi. Lebih kencang. Mengkal karena yang diteriaki sejak tadi malah
menunduk bengong.
Dalimunte hanya diam. Menelan ludah. Tetap menunduk.
"APA YANG KAU KERJAKAN DI SINI?"
Dalimunte membisu.
"KAU ANAK LELAKI DALIMUNTE! Anak lelaki harus sekolah. Akan jadi apa kau jika
tidak sekolah? Pencari kumbang di hutan sana seperti orang lain di kampung ini? Penyadap
damar? Kau mau menghabiskan seluruh masa depanmu di kampung ini? Setiap tahun
berladang dan berharap hujan turun teratur? Setiap tahun berladang hanya untuk cukup
makan! Kau mau setiap tahun hanya makan ubi gadung setiap kali hama belalang menyerang
ladang? Hah, mau jadi apa kau, Dalimunte?"
Yashinta yang berdiri di belakang Kak Laisa ikut tertunduk. Hilang sudah semua
kesenangannya setelah melihat anak berang-berang. Yashinta memainkan caping
anyamannya pelan-pelan. Menggigit bibir. Kalau Kak Ikanuri dan Kak Wibisana yang
dimarahi, Yashinta tidak terlalu sedih. Mereka memang bandel. Tapi kalau Kak Dalimunte
yang dimarahi? Kan, Kak Dalimunte selalu baik. Membantu Mamak. Membantu Kak Laisa.
Suka membuatkan Yashinta mainan. Yashinta ingin menyela, membujuk Kak Laisa agar
berhenti, tapi melihat muka Kak Laisa yang merah padam macam kumbang membuat niatnya
urung.
"Kau tahu! Mamak setiap hari ke ladang! Setiap sore ke hutan mencari damar!
Mengumpulkan uang sepeser demi sepeser agar kalian bisa sekolah! Lantas apa yang kau
berikan sebagai rasa terima kasih? BOLOS SEKOLAH!! BERMAIN AIR??"
Dalimunte tertunduk dalam-dalam. Menyeka matanya yang tiba-tiba panas, berair. Dali
tidak sedang bermain air, Kak Lais. Sungguh —
"KAU BENAR-BENAR TIDAK TAHU MALU! MAU JADI APA KAU KALAU BESAR
NANTI??"
Tidak. Kak Lais keliru. Dali mengerti benar. Mamak sudah bekerja keras demi mereka.
Mengerti benar Kak Laisa mengorbankan seluruh masa kanak-kanak dan remajanya agar bisa
membantu Mamak setiap hari tanpa lelah demi adik-adiknya sekolah. Dalimunte menyeka
matanya. Menangis, rusukan ranting Kak Laisa di dada terasa sakit sekali, tapi hatinya lebih
sakit lagi. Sungguh dia tidak bolos demi sesuatu yang percuma. Dia tidak sedang main air.
Tapi dia tidak bisa menjelaskannya.
"KAU DENGAR KATAKU?!" Dalimunte terisak, mengangguk.
"PULANG! PULANG SANA!!" Kak Laisa keras memukul lengan Dalimunte dengan
ranting. Yang dipukul menyeka hidungnya yang kedat. Sakit. Tangannya terasa pedas, perih.
Tapi hatinya tertusuk lebih sakit. Dia tahu. Tentu saja dia tahu, Dalimunte melangkah pelan,
menyusuri inang sungai.
Kak Laisa sekarang menatap tajam Yashinta. Tanpa perlu di teriaki dua kali, Yashinta
buru-buru melangkah, mengikuti Dalimunte dari belakang. Menuju tepi sungai. Menaiki
tangga dari kayu setinggi lima meter itu. Kampung mereka terpisah dari hutan oleh cadas
setinggi lima meter itu. Tiba di hamparan semak belukar, berjalan tiga ratus meter lagi baru
akan tiba di perkampungan. Atap seng yang sudah karatan dari rumah-rumaah panggung
penduduk terlihat berbaris. Seadanya. Yang paling ujung, yang paling tua, dan yang paling
kecil, itulah rumah mereka.
"Sakit, Kak?"
Yashinta yang berjalan dibelakang Dalimunte berbisik pelan, berusaha mensejajari langkah
kakaknya. Kak Laisa berjalan sepuluh meter di belakang mereka. Masih mengawasi galak.
Dalimunte hanya mengangguk. Matahari semakin terik. Dikejauhan suara elang mengitari
rimba terdengar gagah. Satu bunga rumput terbang, hinggap di dahi Yashinta—
"Nanti Yashinta kasih minyak urut—"
Yashinta berbisik pelan, mengambil bunga rumput di dahinya. Dalimunte mengangguk lagi.
Senyap. Angin lembah membuat ujung-ujung semak bergoyang. Terasa menyenangkan.
Caping anyaman Yashinta bergerak-gerak.
"Anak berang-berangnya ketemu?"
Dalimunte bertanya pelan.
Giliran Yashinta yang mengangguk.
"Lucu?"
Yashinta mengangkat dua jempolnya,
"Top banget, deh!"
Dalimunte tersenyum tipis, meski kemudian meringis lagi, lengannya yang tadi dipukul
terasa perih. Mereka terus berjalan menyusuri jalan setapak, tanpa bercakap-cakap lagi. Kak
lisa terus melotot di belakang.
Matahari hampir tiba di puncaknya. Terik membakar lembah.
Ah, meski belum satupun yang menyadarinya, hari ini garis kehidupan masa depan
mereka yang cemerlang sudah dimulai. Hari ini, garis kehidupan sederhana dan apa adanya
milik mereka mulai menjejak masa-masa depan yang gemilang. Anak-anak terbaik dari
Lembah Lahambay. Anak-anak yang mengukir indahnya perjuangan hidup, Yashinta dengan
berang-berangnya, Dalimunte dengan kincr airnya. Ikanuri dan Wibisana, entah dengan
apanya. Dan Kak Laisa dengan segala pengorbanannya.
Lihatlah, meski Dalimunte tidak sempat menyaksikannya sendiri, kincir airnya ternyata
sempurna bekerja. Air itu perlahan bergerak naik. Dari kincir pertama. Naik terus ke atas,
berputar seiring arus air sungai memutarnya. Tumpah. Langsung disambar kincir air yang
kedua. Kincir air yang kedua itu lantas bergerak pelan. Berkereketan. Pondasinya bergetar.
Tapi pelan mulai berputar, air itu naik lagi, berputar terus.
Tumpah....
Masih butuh tiga kincir air lainnya di cadas itu.
"Bi, kenapa Abi tiba-tiba jadi pendiam?" Intan menarik ujung kemeja Dalimunte,
"Sakit gigi, yee?" Nyengir lebar.
Dalimunte mengusap wajahnya. Tersadarkan dari kenangan. Menatap keluar jendela
pesawat. Hamparan awan menggumpal putih nremenuhi sekeliling. Mereka berada di
ketinggian 30.000 kaki.
"Abi masib marah gara-gara hamster Intan, ya?"
Dalimunte perlahan menggeleng, lembut mengusap kuncir rambut putrinya. Tersenyum.
Tentu saja tidak. Hamster belang itu sekarang pasti mendekam gelisah di ruang kargo
pesawat. Dulu, putrinya suka sekali menyelundupkan hamster dalam saku bajunya. Lolos di
pintu pemeriksaan. Maka hebohlah pesawat itu saat hamster belangnya ternyata menyelinap
turun, lantas masuk ke salah satu kotak makanan yang dibawa pramugari untuk penumpang.
Loncat. Berlarian di dalam pesawat yang sedang terbang persis di atas lautan.
"Kamu sekarang bawa gelang karetnya, sayang?"
Dalimunte merubah posisi duduknya, bertanya lembut. Ah, seharusnya dia bisa lebih rileks
sekarang, mereka sudah duduk nyaman di atas pesawat.
"Bawa. Memangnya kenapa, Bi?"
"Abi minta satu lagi—"
Intan tertawa, mengambil tas sekolah di bawah kakinya, mengeluarkan satu gelang.
Menjulurkan gelang itu. Dalimunte hendak mengambil dari tangan putrinya. Tapi Intan tidak
melepaskan gelangnya.
"Abi bayar dulu lima ribu!"
Dalimunte tertawa kecil, mengeduk saku celananya, kosong.
"Minta sama, Ummi!"
Ummi ikut tertawa, mengeluarkan tas tangannya.
Seharusnya perjalanan ini menyenangkan. Mereka hampir setiap dua bulan sekali
berkunjung ke perkebunan strawberry Mamak Lainuri. Dan itu selalu menjadi perjalanan
yang menyenangkan. Berkumpul bersama yang lain. Apalagi Intan, menikmati benar menjadi
kakak-kakak bagi Juwita dan Delima (maksudnya menikmati merintah-merintah mereka).
Menikmati masakan Wak Laisa. Berjalan keliling kebun bersama Eyang Lainuri, atau yang
lebih seru Iagi, ikut Tante Yashinta melihat berang-berang di pagi buta.
Tadi mereka amat terlambat datang di bandara. Seharusnya pesawat itu sudah take-off
lima belas menit lalu. Tapi kolega peneliti Dalimunte yang mengerti situasinya berbaik hati
menelepon kantor pusat maskapai penerbangan tersebut dari lab. Hari ini, pakar fisika ngetop
seperti Profesor Dalimunte sudah seperti selebritis saja, apalagi salah satu petinggi maskapai
itu sama persis dengan Headmaster Miss Elly, fans berat Profesor Dalimunte, maka mereka
berbaik hati menunda penerbangan. Toh, penumpang lain tidak berkeberatan setelah tahu
yang naik ke pesawat terakhir adalah Profesor Dalimunte.
"Eh, Ummi sudah telepon Eyang Lainuri kalau kita mau datang? Biar Eyang masak yang
banyak. Masakan kesukaan Intan: rebung bakar!"
Intan nyengir.
Teringat sesuatu.
Ummi tersenyum simpul, bagi putrinya kunjungan ini mungkin tidak jauh berbeda dengan
kunjungan-kunjungan sebelumnya. Mengangguk.
"Tapi mengapa mendadak benar, Mi?"
"Mendadak apanya?"
"Kita pulang! Kenapa mendadak benar? Orang kalau mau hujan saja ada gunturgeledeknya..."
"Wak Laisa sakit, sayang—"
Dalimunte yang menjawab, setelah menghela nafas. Cepat atau lambat Intan akan tahu.
"Sakit? Mana bisa Wak Laisa sakit?"
Mata Intan membesar, sedikit pun tidak percaya. Kan, Wak Laisa tuh terlihat tambun. Gemuk
meski gempal. Mana bisa sakit? Lah, Abi saja tidak kuat gendong Intan naik tangga kayu
cadas sungai. Hanya Wak Laisa yang kuat gendong. Jadi mana bisa sakit?
"Bukannya sebulan lalu Wak Laisa sehat walafiat, Bi?"
Intan menggaruk rambutnya. Sok berpikir. Gayanya sudah seperti orang dewasa saja.
Dalimunte menatap datar wajah putrinya yang amat ingin tahu. Itulah yang Abi juga tidak
mengerti, sayang. Sebulan lalu Wak Laisa memang terlihat sehat. Hanya sedikit pucat. Soal
pucat, sudah sejak dulu Kak Laisa memang sedikit pucat. Tapi ia masih sibuk bekerja. Sibuk
dengan keseharian. Tidak pernah mengeluh, bahkan sejak mereka masih kecil dulu. Tidak
pernah sakit. Kak Laisa selalu sigap dan disiplin menghadapi rutinitasnya. Jadi mana
mungkin Kak Laisa sakit? Tapi SMS dari Mamak Lainuri pasti serius. Benar-benar serius.
Dalimunte menelan ludah, mengusap lembut rambut putrinya.
Dokter bilang mungkin minggu depan, mungkin besok pagi, boleh jadi pula nanti
malam....
Bagaimana mungkin kalimat itu tidak serius?
mencoba membuka mata, telinga dan pikiran.. melepas kekolotan dalam jiwa. menuju sebuah pemahaman.. dan ber akhir dengan Kecintaan..
8 KAU ANAK LELAKI
Minggu, 26 Desember 2010
Diposting oleh Ali rEza di 07.07
Label: novel seri
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar