4 PENGUASA ANGKASA

Jumat, 24 Desember 2010



4
PENGUASA ANGKASA
DUA PULUH RIBU kilometer dari langit malam kota Roma yang cemerlang oleh cahaya. Di
sini, pagi justru sedang beranjak meninggi. Pukul 06.00. Udara berkabut. Putih membungkus
puncak Semeru. Pemandangan luas menghampar begitu memesona. Tebaran halimun yang
indah. Empat gunung di sekitarnya terlihat menjulang tinggi, mengesankan melihatnya.
Berbaris. Gunung Bromo. Tengger. Merbabu. Seperti serdadu. Uap mengepul dari kawah
Semeru. Angin mendesing lembut. Samudera Indonesia memperelok landsekap, terlihat
terbentang nun jauh di sana. Membiru. Sungguh pemandangan yang hebat.
Tangan yang memegang teropong binokuler berkekuatan zoom 25 kali itu sedikit
gemetar. Brrr.... Dingin. Suhu menjejak 4 derajat celcius di atas sini, ketinggian 3150 meter
dpl (di atas permukaan laut). Jaket tebal yang membungkus, topi lebar, slayer besar tak
membantu banyak. Hanya karena terbiasa dan antusiasme tak terbilanglah yang membuat
gadis berumur 34 tahun itu tetap bertahan dari tadi shubuh persis di tubir kawah Semeru.
Mukanya seolah tidak peduli dengan dinginnya pagi, malah menyeringai oleh senyum
senang. Mata hitam indahnya bercahaya. Wajah cantik itu amat bersemangat. Rambut
panjangnya menjuntai, mengelepak pelan oleh deru angin pagi....
Ia sudah lama menunggu kesempatan ini. Dingin dan sukarnya trek terjal pegunungan
bukan masalah. Ia menguasai medan sulit seperti ini sejak kedl. Dulu, sejak ingusan, ia
belajar langsung dari jagonya.
"Arah pukul dua belas! Arah pukul dua belas!" Gadis itu tiba-tiba berseru tertahan.
"Mana? Di mana?"
"Lima belas meter dari bibir kawah. Dinding dekat batu cokelat! Batu cokelat, bukan yang
hitam." Gadis itu berbisik antusias ke teman-teman di belakangnya, berusaha mengendalikan
volume suaranya.
"Mana? Di mana?" Dua rekannya, cowok-cewek, dengan usia tidak beda, dengan pakaian
sama tebalnya bertanya lagi sambil beringsut mendekat. Mengarahkan binokuler masingmasing
ke arah yang ditunjuk gadis satunya barusan.
"Batu besar arah jam dua belas! Batu besar cokelat—"
"Batu besar? Cokelat?"
"PKAAAK!" Lenguh suara nyaring itu sempurna sudah memecah hening puncak Semeru.
Bagai menguak kabut. Bagai membelah halimun. Membuat wajah-wajah sontak tertoleh,
mendongak.
"PKAAAK!" Sekali lagi membuncah pagi.
"Terbang! Ada yang terbang."
"Di mana? Di mana?"
"Arah pukul delapan. Di atas. Di atas, sebelah kiri!"
Gadis yang duduk paling depan, yang membungkuk di tubir kawah Semeru itu berseru
semakin tertahan. Wajahnya semakin antusias. Berbinar-binar senang. Binokuler ditangannya
bergerak gesit. Rambut panjangnya bergerak anggun. Zoom in. Teropong model canggih itu
berdesing oleh perintah auto focus.
Persis di atas mereka, seekor burung alap-alap kawah gunung, dengan bentang sayap
berukuran 45 cm, bagai pesawat falcon, mungkin juga F-14 menderu melesat. Bukan main.
Sempurna seperti sedang menyibak gumpalan putih kabut. Bicara soal kecepatan dan
manuver terbang, sumpah tidak ada yang mengalahkan Peregrin, inilah sang penguasa kawah
gunung. Bukan elang. Bukan garuda. Bukan pula Rajawali. Tapi alap-alap (kawah).
Merekalah penguasa langit sejati. Burung yang hidup di tempat tertinggi di dunia. Di tempat
paling eksotis di seluruh muka bumi. Yang mampu terbang hingga ke ketinggian pesawat
terbang.
"PKAAAK!" Alap-alap kawah itu terbang melesat seolah hendak menghujam ke dinding
dekat gumpalan batu cokelat. Sarangnya!
Tiga orang yang mengawasi dari sisi lereng seberangnya melotot melalui binokuler.
Sungguh, pemandangan yang menakjubkan.
Gerakan tubuh alap-alap kawah itu persis bagai pesawat tempur yang menyerbu. Dan
sedetik sebelum tubuhnya seakan-akan hendak menghantam dinding kawah, sayapnya terlipat
ke belakang. Begitu anggun, begitu mulus, kecepatannya berkurang dalam hitungan
sepersekian detik. Lantas bagai seorang ballerina sejati, sekejap, sudah mendarat sempurna.
Perfecto!
Gadis yang duduk di depan menggigit bibir. Terpesona. Menghela nafas. Sungguh
pertunjukan atraksi alam yang spektakuler. Binokulernya mendesing. Mode: full zoom in.
Sekarang ia bisa melihat bulu leher Peregrin yang kemerah-merahan seperti menatapnya dari
jarak sedepa saja.
Kuku-kuku kaki tajam induk alap-alap kawah itu menggenggam mangsa yang baru
didapatnya pagi ini. Tiga ekor anaknya menyembul dari dalam sarang. Ber-pkak, pkak lemah,
meski riang. Paruh yang terjulur. Warna emas itu. Positif! Tidak salah lagi!
"Ya Allah! Itu jelas-jelas Peregrin varian baru! Jenis baru.... Ini, ini berarti Gold Level untuk
bantuan penelitian kita. Thanks, God! Akhirnya. Akhirnya! Seratus ribu dollar Amerika
untuk konservasi mereka...."
Gadis yang duduk paling depan itu tertawa lebar, melepas teropong binokuler dari wajahnya.
Terlihat amat senang. Lega. Menghempaskan pantatnya ke bebatuan. Dua temannya ikut
mengangguk-angguk beberapa detik kemudian. Sepakat soal varian baru tersebut setelah
melihatnya lebih jelas dengan binokuler masing-masing. Ikut tertawa lega.
Yashinta nama gadis itu. Team leader kelompok penelitian kecil burung dan mamalia
endemik. Selain peneliti dari lembaga penelitian dan konservasi nasional di Bogor, ia juga
koresponden foto National Geographic. Mengumpulkan foto-foto alam yang indah dan
insightfull untuk majalah itu. Pagi ini, setelah berkutat seminggu di puncak Semeru, mereka
akhirnya berhasil menemukan sarang burung langka tersebut. Awal yang baik dari riset
berbulan-bulan ke depan untuk memetakan perangai dan tingkah-laku alap-alap kawah varian
baru. Proyek konservasi jangka panjang.
Yashinta meraih kamera SLR di tas pinggangnya. Senyum riang itu tak kunjung lepas
dari wajah memerahnya. Ini akan jadi foto yang hebat, desisnya senang. Bisa jadi photo cover
majalah. Membuka lensa kamera. Bersiap mengambil foto induk Peregrin yang sedang
memberi sarapan tiga anaknya. Saat itulah, saat Yashinta sibuk mengarahkan lensa 600/6.4
mm, lensa dengan kemampuan merekam tahi lalat di pipi soseorang dari jarak seratus meter,
telepon genggam satelit yang ada disaku celana gunungnya mendadak berdengking-dengking.
Kedua temannya menoleh.
"Ssst!" Menyeringai mengingatkan. Mana boleh bersuara saat mereka mengamati burung.
Lihatlah, meski jarak mereka nyaris lima puluh meter dengan sarang alap-alap kawah, induk
burung itu mendadak menoleh. Terganggu.
Yashinta nyengir, maaf, buru-buru meraih HP-nya.
Yang berdengking adalah HP satelit urusan keluarga, yang selalu ia bawa kemanapun
pergi. Tiba-tiba jantung gadis itu berdetak lebih kencang. Dari siapa? Ah-bukan, bukan itu
pertanyaan tepatnya, tapi ada apa? Apa yang terjadi? S-M-S? Itu pasti Mamak. Bukankah
Mamak tidak pernah menggunakan HP-nya? Tidak pernah terbiasa? Yang lain pasti
selalu menelepon. Kenapa pagi ini tiba-tiba Mamak mengirimkan SMS? Sedikit terburu-buru
Yashinta menekan tombol oke.
Terbata membaca pesan 203 karakter tersebut.
Seketika, hilang sudah senyum riang itu. Seketika hilang sudah wajah menggemaskan
kemerahan terbakar cahaya matahari pagi di puncak Semeru itu. Yashinta dengan tangan
bergetar menurunkan kamera canggih SLR-nya. Menelan ludah, menyeka dahi, lantas
berbisik lemah,
"Aku harus pulang! Aku harus pulang!"
Senyap. Gumpalan kabut yang membungkus puncak Semeru mendadak membungkus
sepi. Yashinta sudah bergegas turun dari tubir kawah. Sambil jalan, sembarangan
memasukkan peralatan ke dalam ransel. Tidak peduli tatapan terperangah dua temannya.
Tidak peduli dua ekor Peregrin lainnya dengan anggun terbang mendekat ke sarang di batu
cokelat. Tidak peduli. Apalagi pemandangan hebat dari puncak gunung tertinggi di Pulau
Jawa itu. Yashinta berlarian menuruni lereng terjal. Pulang.
Ia harus segera pulang!
Itu pasti Kak Laisa! Itu pasti Kak Laisa! Yashinta menyeka matanya yang mendadak
basah, sambil terisak menangis, meluncur menuruni cadas bebatuan secepat kakinya bisa.
Bergegas....

0 komentar: