mencoba membuka mata, telinga dan pikiran.. melepas kekolotan dalam jiwa. menuju sebuah pemahaman.. dan ber akhir dengan Kecintaan..
2 BULAN YANG TERBELAH
Jumat, 24 Desember 2010
2
BULAN YANG TERBELAH
"HADIRIN yang kami hormati, tiba saatnya kita mengundang ke atas panggung, seseorang
yang sudah kita tunggu-tunggu sejak tadi. Seseorang yang seolah-olah akan —maaf —
membuat lima profesor sebelumnya terasa membosankan dan membuat mengantuk—"
Tertawa. Ruangan besar itu buncah oleh tawa.
".... Banyak sekali catatan hebat yang dimilikinya, tapi anehnya, meski banyak, sekarang kita
sama sekali tak perlu menyebut satupun. Ah, bukan karena akan merepotkan membaca daftar
super-panjang itu, tapi buat apa lagi, semua sudah hafal, bukan? Jadi buat siapapun di
ruangan besar ini, siapapun di antara lima ratus peserta Simposium Fisika Intemasional ini
yang tidak mengenal sosoknya. Yang, oh, betapa malangnya peserta itu—" Tertawa lagi.
"Buat peserta malang itu, saya akan memperkenalkan pembicara utama simposium kita hanya
dengan memperlihatkan cover sebuah majalah: Science!" Dengan sedikit dramatis, moderator
simposium fisika itu sengaja mengangkat tinggi-tinggi majatah yang dimaksud.
"Inilah jurnal ilmu-pengetahuan terkemuka di dunia. Yang memiliki reputasi paling hebat di
antara sejenisnya. Lihatlah edisi bulan ini, edisi terbaru! Terpaksa menurunkan laporan tidak
lazim, utuh sebanyak 49 halaman, hmm, itu bisa dibilang hampir seperempat tebal majalah
ini.... Kenapa saya sebut tidak lazim? Karena laporan ini sungguh tak biasa bagi banyak ahli
fisika yang kebanyakan sekuler. Apalagi untuk konsumsi publik di negara-negara Barat sana.
Judul penelitiannya adalah: 'Pembuktian Tak Terbantahkan Bulan Yang Pernah Terbelah'.
Kepala-kepala menyeruak. Berebut ingin melihat lebih jelas.
"Penelitian yang amat mengesankan, mengingat hari ini, ketika kehidupan sudah begitu tidakpedulinya
dengan fakta-fakta dalam agama, pembicara utama kita siang ini justru datang
dengan sepuluh bukti bahwa bulan memang pernah terbelah 1.400 tahun silam dalam hasil
penelitian mutakhirnya. Bukan main. Lengkap tak terbantahkan, sebagai salah satu mukjijat
Nabi penutup jaman. Benar-benar terbelah dua seperti kalian sedang membelah semangka,
bukan penampakan sihir, apalagi ilusi mata seperti yang dituduhkan dan dipahami banyak
orang sejak dulu. Lantas setelah dibelah, dua potongan bulan tersebut disatukan kembali,
seperti bulan yang biasa kita lihat sekarang. Itu benar-benar pernah terjadi!" Moderator itu
berhenti sejenak. Membiarkan ruangan besar dipenuhi sensasi yang diinginkannya.
Terpesona. Ingin tahu. Rasa kagum Sejenis itulah.
"Well, meski kalau dipikir-pikir sebenarnya pembuktian hebat atas bulan yang pernah
terbelah itu tidak terlalu mengejutkan kita, bukan? Hanya soal waktu dia akan
membuktikannya. Mengingat profesor muda kita adalah orang pertama di negeri ini yang
berkali-kali menulis di jurnal paling prestisius dunia itu. Mendapat pengakuan dari berbagai
institusi penelitian dunia, dan selalu konsisten berusaha membuktikan berbagai transkripsi
dan sejarah religius dari sisi ilmiahnya...."
Muka-muka yang memadati ruang konvensi besar itu terlihat semakin bercahaya oleh
antusiasme. Seperti anak kecil yang dijanjikan mainan baru. Atau seperti anak kecil yang
melihat penuh rasa ingin tahu toples penuh gula-gula. Menunggu tak sabaran moderator yang
terus ngoceh tentang fakta yang sebenamya mereka sudah tahu semua. Termasuk jurnal itu.
Tadi pagi dibagikan gratis ke seluruh peserta.
".... Namanya terdaftar dalam 100 peneliti fisika paling berbakat di dunia. Dan tidak
berlebihan jika mantan koleganya di Princenton University berandai-andai dia akan menjadi
salah-satu kandidat kuat penerima nobel fisika beberapa tahun ke depan. Jadi buat peserta
yang tidak sempat mengenalnya secara langsung, hari ini setelah enam bulan berusaha
menculiknya dari jadwal laboratorium yang tidak masuk-akal, dari berbagai penelitian yang
serius, sistematis dan kaku... hari ini dengan bangga kami hadirkan sosok yang sebaliknya
memiliki wajah dan kepribadian santun menyenangkan ini...." Gadis moderator itu tersenyum
lebar, terlihat amat senang membuat seluruh peserta simposium menunggu tak sabaran
kalimat-kalimat perkenalannya. Menikmati posisinya sebagai 'penguasa' jadwal acara.
"Ah-ya, soal wajah dan kepribadian yang santun menyenangkan? Kalian tahu, yang menarik
ternyata bukan hanya wajah profesor ini yang terlihat santun menyenangkan. Well, di tengah
kesibukannya sebagai peneliti, pakar, dan apalah namanya yang serba serius dan menuntut
banyak waktu itu, profesor muda kita tetap hidup dengan segala romantisme bersama
keluarga kecilnya. Lihatlah, hari ini dia datang dengan istrinya yang terlihat cantik, selamat
siang Nyonya!" Muka-muka tertoleh. Penuh rasa ingin tahu. Mereka belum pernah melihat
istri sang Profesor, meski dengan begitu banyak publisitas selama ini. Tersenyum. Wanita
cantik berkerudung yang duduk di sebelah sang Profesor, baris kedua dari depan itu ikut
balas tersenyum, layar LCD raksasa di depan plenary hall menayangkan paras cantiknya.
Mengangguk anggun. Sedikit bersemu merah.
"Ada yang berminat mendengar kisah indah pertemuan mereka?" Moderator menyeringai
lebar.
Hampir seluruh peserta simposium meski tertarik, menggdeng. Mereka jauh-jauh datang
dari berbagai universitas ternama ke ruangan besar itu jelas-jelas ingin mendengarkan
paparan mutakhir temuan fisika, bukan celoteh moderator.
"Baiklah karena kalian memaksa, maka dengan senang hati saya akan menceritakan bagian
tersebut..."
Wajah-wajah terlipat. Gumam keberatan.
"Keluarga yang hebat meski tidak menyukai publisitas...."
"Masa kecil yang penuh perjuangan... kalian tahu, Profesor kita sudah membuat kincir air
setinggi lima meter saat ia masih kanak-kanak...."
".... Perkenalan di kontes fisika, terpesona oleh kecantikan remaja... Profesor kita mengejar
hingga ke Bandara, haha...."
Lima menit berlalu, peserta simposium mulai jengkel
".... Perkebunan strawberry yang indah...."
".... Masa kecil yang begitu mengesankan...."
Satu-dua peserta sengaja mulai berdehem (lebih keras).
".... Baik, baik." Akhirnya gadis di podium menyadari ruangan mulai gerah, tersenyum lebar
tidak-sensitif, "Karena saya pikir kalian sedikit mulai tak-sabaran mendengar perkenalan
yang sebenarnya amat penting dari saya, baiklah, hadirin, berikan sambutan yang paling
meriah, inilah salah-satu profesor fisika termuda, ternama, yang pernah ada di negeri ini,
profesor kebanggaan kita, Profesor Da-li-mun-te!"
Tepuk-tangan bak dikomando menggema bagai dengung lebah.
Pemuda berumur 37 tahun itu tersenyum lebar.
Melepas genggaman mesra, berbisik lembut ke istrinya. Berdiri. Lantas melangkah sigap
menuju podium. Dengan langkah panjang-panjang. Rambutnya tersisir rapi mengkilat.
Matanya tajam memandang, Rahangnya kokoh. Eskpresi wajahnya meski santun
menyenangkan seperti yang dibilang moderator cerewet itu, sebenamya terlihat keras
mengiris, sisa gurat masa kecil yang tidak selalu beruntung.
Hari ini Profesor Dalimunte mengenakan kemeja krem. Rapi seperti biasa. Meski 'gelang
karet' gaya anak muda di tangan kanan membuatnya terlihat lebih kasual, untuk tidak bilang
sebenarnya sedikit tidak matching dengan busana rapinya. Gelang itu macam gelang karet
yang bertulisan 'solidarity forever', 'united for all', 'long live friendship', yang sedang trend di
anak muda.
Itu gelang pemberian Intan, putri sulungnya yang berumur sembilan tahun. Bertuliskan,
'Safe The Planet!' Minggu-minggu ini, Intan menjadi ketua panitia 'Earth Day' di sekolah.
Memaksa siapa saja mengenakan gelang itu. Satu gelang bernilai sumbangan 5.000 perak.
Nanti uangnya buatbeli tong sampah yang bakal dikirim ke daerah-daerah korban bencana
alam. Makanya Intan sibuk benar berpromosi. Termasuk ke Eyang Lainuri (malah seminggu
lalu mengirimkan selusin gelang ke perkebunan strawberry buat tukang-tukang kebun); buat
apa coba di pedalaman indah nan sederhana itu penduduknya pakai gelang? Ah, Intan
memang keras kepala soal proyek "Safe The Planet" -nya, lihatlah satu gelang juga terpasang
rapi di leher hamster belang miliknya, meski yang bayar lima ribu perak, ya Ummi.
Profesor Dalimunte memperbaiki speaker di atas podium. Pelan mengetuk-ngetuknya.
Berdehem. Tepukan mereda. Peserta konvensi perlahan duduk kembali. Menatap antusias ke
depan.
"Baik, pertama-tama, terima-kasih atas perkenalan yang hebat, panjang, dan
superlengkapnya. Meski saya pikir kau agak berlebihan dengan menceritakan bagian
romantisme pertemuan itu, Anne!"
Dalimunte menganggukan kepala kepada moderator, tersenyum,
"Tapi terima kasih atas sentuhan keluarganya: profesor muda kita tetap hidup dengan segala
romantisme bersama keluarga kecilnya.... Anne, setidaknya dengan kalimat terakhir itu, kau
membuatku terlihat sedikit lebih manusiawi. Bukan seperti daftar penelitian yang kulakukan
sepanjang tahun: sistematis, serius, dan kaku. Ya, profesor fisika juga manusia biasa,
bukan—"
Tertawa.
Ruangan besar itu ramai oleh tawa.
"Hadirin, sebelumnya maafkan saya untuk dua hal...." Profesor Dalimunte mengusap
wajahnya yang sedikit berkeringat,
"Pertama karena saya hanya punya waktu lima belas menit untuk memenuhi segala
keingintahuan kalian. Saya harap itu cukup setelah hampir enam bulan kalian menunggu
kesempatan ini. Kalian tahu, ada banyak pekerjaan di laboratorium, belum lagi dengan segala
tenggat waktunya. Di samping itu, kalian tahu persis, saya tidak terlalu menikmati dikelilingi
puluhan wartawan dengan kameranya. Semua popularitas ini.... Jadi ijinkanlah saya untuk
memulai langsung topik kita hari ini—"
Wajah-wajah terlihat semakin antusias. Tangan-tangan wibuk menggenggam pulpen
bersiap mencatat. Takut benar ada fakta terucap yang terselip di ingatan dan lalai di catat
takut benar terlihat sebagai orang paling bodoh dalam ruangan simposium fisika internasional
tersebut. Ini lima belas menit yang penting.
".... Seperti yang telah kalian baca di jurnal tersebut bulan dibelah dua sudah menjadi fakta
religius ratusan tahun silam. Salah-satu mukjijat Nabi penutup jaman. Ada banyak
perdebatan, ada banyak penelitian yang justru mencoba membuktikan kalau itu semua keliru.
Ternyata tidak. Keajaiban itu memang pernah terjadi! — Bagaimana mungkin ada satu
potongan translasi religius yang keliru? Kitab suci keliru? Hadist yang salah? Sungguh
lelucon yang tidak lucu. Itu tidak mungkin terjadi!"
Profesor Dalimunte dengan muka serius menunjuk slide gambar bulan terbelah dua di
layar LCD raksasa depan ruangan.
"Tapi seperti yang saya bilang tadi, untuk kedua kalinya maafkan saya, karena hari ini saya
memutuskan untuk tidak membicarakan penelitian yang sudah dimuat dengan baik oleh
jurnal populer yang selama ini sekuler dan diskriminatif, 'Science'. Kalian bisa membaca
sendiri seluruh buktinya di majalah tersebut, dan jika masih ada pertanyaan, kolega dan staf
saya di laboratorium dengan senang hati membalas e-mail pertanyaan, pesan, ajakan diskusi,
atau apapun dari kalian....Hari ini sesuai kesepakatan dengan panitia simposium lima menit
setiba saya di sini, saya akan menyajikan pembuktian fakta religius penting lainnya. Bukan
tentang bulan, tapi isu yang lebih besar. Lebih mendesak untuk disampaikan. Perubahan topik
ini sebenarnya kabar baik bagi kalian, karena kalian akan menjadi orang pertama yang
mendengarkan progress penelitian terbaru kami: Badai Ekktromagnetik Antar Galaksi
menjelang hari kiamat...."
Slide bergerak cepat. Sekarang memunculkan sebuah translasi kitab suci. Wajah-wajah
dalam ruang besar nampaknya tidak terlalu keberatan dengan perubahan topik yang
mendadak tersebut. Buru-buru mencoret judul catatan di atas kertas.
Profesor Dalimunte tersenyum lebar menatap sekitar dengan rileks. Lima ratus undangan.
Lima ratus ahli fisika dari berbagai penjuru dunia. Meski tidak terlalu menyukai publisitas,
dia amat terlatih untuk urusan mengendalikan massa seperti ini. Dulu dia belajar dari guru
terbaiknya.
"Pernahkah dari kita bertanya tentang detail kabar tanda-tanda hari akhir? Hari kiamat?
Membacanya? Mendengamya? Pasti pernah. Dan setidaknya bagi siapapun yang masih
mempercayai janji hari akhir tersebut, maka tidak peduli dari kitab suci agama manapun,
berita-berita tersebut boleh dibilang mirip satu sama lain... Ahya, maaf, saya tidak akan
membahas soal mirip tidaknya, itu urusan pakar, ahli agama yang relevan. Biar mereka yang
menjelaskan kalau sebenarnya kabar tersebut bersumber dari satu muasal. Penelitian fisika
terbaru kami hanya bertujuan memaparkan fakta ilmiahnya—"
"Salah satu berita yang membuat kita tercengang adalah kabar peperangan besar, yang
dikenal beberapa agama lain dengan sebutan Armageddon. Pertempuran hebat. Penyerbuan.
Penguasaan wilayah.... Menarik. Amat menarik. Karena salah satu diantara kita mungkin
pernah melipat dahi, bagaimana mungkin begitu banyak sumber dalam berbagai riwayat
sahih terpercaya justru menyebutkan peperangan besar itu akan dilakukan dengan pedang,
dengan tangan? Jika kalian berkesempatan membaca, maka akan menemukan berbagai
translasi religius menulis begitu. Pertempuran satu lawan satu.... Nah, pertanyaan bodohnya
adalah: lantas di mana teknologi nuklir hari ini? Di mana senjata pemusnah massal? Satelit?
Senjata kimia? Bioteknologi?
"Bagi semua yang pemah mendengar cerita tentang tanda-tanda akhir jaman, bukankah
seolah-olah masa itu kembali ke masa-masa pertempuran konvensional? Berita tentang ulatulat
yang dikirimkan dari langit? Keluarnya dua pasukan jahat yang menghabiskan seluruh
air sungai yang mereka lewati? Pepohonan yang menyembunyikan bangsa Yahudi— maaf
jika ini terlalu detail—"
Dalimunte tersenyum, tapi heberapa peserta simposium yang datang dari sekutu negara
bersangkutan tidak terlalu berkeberatan dengan kalimat itu, lebih asyik melihat layar LCD
raksasa di depan.
"Kita semua tahu, translasi itu sama sekali tidak menyinggung soal senjata-senjata pemusnah
massal. Nuklir misalnya! Ingat kasus Nagasaki dan Hiroshima, perang dunia ke-2. Dua kali
tembak, selesai sudah! Bagaimana mungkin di akhir jaman nanti orang-orang seolah lupa
menggunakan teknologi hebat itu? Apalagi hari kiamat mungkin baru terjadi ratusan tahun,
atau ribuan tahun lagi. Kita tidak bisa membayangkan akan secanggih apa teknologi senjata
saat itu? Jadi jika benar-benar terjadi Armageddon, apa susahnya melepas dua tiga rudal
berhulu nuklir jutaan kiloton ke daerah musuh? Selesai sudah. Atau jangan-jangan dua tiga
ratus tahun ke depan manusia malah sudah bisa membuat koloni pertama di Mars! Janganjangan
maksud peperangan tersebut adalah peperangan antar planet. Jangan-jangan Ya'juj dan
Ma'juj yang dikurung di suatu tempat oleh Dzulkarnen itu, yang hingga hari ini kita tidak
tahu di mana lokasi tembok penjaranya justru datang dari planet lain. Masuk akal bukan—"
"Tetapi ternyata tidak. Terlepas dari bagaimana menafsirkan berbagai translasi religius ini,
sepertinya kemungkinan-kemungkinan yang saya sebutkan tadi amat berlebihan, sejauh ini
belum ada buktinya. Kabar peperangan besar tersebut sepertinya memang akan sesederhana
itu. Benar-benar sesederhana itu. Saya menyimpulkan demikian: sesederhana itu... Maka,
pertanyaannya jika semua teknologi senjata tadi tidak digunakan saat pertempuran akhir
jaman, lantas ke manakah ilmu pengetahuan yang telah diakumulasi beratus-ratus tahun oleh
manusia? Apakah seolah-olah kemajuan ilmu pengetahuan seperti siklus naik turun? Apakah
ketika hari kiamat tiba, peradaban manusia justru sedang kembali ke titik apaadanya?"
Dalimunte diam sejenak. Menatap seluruh ruangan.
Mengesankan melihatnya membanjiri peserta simposium dengan berbagai pertanyaan,
entah lima ratus peserta itu mengerti atau tidak. Terus menyajikan dengan cepat berbagai
slide, termasuk pertanda dari berbagai kitab suci lainnya. Beberapa peserta simposium yang
tidak terlalu mengerti transkripsi religius yang terpampang di layar raksasa LCD menandai
besar-besar catatannya (berjanji dalam hati: nanti akan dicari tahu penjelasannya). Sama
seperti dengan beberapa peserta yang tidak tahu, lupa, atau malah sama sekali tidak mengerti
tentang mukjijat bulan terbelah oleh Nabi penutup jaman di majalah 'Science' sebelumnya.
Ruangan besar simposium fisika itu lengang, hanya suara pulpen menggores kertas yang
terdengar.
"Apakah seolah-olah kemajuan ilmu pengetahuan seperti siklus naik turun? Hadirin,
jawabannya adalah: Ya! Jika kita ibaratkan, maka peradaban manusia persis seperti roda.
Terus berrputar. Naik turun. Mengikuti siklusnya. Ada suatu masa, ketika kemajuan ilmu
pengetahuan mencapai puncaknya, manusia menguasai teknologi-teknologi hebat, lantas
entah oleh apa, mungkin karena peperangan, bencana alam, atau karena entahlah, di masamasa
berikutnya kembali meluncur ke titik terendahnya.... Jika kita ingin berpikir sejenak,
siapa bilang ribuan tahun silam manusia masih primitif? Masih boddoh? Tidak mengenal
teknologi telepon selular? Internet? Penerbangan ke bulan, dan sebagainya?
"Ingat, disadari atau tidak, ada fakta religius yang tertulis indah di kitab suci: Salah seorang
sahabat Nabi Sulaiman, maksud saya Solomon buat hadirin yang mengenalnya dengan nama
itu. Saya garis bawahi, saat itu, seorang manusia, pernah bisa memindahkan dalam sekejap
sepotong kursi dari satu titik ke titik lainnya yang berjarak ratusan kilometer sebelum mata
sempat berkedip! Seorang manusia. Spektakuler! Anda tidak akan pernah menemukan
kemampuan teknologi sehebat itu hari ini! Belum. Kita yang amat bangga dengan kemajuan
peradaban, bahkan tidak bisa memindahkan fisik sebutir telur dengan apapun itu wahana dan
caranya, kecuali di film-film, yang aktornya lantas seolah-olah ketinggalan kaki, tangan, atau
telinga—" Dalimunte menyeringai.
Ruangan itu sejenak ramai oleh tawa.
".... Kita sejauh ini hanya bisa bangga dengan kode binari. Transfer data. Jaringan
telekomunikasi. Internet dan sebagainya, Tapi tidak untuk teknologi memindahkan fisik
sebuah benda. Lantas, bagaimana mungkin kita tidak mewarisi teknologi hebat sahabat Nabi
Sulaiman tersebut setelah ribuan tahun berlalu? Bagaimana mungkin tidak ada penjelasannya
dan kita sekadar mempercayai kalau itu kondisi luar biasa. Karomah. Keajaiban. Bukankah
kepercayaan itu sebuah rasionalitas ilmiah? Seperti halnya bulan yang terbelah. Tentu saja
ada penjelasan masuk akal atas transfer fisik kursi tersebut, harus ada penjelasan ilmiahnya,
kita saja yang belum tahu. Atau mungkin tidak akan pemah tahu. Nah, masalahnya kenapa
kita tidak mewarisi penjelasan penting tersebut? Jawabannya, mungkin saja karena
peradaban, kemajuan teknologi itu persis seperti siklus naik turun. Masa-masa silam, masamasa
itu, manusia pernah menguasai berbagai teknologi hebat tersebut, malah mungkin
pernah memiliki rumus sederhana seperti rumus phytagoras untuk menjelaskan bagaimana
memindahkan kursi ke tempat lain. A kuadrat sama dengan B kuadrat plus C kuadrat. Tapi
entah oleh apa ilmu pengetahuan itu kemudian musnah. Seperti roda yang berputar,
peradaban manusia kembali lagi ke titik terendahnya....Analog dengan hal itu, dan akan
dibuktikan dengan serangkaian penelitian ilmiah kami, jadi sama sekali tidak mengherankan
jika saat dunia menjelang masa senjanya, kita juga akan kehilangan senjata-senjata hebat
yang ada sekarang dalam pertempuran besar itu. Dan dunia kembali ke peperangan dengan
tangan, dengan pedang. Peperangan konvensional. Itu benar-benar masuk akal. Itu sesuai
dengan kabar dari berbagai translasi religius ini....Maka pertanyaan pentingnya sekarang
adalah: oleh apa? Oleh apa kita akan kehilangan ilmu pengetahuan dan berbagai teknologi
canggih tersebut? Kemana menguapnya akumulasi ilmu pengetahuan yang hebat itu? Inilah
poin terpenting penelitian Badai Etektromagnetik Antar Galaksi yang akan menghantam
planet ini sebelum hari kiamat. Yang membuat berbagai peralatan elektronik, listrik, dan
kemajuan teknologi lainnya seolah 'membeku', tidak berfungsi lagi. Mati—"
Dalimunte sengaja berhenti mendadak. Sejenak. Tersenyum. Meraih gelas besar di
hadapannya. Meminum seteguk - dua teguk. Membasahi kerongkongannya. Membiarkan rasa
haus ingin tahu menggantung di langit-langit ruangan.
Tapi entah kenapa, saat semua peserta bersiap menunggu gagasan hebat, jawaban atas
pertanyaan itu, menunggu penjelasan apa yang akan disampaikan profesor muda di depan
mereka. Saat Dalimunte telah meletakkan kembali gelasnya. Kembali menunjuk slide yang
terpampang di layar LCD raksasa. Bersiap menjelaskan progress penelitiannya. Dalimunte
malah mendadak terdiam. Pelan menurunkan kembali tangannya yang memegang pointer
layar LCD.
Telepon genggam di saku celananya mendadak bergetar.
"Maaf, sebentar—"
Dalimunte tersenyum tanggung ke peserta simposium. Siapa? Menelan ludah. Ini ganjil
sekali. Dia punya dua telepon genggam. Satu untuk urusan kampus, lab dan lain-lain, yang
lazimnya dinonaktifkan dalam situasi simposium seperti ini. Satu lagi untuk urusan keluarga,
yang selalu stand-by apapun alasannya. Hanya ada enam orang yang tahu nomor telepon
genggam urusan keluarganya. Siapa?
Keliru. Bukan dari siapa tepatnya pertanyaan Dalimunte barusan. Namun: ada apa? Apa
yang sedang terjadi? Wajah Dalimunte seketika mengeras, cemas.
Sedikit terburu-buru meraih telepon genggam. SMS. Kenapa harus dengan SMS? Jika
penting bukankah bisa langsung menelepon? Itu berarti Mamak Lainuri yang mengirimkan.
Mamak tak pandai benar berbicara lewat HP, selalu merasa aneh. Setetah terdiam sejenak
menatap layar HP, Dalimunte gemetar menekan tombol open. SMS itu terbuka. Gagap
membaca kalimatnya. Menggigit bibir. Menyeka dahi yang berkeringat. Terdiam lagi satu
detik. Dua detik. Lima detik. Lantas dengan suara amat lemah berkata pendek di depan
speaker.
"Maaf. Cukup sampai di sini— "
Kalimat yang membuat seluruh ruangan simposium itu riuh.
Seketika.
Gaduh. Seruan-seruan kecewa. Dalimunte sudah turun dari podium. Tidak peduli kalau
Anne, si moderator yang cerewet buru-buru bangkit dari kursinya, mendekat, coba bertanya
apa yang sedang terjadi. Tidak peduli beberapa koleganya juga ikut mendekat, ingin tahu.
Tidak peduli dengung suara lebah. Apalagi kilau blitz kamera wartawan yang sejak tadi rakus
membungkus tubuhnya. Tidak peduli. Dalam hitungan detik Dalimunte sudah menggenggam
tangan istrinya yang berkerudung biru. Berbisik dengan suara bergetar. Lantas melangkah
keluar dari ruangan. Bergegas.
Meninggalkan berlarik tanya dari lima ratus peserta simposium internasional fisika itu.
Bagaimana dengan gelombang elektromagnetik tadi?
Diposting oleh Ali rEza di 07.57
Label: novel seri
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar