Pendahuluan
Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi dalam kajian ilmiah keenam yang bertajuk. Wilayah Faqih di madrasah Dar asy Syifa, Qom mengisyaratkan ttg kedudukan wali faqih dan menegaskan: Wali faqih adalah pengganti dan wakil Imam Maksum.Masalah ini harus diperhatikan.Menetapkan Wilayah Faqih dalam pelbagi segi
dapat dibuktikan, namun ia harus dijelaskan secara rasional, sehingga semua
bisa memahaminya dan orang-orang yang menentangnya atau meragukannya pun dapat
menemukan jawaban yang memuaskan, sambungnya.Untuk menetapkan Wilayah Faqih, banyak asumsi yang dapat digelindingkan. Sesuatu yang jelas dan dterima oleh semua kalangan adalah pada setiap masyarakat terdapat suatu undang-undang dan di masyarakat Islam sudah barang tentu harus ada undang-undang yang bersifat Islami. Sesuatu yang perlu kita perhatikan disini adalah siapa yang berhak melaksanakan undang-undang ini?
dapat dibuktikan, namun ia harus dijelaskan secara rasional, sehingga semua
bisa memahaminya dan orang-orang yang menentangnya atau meragukannya pun dapat
menemukan jawaban yang memuaskan, sambungnya.Untuk menetapkan Wilayah Faqih, banyak asumsi yang dapat digelindingkan. Sesuatu yang jelas dan dterima oleh semua kalangan adalah pada setiap masyarakat terdapat suatu undang-undang dan di masyarakat Islam sudah barang tentu harus ada undang-undang yang bersifat Islami. Sesuatu yang perlu kita perhatikan disini adalah siapa yang berhak melaksanakan undang-undang ini?
Dalam masyarakat Islam dan sesuai denganaturan agama kita, orang yang dipilih oleh Tuhan, ia memiliki wewenang dan kekuasaan bagi orang lain. Maka ini berarti, tidak boleh sembarangan orang mengklaim bahwa dirinnya punya hak dan wewenang atas orang lain.Wali Fagih adalah wakil Imam Maksum dan ketika kita hidup di suatu zaman yang mana kita tidak dapat secara langsung bersentuhan/berkomunikasi dengan Imam Maksum maka mengikuti Wali Fagih adalah suatu keharusan.
Memahami konsep Wilayatul Faqih
Perbincangan mengenai konsep wilayatul faqih cukup marak akhir-akhir ini. Akan tetapi sebagian barangkali tidak memahaminya dengan baik. Pada saat yang sama, musuh-musuh Islam sengaja melakukan penafsiran yang menyimpang dan bertentangan dengan konsep aslinya. Karena itu adalah sangat perlu bagi kita memahami konsep ini dengan benar, baik dari segi ilmiah maupun dari segi fiqhiyyah-nya, supaya kita dapat melihat betapa bermaknanya konsep ini.
Dalam memahami konsep wilayatul faqih ini kita juga perlu memahami landasan utama konsep ini, yaitu prinsip al-wilayah al-ilahiyyah al-ammah atau otoritas umum Tuhan, wilayatun-Nabi SAWWW, otoritas Nabi, dan wilayah al-aimmah, otoritas para Imam a.s. Selain itu kita perlu memahami dengan benar peran konstruktif wilayatul faqih dalam sebuah Negara Islam. Di sini kita melihat adanya empat tipelogi pemerintahan. Pertama, Pemerintahan Individual yang bertumpu pada kekuatan, seperti pemerintahan para raja dan penguasa-penguasa tempo dulu, dimana kekuatan, kekerasan dan kemampuan militer merupakan landasan utama. Dengan kata lain, siapa yang paling kuat secara militer dialah yang akan mengendalikan kekuasaan.
Tipe kedua, Pemerintahan Individual oleh seorang shalih. Yang mengatur urusan negara hanya seorang, tapi seorang yang shalih. Mayoritas rakyat atau paling tidak sebagian besar mendukungnya dan mempercayainya mengatur urusan mereka. Dialah yang menentukan segalanya, tapi tidak didasarkan pada kekuatan atau kekerasan seperti tipe pertama, melainkan dengan cara bijak dan adil. Pemerintahan para Nabi contohnya. Para Nabi adalah segalanya. Mereka yang mengatur, menetapkan, dan berkuasa penuh. Tapi karena mereka adalah orang-orang yang shalih, roda pemerintahan dijalankan dengan cara yang terbaik. Sesekali mungkin mereka juga melakukan musyawarah dengan banyak pihak, tetapi tetap saja keputusan terakhir di tangan mereka. Tipe pemerintahan ini hanya terbatas pada pemerintahan para Nabi dan Imam-Imam yang suci. Sebab tidak ada jaminan bahwa selain Nabi dan para Imam, mereka tidak akan jatuh pada kekeliruan.
Tipe ketiga, Pemerintahan Demokrasi Liberal. Kedaulatan berada penuh di tangan rakyat ; dalam arti siapapun yang dipercaya dan dipilih rakyat untuk menjadi penguasa, tidak menjadi masalah apakah yang bersangkutan seorang filosof, aktor, beragama atau malah seorang atheis, tapi selama rakyat telah memilihnya, maka dialah yang berkuasa. Model kekuasaan semacam ini dianut oleh banyak negara dewasa ini. Biasanya berlaku formula 50+1. Maksudnya jika seorang dipilih oleh separuh ditambah satu dari jumlah pemilih, maka sahlah kekuasaannya. Hal ini juga berlaku dalam penetapan undang-undang. Jika anggota legislasi menetapkan peraturan, meskipun peraturan itu bertentangan dengan norma-norma agama dan kemanusiaan, seperti yang terjadi di Inggris yang mengesahkan perilaku seks menyimpang, tapi karena berdasarkan keputusan dewan legislatif, maka apapun bentuknya harus tetap dihormati dan dihargai sebagai hukum yang sah. Inilah demokrasi gaya Barat.
Keempat, Pemerintahan Demokrasi Primer. Kedaulatan berada di tangan rakyat, tapi tidak penuh sebagaimana yang dianut tipe ketiga. Melainkan terikat oleh norma-norma tertentu. Rakyat bebas menentukan pilihannya, tapi tidak boleh memilih sembarang orang. Harus orang-orang yang sesuai dengan aturan dan norma-norma yang berlaku. Demikian pula pada masalah perundang-undangan. Tidak semua ketetapan yang telah disahkan oleh Parlemen dapat dibenarkan, yaitu jika undang-undang itu tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Dengan demikian, baik pada pemilihan seorang penguasa maupun pada tingkat penetapan undang-undang harus sesuai dengan norma-norma yang ada. Orang-orang Komunis mengklaim bahwa mereka bagian dari tipe ini karena mereka menjalankan demokrasi yang terikat dengan norma-norma Marxisme. Tapi, terlepas dari kritik-kritik terhadap konsep dasar komunisme itu sendiri, mereke sebenarnya tidak dapat dikatagorikan pada tipe ini. Sebab dalam prakteknya, mereka tidak beda dengan pemerintahan-pemerintahan tipe pertama.
Lalu di mana letak Pemerintahan Islam? Dengan mudah kita katakan bahwa Islam menganut tipe keempat. Inti Pemerintahan Islam atau Republik Islam bersandarkan kepada kehendak rakyat, baik pada sisi legislasi, penetapan undang-undang, maupun pada sisi eksekusi, menjalankan roda pemerintahan. Akan tetapi tidak dalam arti penuh seperti yang dipahami demokrasi Barat, melainkan terikat oleh aturan-aturan Islam di semua tingkat kekuasaan legislasi, eksekusi, dan yudikasi.
Konsep wilayatul faqih sama sekali tidak bertentangan dengan penghargaan Islam yang besar atas kehendak rakyat. Bahkan justru dibangun atas dasar itu. Akan tetapi tentu saja tidak sama dengan apa yang dianut oleh Barat. Sebab Barat menganut demokrasi tak terbatas, sementara wilayatul faqihtunduk pada aturan-aturan yang telah ditetapkan Islam. Lebih jauh, mari kita ikuti pembahasan berikut ini.
Pada dasarnya setiap negara memiliki tiga jenis kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pada negara yang menganut sistem demokrasi terikat seperti negara Republik Islam, maka dalam menetapkan undang-undang pemilihan anggota atau badan eksekutif dan yudikatif sudah barang tertentu terikat oleh aturan-aturan yang ditetapkan oleh Islam. Sama sekali tidak boleh keluar dari Islam. Undang-undang yang disahkan oleh parlemen sama sekali tidak boleh bertentangan dengan Islam. Kepala Pemerintahan yang dipilih rakyat harus memiliki kualifikasi yang sesuai dengan kehendak Islam. Demikian pula anggota eksekutif lainnya serta anggota badan yudikatif. Seorang hakim tidak boleh sembarang orang. Ia harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan Islam dalam kehakiman dan sebagainya. Karena itu tidak ada jalan bagi badan legislatif misalnya, mengesahkan praktek riba, sebab bertentangan dengan aturan Islam yang mengharamkan riba.
Untuk menjamin berlakunya kedua prinsip ini sekaligus dengan baik, di satu pihak menjunjung tinggi kehendak rakyat dan pada waktu yang bersamaan tidak menyalahi aturan agama Islam, maka perlu dibentuk badan yang mengawasi ketiga insitusi tersebut. Dalam Majelis, parlemen, telah dibentuk apa yang disebut dengan Badan Pengawas Undang-Undang. Tugas utamanya adalah mengawasi jangan sampai lahir undang-undang yang bertentangan dengan Islam. Jika ada undang-undang yang bertentangan dengan Islam, mereka berhak menolak dan membatalkannya. Tapi sebetulnya, jika semua angota parlemen atau paling tidak mayoritas angatanya adalah orang-orang yang ahli tentang Islam, maka Badan Pengawas semacam ini tidak begitu diperlukan karena para anggota parlemen dengan sendirinya sudah dapat melakukan pengawasan. Tapi karena pada prakteknya sulit diwujudkan maka badan Pengawas Undang-Undang ini mutlak diperlukan, hal ini supaya tidak terjadi penyimpangan dari norma-norma Islam.
Demikian pula terhadap pemilihan kepala negara atau presiden. Supaya tidak jatuh ke tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab maka keabsahan pemilihannya sebagai presiden tergantung pada persetujuan wali faqih atau ahli agama tertinggi yang dipercaya sebagai penguasa tertinggi. Hal yang sama juga berlaku pada pengangkatan anggota Badan Yudikatif. Meskipun pengangkatan Menteri Kehakiman dilakukan oleh parlemen dan pengangkatan anggota Dewan Kehakiman Tertinggi oleh para hakim atau qadi itu sendiri, tetapi tetap saja keputusan terakhir ada di tangan wali faqih. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa dalam negara Republik Islam atau negara Demokrasi Agama, kedaulatan rakyat dan kedaulatan agama bergandengan dan menjadi satu. Inilah yang kita sebut dengan wilayatul faqih.
Kewenangan faqih
Faqih secara kebahasaan berarti orang yang memiliki pengetahuan mendalam. Secara keistilahan, faqih adalah orang yang memahami hukum fikih. Istilah ini juga digunakan oleh Sunni dan Syiah.Secara umum, berdasarkan relasinya, wilayah dapat dilihat dari dua dimensi:
1. Wilayah vertikal (thuliyah)
Wilayah vertikal (thuliyah) adalah hubungan hirarkis yang meniscayakan sikap taat terhadap Allah, Nabi, Washi dan faqih. “…taatilah Allah dan tatatilah Rasul dan para pemimpin di antara kalian” (QS. 32);. Wilâyah vertikal bermacam dua:
1) Wilayah takwiniyah, yaitu hak untuk menggunakan (memanfaatkan – tasarruf) segala yang ada di dunia dan hal-hal yang bersifat natural (takwînî). Menurut pendapat terbanyak, hak ini hanya dimiliki oleh Allah. Mu’zijat dan karamah para nabi dan wali adalah jelmaan wilâyah Takwînîyah tersebut.
2) Wilayah tasyri’iyah, yaitu hak untuk melakukan legislasi (undang-undang), memerintah dan melarang. Secara vertikal, nabi dan imam, dengan restu dari-Nya, menurut Syiah Imamiah, berhak untuk memerintah dan melarang masyarakat. Dan menurut kaum ushuli, faqih (mujtahid) juga memilikinya, kendati mereka berbeda tentang batasannya..( Hokûmat-e Eslâmi : 56-57)
Wilayah tasyri’yah adalah mekanisme pengaturan hubungan seorang mukmin dengan Allah dan para pemegang otoritas ilahi, mulai dari nabi, washi hingga faqih, juga hubungan antara seorang mukmin dan masyarakat.Pada dasarnya wilayah tasyri’yah tidak hanya dimiliki seorang faqih dan mujtahid. Seorang ayah, misalnya, dalam batas-batas tertentu memiliki wilayah. Karena itu mungkin pembagian di bawah ini menjadi menjadi penting untuk diketahui. Wilayah tasyri’yah bermacam dua; yaitu Wilayah Istiqlaliyah (kewengan mandiri, independen); dan Wilayah Istirakiyah (kewenangan kolektif).
Wilayah tasyri’yah adalah mekanisme pengaturan hubungan seorang mukmin dengan Allah dan para pemegang otoritas ilahi, mulai dari nabi, washi hingga faqih, juga hubungan antara seorang mukmin dan masyarakat.Pada dasarnya wilayah tasyri’yah tidak hanya dimiliki seorang faqih dan mujtahid. Seorang ayah, misalnya, dalam batas-batas tertentu memiliki wilayah. Karena itu mungkin pembagian di bawah ini menjadi menjadi penting untuk diketahui. Wilayah tasyri’yah bermacam dua; yaitu Wilayah Istiqlaliyah (kewengan mandiri, independen); dan Wilayah Istirakiyah (kewenangan kolektif).
2. Wilayah horisontal (aradhiyah)
Wilayah horisontal (aradhiyah) adalah hubungan mutual antar sesama anggota masyarakat yang meniscayakan sikap saling menghargai dan melindungi hak sesama berdasarkan hukum legal (syari’ah).
Tentang masalah ini, Kaum ushuli terbagi dua. Kelompok pertama meyakini Wilayatul Faqih al-Muqayyadah. Kelompok kedua meyakini Wilayatul Faqih al-Mutlaqah. Bagi kelompok Ushuliyun pertama, Wilayatul Faqih Al-Khassah hanyalah sebuah lembaga otoritas yang berfungsi sebagai penyimpul dan penjelas hukum tradisional yang meliputi tata cara ibadah murni dan mu’amalah, dan mewakili Imam dalam fungsi yudikatif dan pengelolaan dana-dana syar’i. Imam Khomeini q.s adalah salah satu faqih yang meyakini universalitas wilayah seorang faqih. Inilah yang disebut dengan konsep al-wilayah al-muthlaqah.
Menurut para pendukungnya, al-wilâyah al-muthlaqah tidak meniscayakan absultaruanism sehingga dapat bertindak secara mutlak sehendaknya. WF muthlaqah dibatasi oleh prinsip-prinsp utama aqidah dan hukum-hukum qath’i. Predikasi “al-muthlaqah” semata-mata didasarkan pada proyeksi antisipatif agar faqih yang berwilayah dapat turun tangan dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang sangat vital dan mendesak (umurun hisbiyah). Predikat muthlaqah sendiri dimaksudkan sebagai terminologi yang dibatasi pula oleh agama. Karena tugas utamanya adalah memelihara dan menjaga Islam. Maka seandainya ia mengubah Ushuluddin dan hukum-hukum syari’at dan menentangnya, maka secara otomatis ia kehilangan wilayahnya.
Kemutlakan wewenang faqih hanyalah antispasi jika terjadi kontradiksi (tazâhum) antara suatu perkara yang penting dengan perkara yang lebih penting. Dalam situasi demikian, dengan wewenangnya yang mutlak, seorang Faqih dapat mengorbankan perkara yang penting tersebut demi terjaganya perkara yang lebih penting. Faqih memiliki dua opsi hukum terhadap eksekusi, yaitu hukum primer (awwali) yang bersumber dari sumber-sumber utama syariat; dan hukum tsanawi (sekunder) yang didasarkan pada asa-asa kemalahatan yang kontekstuaal.
Dengan wewenang mutlaknya, seorang faqih dapat melarang masyarakat yang berada dalam domain kekuasaannya untuk menunaikan haji untuk sementara waktu demi pertimbangan maslahat (hukum tsanawi) yang disimpulkannya. Asas hilangnya predikat hukum sebagai akibat dari lenyapnya subjek hukum juga menjadi alasan pengambilan opsi demikian.
Masalah Berkenaan Dengan Konsep wilayatul Faqih
Di sini mungkin timbul beberapa pertanyaan. Pertama, jika demikian yang dikehendaki oleh Islam, mengapa pemerintahan Nabi dan para Imam tidak demikian? Nabi dan Imam Ali a.s. misalnya, mereka menunjuk langsung para penguasa di daerah-daerah tanpa melibatkan orang banyak. Bahkan ketiga kekuasaan : legislasi, eksekusi, dan yudikasi berada di tangan mereka sekaligus. Selain itu tidak ada sama sekali kotak suara dan sebagainya. Menjawab pertanyaan ini perlu ditegaskan, terdapat perbedaan antara Nabi dan Imam dengan yang lainnya. Nabi SAWWW dan para Imam a.s. adalah orang-orang yang ma'shum, disucikan Tuhan dan dijamin kebenarannya, sementara yang lain tidak. Cara pandang kita terhadap seorang wali faqih tidak sama dengan Nabi atau Imam. Nabi atau Imam punya perhitungannya sendiri yang berbeda dengan wali faqih. Nabi dan para Imam melakukan musyawarah misalnya, tapi musyawarah yang mereka lakukan tidak berarti untuk melepas sikapnya jika berbeda dengan pendapat orang lain. Tetap saja kata terakhir ada pada Nabi SAWWW atau Imam a.s. Selain itu, situasi dan kondisi pada masa Nabi SAWWW dan Imam a.s. berbeda sekali dengan apa yang kita hadapi dewasa ini. Ketika kita mengatakan ini tidak berarti bahwa terdapat perselisihan antara aturan-aturan agama. Tapi yang dimaksud adalah perbedaan cara penerapannya.
Pertanyaan lain yang mungkin diajukan ialah : Jika memperhatikan kaidah-kaidah fiqhiyyah, maka apa salahnya ketiga kekuasaan : legislasi, eksekusi, dan yudikasi dipegang sekaligus oleh seorang faqih yang memenuhi syarat? Dengan demikian maka bentuk pemerintahan yang dijalankan adalah bentuk kedua, yaitu pemerintahan seorang shalih?
Menjawab pertanyaan kedua ini perlu ditegaskan bahwa adalah kewajiban seorang faqih yang memenuhi syarat memilih cara terbaik pelaksanaan suatu hukum sesuai masanya, atau yang dalam istilah fiqihnya dikenal dengan ungkapan "murâ’âtu ghibtah al-muslimin", memilih yang terbaik bagi kepentingan kaum Muslimin. Maka jika ia memilih yang lain, yang tidak sesuai dengan kepentingan kaum Muslimin, berarti ia melakukan kekeliruan, dan dengan sendirinya telah kehilangan hak memimpin.
Barangkali dari prinsip ini muncul pertanyaan, mana yang lebih baik bagi wali faqih, mengangkat seseorang sebagai kepala pemerintahan tanpa meminta persetujuan rakyat banyak atau melalui persetujuan rakyat, yaitu melalui pemilihan umum, kemudian mengukuhkannya jika yang bersangkutan memenuhi syarat untuk itu? Mana di antara dua cara ini yang lebih selamat dari kemungkinan keliru? Mana yang lebih mendekati kebenaran? Bukankah seseorang harus mengikuti mana yang lebih baik? Rakyat merupakan unsur yang paling penting dalam negara. Maka jika faqih berjalan seiringan dengan rakyat, bukankah itu lebih baik dan juga lebih diterima rakyat?
Dengan demikian, dapat kita tarik kesimpulan bahwa antara konsep wilayatul faqih dengan konsep kedaulatan rakyat tidak harus berseberangan. Malah bersatu dan berjalan seiringan. yang dengan sendirinya akan menepis segala bentuk kediktatoran dan kesemena-menaan. Wilayatul faqih bukan kehendak faqih. Pemahaman ini keliru besar dan melahirkan kesan seakan-akan Islam bertentangan dengan demokrasi. Sama sekali tidak demikian. Faqih memang memiliki otoritas besar, tetapi bukan otoritas absolut. Otoritas faqih terikat pada norma-norma Islam dan dibangun atas dasar kepentingan umat. Dari mana faqih mendapatkan otorifas ini? Sudah barang tentu setiap kekuasaan atau pemerintahan harus mendapat mandat atau wewenang dari Allah SWT.
Bahkan pemerintahan Rasul sekalipun, jika tidak berdasarkan pada wewenang dari Allah, maka pemerintahannya ilegal. Karena itu Allah telah memerintahkan Nabi Muhammad SAWW untuk membentuk pemerintahan. Namun Nabi SAWW baru dapat melakukannya setelah hijrah ke Madinah, yaitu sesudah semua syarat untuk itu terpenuhi. Setelah Nabi SAWW wafat, maka mandat pembentukan pemerintahan ini jatuh pada Imam-Imam pengganti beliau. Oleh karena itu Syi'ah meyakini bahwa wewenang membentuk pemerintahan dewasa ini berada di tangan Imam Mahdi a.s. Akan tetapi karena Imam Mahdi as. ghaib, sementara tidak mungkin umat Islam tanpa pemerintahan yang mengatur urusan mereka sendiri, maka wewenang itu kemudian dilimpahkan kepada para fuqaha (kata jamak : faqih), yang telah memenuhi syarat. Imam Mahdi a.s. sendiri yang melimpahkan mandat itu kepada para fuqaha.
Seseorang yang bernama Ya'kub Ibn lshaq bertanya kepada Imam Mahdi a.s. tentang kepada siapa mereka merujuk pada masa ghaibah, masa sesudah Imam Mahdi a.s. ghaib. Imam Mahdi a.s. menjawab: "Adapun peristiwa-peristiwa yang terjadi, maka kembalikanlah kepada perawi hadis kami (fuqaha) karena mereka adalah hujjah bagiku dan aku adalah hujjah bagi Allah SWT." Dalam salah satu kesempatan Imam Ja'far Shadiq a.s. berkata: "Maka mereka berdua (orang yang sedang bertikai -- pen.) hendaknya mencari siapa di antara kamu yang telah meriwayatkan hadits kami, meneliti yang halal dan haram serta memahami hukum-hukum kami, kemudian hendaknya mereka menjadikannya sebagai hakim, pemutus perkara, karena aku telah mengangkat mereka sebagai hakim."
Selain kedua riwayat di atas, terdapat beberapa riwayat lain yang secara langsung atau tidak langsung telah menunjuk faqih sebagai pemegang mandat pembentukan pemerintahan pada masa ghaibah.
Terlepas dari semua itu, keharusan adanya kekuasaan yang mengatur umat adalah sesuatu yang tidak dapat diingkari. Tapi siapa yang paling berhak menduduki posisi tertinggi itu? Melihat persyaratan yang dituntut untuk jabatan kekuasaan tertinggi dalam Islam, maka yang paling pasti di antara yang ada adalah kaum fuqaha, dalam arti, orang yang ahli dalam urusan-urusan yang menyangkut Islam, mampu mengatur negara, dan tahu akan perkembangan zaman.
Ayatullah Nasir Makarim Syirazi
Praktek Konsep WIlayatul Faqih
Ayatullah al-Uzma Ruhullah Sayyid al-Musawi Imam Khomeini adalah seorang teolog Islam pertama yang mengembangkan dan mempraktikkan gagasan pemerintahan Islam di dunia modern.1 Ia merupakan salah seorang tokoh yang paling penting di balik terjadinya revolusi Iran dan lahirnya negara Republik Islam Iran. Karena peranannya dalam memimpin revolusi Iran itulah, Imam Khomeini kemudian diangkat sebagai pemimpin revolusi Islam, sebagaimana yang tercantum dalam konstitusi Iran yang disahkan Desember 1979. Tidak salah apabila kemudian Jhon L. Esposito menyebut Imam Khomeini sebagai “living symbol and architect” revolusi Iran.
Salah satu pemikiran revolusioner yang ditawarkan oleh Imam Khomeini adalah gagasannya mengenai konsep pemerintahan Islam wilayatul faqih. Imam Khomeini mampu mempraktekkan gagasan pemerintahan Islam yang menempatkan kaum ulama sebagai pemegang kekuasaan di bidang politik maupun agama. Dalam gagasan ini Khomeini menekankan akan perlunya seorang faqih (ulama) untuk memegang kendali pemerintahan sebagaimana halnya Rasullulah memimpin generasi awal umat Islam.
Sebelum Revolusi Islam Iran, para Marja '(mujtahid Grand) adalah pemimpin komunitas Syiah tapi tidak memiliki sarana untuk membawa perubahan atau transformasi dalam masyarakat. Revolusi Iran dipimpin oleh Ayatullah Sayyid Ruhullah Imam al-Khumayni ,ia sudah diakui sebagai seorang Marja oleh kebanyakan kaum syi`ah, Penting untuk diingat bahwa marja'iyya nya itu tidak tergantung pada Revolusi. Oleh karena itu, sangat wajar untuk memilih dia sebagai pemimpin tertinggi Republik Islam Iran.
Sistem pemerintahan Republik Islam Iran yang merupakan hasil elaborasi dari gagasannya tersebut (wilayatul faqih), terbukti jauh lebih viable dibanding dengan yang diduga oleh banyak orang sebelumnya. Republik Islam Iran berdiri dengan mendapat legitimasi melalui konsensus rakyat dan sebagian besar rakyat Iran tetap mendukung rezim itu. Banyak orang mungkin memperdebatkan dukungan mayoritas rakyat terhadap rezim itu.Di satu pihak, Iran telah memfungsikan pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, di pihak lain, Iran menikmati pluralisme terbatas. Kebebasan untuk mengungkapkan diri dibatasi oleh ideologi Islam Iran dan kepercayaan bahwa hukum-hukum dan nilai-nilai Islam itulah yang merupakan tuntunan bagi manusia.
Persoalan yang kemudian menarik dalam sistem pemerintahan Iran ini adalah karena sistem ini mengadopsi dan menggunakan teori "Trias Politika" seperti yang dipraktekkan dalam negara-negara sistem demokrasi. Teori Trias Politika sendiri pertama kali diperkenalkan oleh John Locke (1632-1704) dan kemudian dikembangkan oleh Montesquieu (1689-1755) yang memisahkan kekuasaan (separation of power) menjadi tiga bagian; Pertama, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (application function); Kedua, kekuasaan legislatif yaitu kekuasaan membuat undang-undang (rulemaking function), dan yang ketiga, kekuasaan yudikatif yaitu kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang (rule adjucation function).
Konsep ini merupakan suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan (atau function) ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh pihak yang berkuasa. Demikian juga konsep wilayatul faqih yang dikembangkan oleh Imam Khomeini, membagi kekuasaan pelaksanaan pemerintahan Islam kepada tiga lembaga negara, yaitu lembaga eksekutif, lembaga legislatif, dan lembaga yudikatif. Meskipun demikian menurut Khomeini dalam konsep wilayatul faqih, hanya faqih yang memegang otoritas yang tertinggi, semua kekuasaan bersumber dari kedudukannya sebagai mujtahid tertinggi yang memiliki kewenangan terbesar dalam penafsiran sumber hukum.
Dalam sistem pemerintahan Republik Islam Iran, kekuasaan lembaga-lembaga negara, baik eksekutif dan legislatif maupun yudikatif, pada prinsipnya tidak berubah. Mereka memiliki kekuasaan yang mandiri pada fungsi dan kedudukan masing-masing lembaga tersebut, hanya saja dalam hierarki struktur politiknya, posisi ketiga lembaga ini berada di bawah wilayatul faqih. Inilah yang kemudian membedakan pelaksanaan konsep wilayatul faqih ini dengan konsep demokrasi pada umumnya.
Penolakan terhadap Konsep Wilayatul Faqih
Penerapan konsep Wilayatul Faqih dalam suatu pemerintahan Negara menyebabkan berbagai macam tanggapan salah satunya adalah penolakan disertai dengan usaha untuk menghancurkan konsep ini,Ada tiga agenda besar yang dikawal dalam menghancurkan konsep pemerintahan Islam yang berbentuk Wilayatul Faqih di Iran:
- Meyebarkan Paham Sekularisme
Propaganda awal mereka adalah menyebarkan dan menanamkan paham sekularisme di tengah masyarakat melalui lembaga media, makalah dan buku-buku. Sebelumnya, paham ini telah tumbuh dan eksis di Turki, Maroko, dan negara-negara Eropa. Sebenarnya konsep pemisahan politik dan agama pernah menjadi wacana dalam sistem pemerintahan Iran; salah seorang yang memilki andil dalam kemenangan revolusi dan kemudian memiliki jabatan strategis memilki sikap politik seperti di atas. Melalui ceramah, makalah, dan buku ia mendakwahkan konsep tersebut. Untuk melegitimasi konsep tersebut ia menjadikan Negara maroko sebagai contoh riil negara yang berhasil menerapkan konsep sekularisme.
Kenyataannya konsep di atas tidak mampu mempengaruhi pikiran dan keyakinan masyarakat, khususnya pelaku-pelaku revolusi yang memiliki jiwa besar dan tumbuh dalam berbagai kesulitan dan telah menyumbangkan harta, jiwa, dan raganya demi berdirinya pemerintahan Islam dalam bentuk wilayatul faqih ini. Dan yang terpenting, sampai detik ini suara pernyataan malakuti Imam Khomeni Ra masih terdengar jelas di telinga masyarakat, yakni agama adalah pondasi politik.
- Menolak Konsep Wilayatul Faqih
Agenda kedua gerakan mereka sedikit mengikuti ritme keyakinan dan akidah kita dalam bentuk meyamakan perspektif, yakni agama diberikan ruang dalam ranah politik dan sistem pemerintahan. Para pelaku politik harus menjungjung tinggi norma agama dalam menjalankan tanggung jawabnya. Tapi, tidak bermakna bahwa sistem pemerintahan agama harus berbentuk wilayatul faqih. Sistem pemerintahan boleh saja dikawal dan dijalankan orang yang tidak memilki dedikasi kefaqihan. Cukuplah hukum-hukum dan kebijakan Negara disaring dan disesuaikan dengan agama, takkala undang-undang tidak kontradiksi dengan agama maka itulah undang-undang sistem pemerintahan agama, karena semua undang-undang dan kebijakan telah terlegitimasi atas nama agama.
Ketika mereka gagal memaksa masyarakat untuk menerima sekularisme, mereka sepakat bahwa sistem pemerintahan agama boleh saja diterapakan tapi dengan syarat pemimpin tidak harus faqih, dan masalah kepemimpinan diserahkan secara totalitas kepada masyarakat. Masyarakatlah yang menentukan dan memilih personifikasi ideal untuk menjadi pemimpin. Untuk memaksimalkan agenda ini, mereka telah mengadakan berbagai seminar ilmiah dan menulis buku-buku yang berkaitan dengan tema di atas.
Pemikiran ini bisa sangat berbahaya bagi masyarakat, khususnya pemuda yang dangkal pengetahuannya akan hukum-hukum agama dan belum akrab dengan sumber-sumber fikih yang menjadi landasan konsep wilayatul faqih. Tapi sebuah kesyukuran, semakin besar propaganda musuh Islam terhadap konsep wilayatul faqih, wilayatul faqih tetap eksis dan makin kuat pondasinya di jantung masyarakat.
- Pembaharuan Konsep Wilayatul Faqih
Setelah dua konsep di atas gagal untuk mengubah komitmen dan akidah masyarakat terhadap konsep wilayatul faqih maka agenda ketiga mereka adalah mewacanakan bahwa konsep wilayatul faqih bukanlah hukum mutlak, bukanlah hukum yang bebas dari kesalahan dan kekurangan. Untuk keeksisannya dengan akselerasi perkembangan zaman butuh revisi dan intrepetasi baru. Dalam artian, sebab konsep wilayatul faqih bertentangan dengan pondasi demokrasi dan liberalisme maka ia harus diharmoniskan dan disesuaikan dengan konsep tersebut.
Kesimpulannya, ketiga program di atas terus disuarakan dari generasi ke generasi, dari zaman ke zaman, hingga ke depannya baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang konsep wilayatul faqih akan ditinggalkan masyarakat. Oleh karena itu, jika langkah-langkah antisipasi tidak diagendakan secara rapi dan sistimatis dan khususnya jika spirit revolusi dan semangat keilmuan tidak ditanamkan dalam jiwa-jiwa kaum muda maka tidak tertutup kemungkinan mereka akan tercemari dari salah satu agenda musuh di atas, dimanapun mereka berada, dilapisan masyarakat manapun ia beraktifitas serta apapun status sosialnya di tengah masyarakat. Dengan begitu mereka bisa menjadi budak dan akan memberikan andil pada Negara-negara arogan untuk menwujudkan libido hegemoni dan imprealisnya diberbagai belahan negara, khususnya dunia Islam
Disadur dari ceramah Ayatullah Misbah Yazdi.
Kesimpulan
wilayah tuhan tidak memberikan ruang bagi kita untuk bernegosiasi dalam berpendapat dan hanya ikut aturan tuhan semata. manusia dalam hal ini hanya ikut apa yang sudah ditentukan, jadi kalau ada yang namanya kedaulatan manusia itu wajar saja karena system itu bisa dilaksanakan di kalangan manusia.....percaya atau tidak tuhan berpihak kepada orang yang taat kepadanya. karena kita ciptaanya maka kita harus mengabdi kepada pencipta, kalu bertentangan dengan tuhan maka persiapkan diri anda untuk menuju ke kehancuran. perhatikan negara yang mayoritas beragama dan uyang tidak....maka ditemukan perbedaan yang sangat signifikan dalam menjalani hidupnya....manusia yang beriman kepada tuhan tidak akan takut dengan intervensi orang lain yang ada hanya menjalankan tugasnya sebgai khalifah tuhan di muka bumi.
0 komentar:
Posting Komentar